Aduh! Lulus Cum Laude Ugal-ugalan, Sekarang Tetap Jadi Pengangguran

Aduh! Lulus Cum Laude Ugal-ugalan, Sekarang Tetap Jadi Pengangguran

TL;DR:
-Hasil penelusuran deduktif menyebut ada 64,5% perusahaan yang mencantumkan nilai IPK lebih dari 3,5 sebagai kualifikasi pelamar. 

-Mahasiswa era kiwari lebih sering meminta perbaikan nilai dan tak puas bahkan dengan predikat B.

-Persaingan kerja yang semakin ketat membuat perusahaan menetapkan standar IPK lebih tinggi atau, sama sekali tidak menjadikan IPK sebagai dasar perekrutan kerja.

Kereta Api Indonesia (KAI Persero) baru saja membuka lowongan pekerjaan di berbagai bidang, syaratnya tentu bukan yang mudah-mudah saja. Anda harus muda, berbadan ideal, tahan banting karena harus pasrah ditempatkan di mana saja, cerdas, dan pintar, dibuktikan dengan nilai IPK minimal 3,5 dari skala 4,0.

Terasa sulit? Tentu tidak, karena ternyata lulusan dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tersebut bukan segelintir orang saja. 

Deduktif menemukan adanya fenomena banjir cum laude di perguruan tinggi. Lulusan cum laude yang pernah langka, kini mendominasi total wisudawan di Indonesia. Masalahnya nilai tinggi yang mereka dapatkan diduga berasal dari praktik katrol nilai akibat mengejar gengsi akreditasi kampus. 

Walhasil, beragam filterisasi berdasar IPK, naik standarnya, termasuk lowongan pekerjaan.

Meski universitas bisa menyulap nilai lulusan mereka sedemikian rupa, tapi perusahaan tidak buta. Mereka menyadari IPK dan lulusan cum laude semakin banyak. Kriteria seleksi perlu diperketat: perusahaan tak lagi meminta lulusan dari perguruan tinggi dengan reputasi baik, tapi juga IPK di atas 3,5. 

Lowongan pekerjaan di KAI Persero tadi contohnya. KAI tiba-tiba saja menaikkan standar rekrutmen di tahun 2024 ini dengan minimal IPK 3,5–nilai minimal yang diberikan untuk lulusan cum laude. Periode empat tahun sebelumnya, lowongan kerja yang sama hanya diberi syarat IPK 3,0 saja. 

Bahkan pada tahun 2019, bersumber dari Job Fair Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, KAI hanya mensyaratkan IPK 2,95 sebagai kualifikasi calon pekerja.

Usut punya usut, data internal KAI menyebut sejak tahun 2023 pelamar dengan IPK cum laude sudah jamak mereka terima. Jadi, bisa dibilang standar IPK yang ditetapkan KAI lumrah-lumrah saja.

“Kalau sekarang kita lihat dari data, dua tahun terakhir pendaftar IPK 3,5 itu hampir 40 persen. Artinya shifting ke rekrutmen khusus yang kita siapkan ini, masih proper lah,” ungkap EVP Corporate Secretary KAI, Raden Agus Dwinanto Budiadji, seperti dilansir dari Liputan6, Senin (22/4/2024).

Deduktif melakukan penelusuran terkait persyaratan IPK sebagai standar menjaring pekerja. Kami mengumpulkan nama-nama perusahaan yang memasang iklan sepanjang tahun 2022-2024 di situs lowongan kerja indeed.com untuk melihat kecenderungan perusahaan dalam menetapkan batas minimal IPK.

Hasilnya, ada 64,5% perusahaan yang mencantumkan nilai IPK minimal, atau lebih dari 3,5 sebagai kualifikasi pelamar. Kemudian 28,3% perusahaan masih membolehkan pelamar memiliki IPK 3-3.4. Hanya 7,2% perusahaan yang masih mau menerima pelamar dengan IPK 2,75.

[Insert grafis IPK Perusahaan https://docs.google.com/spreadsheets/d/1rk1RhnETZbNtKXHtP5OvClIrW992HddSQsQKviriCPk/edit#gid=319265662]

Penasaran, kami menguji fakta soal banjir pelamar cum laude di lapangan dengan mewawancarai salah satu perekrut kerja. Human Resources Development (HRD) PT CMM Global International, Yusi Halizah Balqis ternyata sudah merasakan fenomena banjir cum laude sejak tahun 2023.

“Setahun belakangan pelamar dengan IPK cukup, 3,2 ke atas itu mendominasi. IPK 3,5 jumlahnya lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya saat menerima wawancara dari Deduktif, Selasa (30/1/2024).

PT CMM Global International berdiri sejak 25 November 2019. Perusahaan ini bergerak di bisnis kosmetik dan berlokasi di Bogor, Jawa Barat. Jika dipresentasekan, pelamar dengan IPK di atas 3,5 di PT CMM Global bisa mencapai 60%, mayoritas dalam satu periode perekrutan kerja. 

Yusi mengatakan, sejauh ini perusahaannya pernah menerima calon pekerja dengan IPK tertinggi mencapai 3,8. Kiwari, ia hampir tak pernah menemui pelamar dengan IPK 2 koma sekian. “Ada, tapi jarang,” akunya.

Depresi sampai Anxiety demi Dapat IPK Tinggi

Azzahra Nazira (22) memberanikan diri mengajukan protes ke salah satu dosen karena tiba-tiba saja mendapat nilai IPK yang tidak sesuai dengan prediksi. Di tempatnya berkuliah, Universitas Bina Nusantara (Binus) protes keberatan kepada dosen bak perjudian, jika dosen merasa tidak terima, alih-alih naik, skor ujian bisa berkurang 20 poin.

“Untung kesalahannya memang di dosenku, kurang teliti saat ngoreksi,” ujar Nazira membuka percakapan dengan Deduktif, Rabu (10/1/2024).

Nazira adalah mahasiswa semester 6 Jurusan Manajemen di Binus. Sejak jadi mahasiswa anyaran di tahun 2021 lalu, Nazira telah membuat target IPK minimal 3,5. Kini ia meningkatkan target IPK-nya hingga di angka 3,7. Nazira bersikeras harus lulus dari Binus dengan gelar cum laude. 

Baginya, meraih predikat cum laude adalah keharusan. Di Binus mahasiswa yang mampu lulus cum laude memang diganjar tunjangan ekonomi dari pihak kampus. Selain itu, tentu lulus sebagai mahasiswa dengan predikat “pujian” dapat menjadi bekal prestisius melamar pekerjaan. 

Namun keras hati Nazira mempertahankan IPK selangit bikin kesehatan mentalnya jadi terganggu. "Aku merasa sangat stres, sering menangis saat mengerjakan tugas, overthinking sama nilai yang aku peroleh," kata Nazira.

Cerita lain datang dari Anti Maghfiroh, mahasiswi semester enam Program Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Layaknya kisah Nazira yang penuh ambisi, Anti juga punya target IPK tinggi, tak kurang dari 3,7 tiap semester. 

Meski sulit, karena tak punya latar belakang pendidikan Bahasa Arab, Anti berusaha survive. Selain karena tekanan orang tua, ia meyakini, bahwa tanpa IPK cum laude, usahanya meraih karier cemerlang hanya menjadi sia-sia di masa depan.

“Aku memahami nilai bukan sekadar angka, melainkan kunci kesuksesan,” kata Anti.

Namun, hal yang luput dari perhatian Anti adalah kondisi mentalnya remuk akibat menahan beban akademis tinggi. Ia sempat terkena serangan panik dan anxiety setiap menghadapi ujian atau tugas-tugas perkuliahan dari semester dua hingga semester empat.

“Aku mengalihkan rasa takut akan perolehan IPK dengan mengopek kuku. Kalau sudah berdarah, rasanya lega. Kadang juga minum kopi sampai pusing, terus tidur.”

Kecenderungan mahasiswa untuk mendapat nilai akademis tinggi memang bukan fenomena baru. Deduktif menemukan tren katrol nilai di Indonesia ini terjadi satu dekade ke belakang. Tengok saja prosesi wisuda Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Agustus 2014, hanya 35,7% mahasiswa program sarjana yang mendapat predikat cum laude. 

Bandingkan satu dekade kemudian, pada wisuda bulan Februari 2024 lalu, jumlah predikat cum laude program sarjana membengkak mencapai lebih dari 63%. Rata-rata IPK lulusan kampus biru ini pun merangkak naik, dari semula hanya 3,33 pada tahun 2014 menjadi 3,57 (2024), melonjak 0,24 poin.

Kampus unggulan dunia seperti Harvard juga tak luput dari permasalahan katrol nilai mahasiswanya. Kenaikan IPK Harvard tidak main-main, tahun 1990 rata-rata IPK adalah 3,30. Dua dekade setelahnya, rata-rata IPK meroket jadi 3,80. 

Sebelumnya Deduktif telah mengulik faktor-faktor yang mendasari perubahan tren ini dalam artikel “IPK Tinggi Jangan Sombong! Sekarang Cum Laude cuma Pepesan Kosong”, salah satunya akibat tuntutan akreditasi kampus. Namun aspek kesehatan mental tak luput jadi biang kerok praktik obral nilai. 

Kesehatan mental mahasiswa sekarang dianggap lebih rentan. Banyak tenaga pengajar mengeluhkan mahasiswa jadi mudah stres karena mendapat nilai di bawah ekspektasi—bahkan sekedar dapat B–pun bisa membuat mereka jatuh ke lubang depresi. Kerentanan emosional ini yang dituding membuat dosen terpaksa memberikan nilai bagus. 

Bahkan UGM telah memiliki prosedur operasi standar (standard operating procedure/SOP) melarang adanya dosen “killer” demi mewujudkan lingkungan kampus yang aman dan nyaman. Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, Wening Udasmoro menyebut ketentuan ini bertujuan untuk menciptakan relasi setara antara dosen dan mahasiswa.

“Dosen harus punya perspektif menghormati, baik ke kolega maupun mahasiswa, tidak melakukan kekerasan. Ini bagian dari memproteksi kesehatan mental, bukan hanya mahasiswa tapi semua,” kata Wening dalam wawancara dengan Deduktif, Jumat (12/1/2024).

Wening menyadari bahwa tingkat persaingan mahasiswa saat ini semakin ketat. Mahasiswa era kiwari melakukan berbagai cara untuk terlihat lebih unggul, sehingga punya kecenderungan lewah pikir (overthinking) terhadap nilai akademisnya. Mereka tidak puas ketika belum mendapat predikat A.

“Kami beri masukan ke mahasiswa, bahwa nilai B itu tidak apa-apa, karena orang yang bekerja dan berhasil tidak semuanya memiliki nilai A.”

Cum Laude, Masih Relevankah Saat Ini?

Akibat sistem industrialisasi yang semakin sengit mencetak para pekerja kerah putih, mahasiswa sekarang harus melakukan berbagai macam cara untuk mengesankan para pemberi kerja. Walhasil kejar-kejaran nilai jadi fokus mereka selama duduk di bangku kuliah.

“Dulu, mahasiswa mendapat nilai rendah akan menerima. Sekarang saya tahu persis banyak mahasiswa merengek karena mendapat nilai C atau B, padahal itu hasil belajarnya sendiri,” ungkap Nanang Syaikhu, Dosen Jurnalistik UIN Jakarta ketika menerima pertanyaan Deduktif tentang perbedaan respons mahasiswa saat menerima nilai dalam satu dekade ke belakang, Rabu (27/12/2023).

Ia mengakui makin banyak mahasiswa meminta perbaikan nilai dan ujian tambahan kepada dosen, mereka ingin semua mata kuliah mendapat nilai A. Nanang termasuk dosen yang anti memberi “nilai belas kasihan” sebab dapat memicu kecemburuan mahasiswa lain.

“Mengabulkan tuntutan seperti itu hanya melemahkan semangat dan etos mahasiswa untuk belajar.”

Nanang menyadari telah terjadi fenomena yang ia sebut sebagai bencana kecelakaan akademik. Belakangan kampus tak lagi menjadi tempat belajar dan berpikir kritis, mahasiswa cenderung berorientasi pada hasil, bukan proses. Tak ada lagi kelas yang hidup karena diskusi, mahasiswa bertanya sekadarnya, mahasiswa menjawab seadanya.

“Mahasiswa sekarang jawabannya tidak berbobot, karena melihat Chat GPT. Banyak dari mereka tak paham terminologi tertentu, semua serba instan dan melemahkan pengetahuan,” kata Nanang. Chat GPT merupakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang bisa memproduksi bahasa manusia dengan memahami pertanyaan dan memberikan jawaban.

Namun, yang luput disadari oleh kebanyakan mahasiswa saat mengejar IPK adalah, bahwa tak selamanya nilai bagus merepresentasikan kapasitas dan kapabilitas seseorang. Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim pernah mengatakan dunia tengah masuk fase akademis yang tidak menentu. 

“Gelar tidak lagi menjamin kompetensi, mahasiswa lulus tidak menjamin kesiapan berkarya, akreditasi tidak menjamin mutu, hingga belajar tidak lagi harus di kelas.”

Benar saja, Yusi juga menyebut, kriteria pelamar yang diterima PT CMM tak bertumpu pada IPK. Mereka harus melewati psikotes dan wawancara profesional. Dari seribu hingga dua ribu pelamar yang mengajukan CV, hanya setengah pelamar yang maju ke tahap wawancara. Jumlah ini akan kembali difilter sekitar 40-50% untuk maju ke tahap akhir seleksi.

Miris, dalam beberapa tahap itu, pelamar gugur karena kompetensinya tak sejalan dengan IPK yang tinggi. 

“Kadang mereka mematok gaji yang sangat besar ke perusahaan karena punya IPK tinggi atau dari universitas ternama. Padahal belum punya keahlian atau pengalaman kerja,” terang Yusi. 

Alih-alih menjadikan IPK sebagai parameter kapasitas pekerja, PT CMM justru berorientasi pada pengalaman, etika, dan perilaku calon pekerja. Bagi Yusi, reputasi kampus sudah tak relevan dan usang untuk menjaring karyawan. 

“Nah secara perilaku ini terlihat sekali bedanya, lulusan sekarang yang notabene Gen Z mengedepankan mental, mereka lebih nyari sistem kerja cepet, praktis, dibanding kerja yang menilai proses,” pungkas Yusi.

Memang, kita tengah berada di era nilai IPK semakin tinggi, tapi etos kerja berada di masa resesi–persoalan yang banyak dikeluhkan para pemberi kerja masa kini.

Penulis dan Editor: Aditya Widya Putri

Reporter:
Febria Adha Larasati
M. Naufal Waliyyuddin
Ken Devina
Anggita Raissa