Atas nama “transisi energi”, segala macam cara dihalalkan pemerintah dan swasta untuk menambah porsi lahan sawit. Meski cara kotor seperti deforestasi harus dilakukan.
Pada tahun 2020 lalu, Presiden Jokowi meluncurkan Program Mandatori B30, yaitu campuran biodiesel 30% dan 70% BBM jenis solar. Kemudian pada 22 Juli 2024 lalu, pemerintah telah menguji coba penggunaan biodiesel B40 pada kereta api jurusan Senen-Lempuyangan. Uji coba masih dilakukan sampai Desember 2024.
Sejak saat itu pemerintah seperti berambisi melakukan “transisi energi”. Sialnya ambisi tersebut dilakukan dengan deforestasi untuk menanam kelapa sawit, bahan baku biodiesel, produk bahan bakar ramah lingkungan.
Koalisi Transisi Bersih yang terdiri dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Greenpeace, dan Satya Bumi mengatakan, jika pemerintah terus menggunakan skema Ambisius B40 hingga tahun 2042, ada kebutuhan pertambahan lahan perkebunan kelapa sawit seluas 3.623.130 hektare. Dari jumlah tersebut, luas lahan yang berpotensi terkena deforestasi seluas 1.014.476 hektar.
Pemerintah juga sempat mewacanakan skenario skema Agresif B50, yakni campuran biodiesel 50% dan solar 50% jika ada permintaan ekspor biodiesel. Mengingat program hilirisasi Presiden-Wakil Presiden terpilih 2024-2029, Prabowo-Gibran, artinya, pemerintah akan menggencarkan ekspor biodiesel.
Jika hal tersebut terjadi, seberapa besar potensi luas hutan yang akan terdeforestasi?
Deduktif melakukan pemantauan melalui citra satelit Nusantara Atlas dan laporan dari Koalisi Transisi Bersih perihal deforestasi yang pernah dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII untuk menanam kelapa sawit yang diproduksi untuk biodiesel.
Berdasarkan pemantauan dari Nusantara Atlas, kehilangan hutan di konsesi perkebunan sawit milik PTPN XIII sejak tahun 2001 hingga 2023 seluas 14.299 hektare. Sementara itu jumlah hutan alam yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit di dalam konsesi yang sama seluas 7.786 hektar.
PTPN XIII sendiri memiliki delapan areal konsesi dengan lahan seluas 256.870 hektare. Data pantauan terakhir pada 30 Agustus 2024, menunjukkan areal hutan alam di dalam konsesi PTPN XIII seluas 10.724 hektare. Artinya, PTPN XIII masih berpotensi melakukan deforestasi di areal konsesinya seluas 10.724 hektare.
(Masukan back link spreedsheet Deforestasi setiap tahun)
Merujuk pada Nusantara Atlas, lokasi konsesi PTPN XIII masuk ke dalam radius 30 km dari titik lokasi pabrik kelapa sawit (PKS), PTPN XIII merupakan pemasok minyak sawit (CPO) kepada lima kelompok korporasi produsen biodiesel, yakni Wilmar, Royal Golden Eagle (RGE), Musim Mas, Permata Hijau, dan Sinar Mas.
Lain itu, kelima perusahaan biodiesel tersebut memasok seluruh minyak kelapa sawit ke PT Pertamina Patra Niaga untuk diproduksi menjadi biosolar.
PTPN XIII memiliki enam pabrik kelapa sawit (PKS), yang tersebar di Pelaihari di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan; Ngabang di Kabupaten Landak, dan Kebun Gunung Meliau, Kebun Rimba Belian, Parindu, dan Kembayan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
[Embed titik map lokasi semua PKS PTPN XIII]: VISUAL
Perusahaan BUMN tersebut memasok buah sawit ke 29 pabrik kelapa sawit, diantaranya Astra Agro Lestari, Eagle High Plantation, Sinar Mas, Wilmar, dan PTPN III yang merupakan induk perusahaan dari PTPN XIII. Selanjutnya, seluruh pabrik kelapa sawit tersebut memasok CPO ke lima kelompok perusahaan biodiesel, yaitu Wilmar, Royal Golden Eagle (RGE), Musim Mas, Permata Hijau, dan Sinar Mas.
Sankey PTPN XIII
Berdasarkan temuan terakhir, Pabrik kelapa sawit PTPN III memasok CPO ke dua kelompok perusahaan biodiesel, yaitu RGE dan Sinar Mas. Jumlah pasok CPO ke Kutai Refinery Nusantara di bawah RGE sebanyak 8.288 ton. Lain itu jumlah pasok CPO ke Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) di bawah Sinar Mas sebanyak 7.774 ton. Sementara tiga kelompok korporasi biodiesel lain tidak terdeteksi jumlah pasok CPO-nya.
PT Kutai Refinery Energy mengirim pasokan biodiesel ke PT Pertamina Patra Niaga sebanyak 647.262 ton, PT AKR Corporindo sebanyak 116.902 ton, dan PT Energy Coal Prima sebanyak 67.409 ton.
Sementara itu, PT SMART memasok biodiesel ke PT Pertamina Patra Niaga sebanyak 35.471 ton, PT AKR Corporindo sebanyak 94.895 ton, PT Exxonmobil Lubricants Indonesia sebanyak 130.617 ton, PT Shell Indonesia sebanyak 15.032 ton, PT Energy Coal Prima sebanyak 57.408 ton, dan PT Sinaralam Duta Perdana II sebanyak 40.149 ton.
Kelima grup perusahaan biodiesel tersebut diketahui masuk dalam lima besar penerima subsidi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). BPDPKS memberikan subsidi untuk biodiesel sejak 2015 hingga 2023 sebesar Rp179 triliun.
Besaran subsidi yang diterima oleh kelima perusahaan biodiesel tersebut antara lain: Wilmar sebesar Rp56,6 triliun; Musim Mas sebesar Rp26,5 triliun; Royal Golden Eagle sebesar Rp21,3 triliun; Permata Hijau sebesar Rp14,9 Triliun; dan Sinar Mas sebesar Rp14 triliun.
Aturan terkait subsidi biodiesel tertuang di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Pada pasal 18 ayat 5 Perpres 61/2015, disebutkan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) jenis biodiesel atau perusahaan biodiesel yang berhak mendapat subsidi wajib memenuhi dokumen izin usaha niaga jenis biodiesel yang masih berlaku dan mempunyai kontrak pengadaan biodiesel.
Mereka juga harus melaporkan kegiatan produksi dan distribusi (domestik maupun ekspor) secara reguler kepada Kementerian ESDM; memenuhi standar kualitas/spesifikasi biodiesel sesuai peraturan perundang-undangan; dan telah diverifikasi oleh Kementerian ESDM terhadap volume bahan bakar nabati jenis biodiesel yang disalurkan.
Grup Perusahaan Sinar Mas dan Wilmar berdasarkan laporan koalisi diketahui memiliki Politically Exposed Persons (PEP). Berdasarkan keterangan dari Bank Indonesia, PEP diartikan sebagai orang yang mendapat kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik, alias penyelenggara negara.
Sinar Mas dan Wilmar masing-masing memiliki 4 PEP. Tidak hanya itu, empat PEP ini merupakan bagian dari Tim Pemenangan atau Tim Sukses dalam pemilihan presiden pada 2019 dan 2024.
Kepala Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Marselinus Andry menilai, keberadaan PEP dalam struktur kepengurusan maupun pemilik manfaat memiliki pengaruh terhadap jumlah subsidi yang diterima. Contohnya Wilmar yang memiliki 5 orang PEP, mendapat jumlah subsidi paling besar di antara semua grup usaha sebesar Rp56,6 triliun. Sejak tahun 2015 - 2023, total alokasi biodiesel mencapai 31% atau 14,8 juta kiloliter.
Sementara itu Sinar Mas Group dengan 4 orang PEP menerima subsidi sekitar Rp14 triliun. Total alokasi biodiesel Sinar Mas sendiri sebesar 4 juta kilo liter biodiesel atau sebesar 8,5% sepanjang tahun 2015-2023.
Selain itu, berdasarkan catatan Marselinus komposisi anggota komite pengarah BPDPKS dihuni oleh para konglomerat yaitu Martias, T.P. Rahmat dan Prijono Sugiarto. Martias adalah pemilik Perusahaan Surya Dumai yang menguasai lahan sawit seluas 201.001 hektare (ha). Sementara itu T.P. Rahmat merupakan pemilik Perusahaan Triputra Group yang menguasai lahan seluas 430.591 ha; dan Prijono Sugiarto dari Perusahaan Astra Internasional.
Astra Internasional memiliki anak usaha di bawah kendali Astra Agro Lestari dengan kepemilikan lahan sebesar 461.072 ha. Sedangkan T.P. Rahmat memiliki saham di perusahaan sawit DSN Group sebesar 30, 98% dengan luas lahan sawit 94,232. ha. Pada tahun 2018, Group Triputra berencana mengembangkan pabrik biodiesel berkapasitas 10.000 ton/tahun.
Seiring berjalannya waktu, Prijono Sugiarto dan T.P. Rahmat diganti oleh Arif Patrick Rachmat dari Triputra yang merupakan anak T.P. Rahmat; Franky Oesman Widjaja pemilik Sinar Mas yang menguasai lahan sawit sebesar 502.847 ha; dan Martua Sitorus yang merupakan mitra bisnis Wilmar Group.
Wilmar dan Sinar Mas memiliki pabrik biodiesel yang disubsidi BPDPKS. Hal tersebut menjadi indikasi kuat bahwa BPDPKS sarat kepentingan konglomerat sawit dan telah terkooptasi oleh korporasi. Oleh karena itu, SPKS meminta agar petani kelapa sawit dimasukkan dan dilibatkan dalam jajaran petinggi BPDPKS.
"Sejak pendirian BPDPKS, keterwakilan petani itu sangat minim, terutama di komite pengarah. Itu karena komite pengarah punya kewenangan, punya otoritas untuk perencanaan alokasi anggaran dan pemanfaatan anggaran," kata Andry kepada Deduktif, Jumat, (13/9/2024).
Andry meminta kepada BPDPKS agar tidak memberikan subsidi biodiesel yang besar untuk perusahaan saja, tetapi juga kepada petani sawit rakyat. Apalagi BPDPKS tidak transparan dan tak memberikan panduan atau penilaian khusus untuk menentukan besaran subsidi ke masing-masing perusahaan.
Ia juga mendorong agar kementerian ESDM membuat regulasi supaya rantai pasok biodiesel bisa langsung dari petani sawit. Kemudian perusahaan biodiesel juga harus melakukan program kemitraan dengan petani untuk memasok tandan buah segar (TBS) sawit.
"Karena petani selama ini kan harganya dari tengkulak, bukan harga penetapan di pasaran. Itu tidak adil. Tetapi dengan adanya biodiesel ini, sebetulnya petani bisa mendapatkan harga yang lebih baik ketika mereka bisa bekerjasama dengan perusahaan," ucapnya.
Koalisi Transisi Bersih mengatakan penanaman sawit secara terus-menerus untuk keperluan biodiesel berpotensi meningkatkan deforestasi secara masif. Berdasarkan temuan mereka melalui Map Biomass, Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 17.767.966 hektare per tahun 2023. Sebagai perbandingan, data dari pemerintah per tahun 2022, luas lahan sawit berjumlah 16,8 juta hektare.
(Di narasi masukan angka bulat. Di visualisasi masukan angka rinci. Di narasi itu bisa masukan garis besar. di visualisasi baru dirinciin)
Dari lahan perkebunan sawit seluas 17.767.966 hektare, Koalisi Transisi Bersih menemukan kebun sawit produktif seluas 12.693.814 hektare pada tahun 2022. Koalisi coba menghitung asumsi luas perkebunan kelapa sawit dan potensi deforestasi untuk memenuhi permintaan biodiesel di dalam negeri hingga tahun 2042.
Mereka mengasumsikan kebutuhan pemenuhan permintaan sawit domestik dan internasional pada 2042 untuk skema Business as Usual (BAU) B35, Ambisius B40, dan Agresif B50. Permintaan tersebut diselaraskan dengan pertambahan luas perkebunan kelapa sawit yang berpotensi produktif deforestasi.
Jika menggunakan skema BAU, permintaan minyak sawit domestik dan internasional pada tahun 2042 mencapai 67.096.293 ton; sementara skema Ambisius B40 mencapai 69.940.078 ton; dan skema Agresif B50 mencapai 75.627.647 ton.
(Data koalisi halaman 18 tentang permintaan minyak sawit)
Pada tahun 2022, luas tanaman produktif seluas 12.693.814 hektare. Jika dihitung untuk pemenuhan kebutuhan sawit sampai tahun 2042, dengan skema BAU diasumsikan luas tanaman produktif mengalami pertambahan luas hingga 29% atau 3.657.842 hektar. Jika menggunakan skema Ambisius diasumsikan bertambah hingga 34% atau 4.350.884 hektare. Sementara itu jika menggunakan skema Agresif diasumsikan bertambah hingga 45% atau 5.736.969 hektare.
Luas perkebunan sawit yaitu mencakup luas tanaman produktif kelapa sawit, luas tanaman yang rusak, dan luas tanaman yang belum produktif. Luas tanaman rusak dan luas tanaman yang belum produktif diasumsikan masing-masing 3,9% dan 21,6% dari luas tanaman produktif kelapa sawit.
Total luas perkebunan sawit untuk memenuhi kebutuhan permintaan sawit domestik dan internasional pada 2042 dengan skema BAU yaitu 20.521.328 hektare; skema kema Ambisius B40 sejumlah 21.391.096 hektare; dan dengan skema Agresif B50 mencapai 23.130.633 hektare.
Artinya, kebutuhan pertambahan lahan perkebunan kelapa sawit hingga tahun 2042 yaitu untuk skema BAU 2.753.362 hektare; skema Ambisius B40 sejumlah 3.623.130 hektare; dan skema Agresif B50 mencapai 5.362.667 hektare.
Sementara itu untuk menghitung potensi deforestasi dari masing-masing skema untuk memenuhi kebutuhan sawit pada 2042 diasumsikan sebanyak 28% dari total pertambahan luas perkebunan sawit. Hingga 2023, luas perkebunan sawit total mencapai 17.767.966 hektare. Sehingga diperoleh perhitungan 28% dari selisih luas perkebunan sawit 2042 dengan luas perkebunan sawit di 2023.
Perhitungannya menunjukan dengan skema BAU, potensi deforestasi mencapai 770.941 hektare. Skema Ambisius mencapai 1.014.476 hektare. Lalu skema Agresif mencapai 1.501.547 hektare.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien mengatakan deforestasi untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit, terutama untuk produksi biodiesel, menimbulkan dampak signifikan terhadap ekosistem. Seperti hilangnya habitat satwa liar, penurunan kualitas tanah, dan pelepasan emisi karbon yang tinggi.
Hal ini bertentangan dengan upaya global untuk mitigasi perubahan iklim. Pasalnya, Indonesia sudah berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050 dalam Paris Agreement. Sehingga, jika praktik deforestasi ini terus dilakukan untuk memenuhi ambisi peningkatan produksi biodiesel, maka bisa memperlambat pencapaian target pengurangan emisi negara Indonesia.
Walaupun salah satu tujuan utama penggunaan biodiesel adalah mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dan mendukung energi bersih. Namun, jika produksi biodiesel didasarkan pada praktik yang tidak berkelanjutan, seperti deforestasi atau perampasan lahan, maka manfaat lingkungan dari biodiesel menjadi nihil.
“Pemenuhan standar keberlanjutan yang ketat dan kepatuhan terhadap hukum harus menjadi prioritas dalam memastikan industri kelapa sawit dapat berkembang tanpa mengorbankan hutan dan ekosistem penting,” kata Andi kepada Deduktif, Jumat, (13/9/2024).
Ia mengatakan jika melihat rencana Presiden-Wakil Presiden terpilih, Prabowo-Gibran dalam membuat kebijakan hilirisasi ekspor, terutama dalam konteks ekspor biodiesel, pemerintah harus cermat mempertimbangkan tantangan deforestasi yang masih terjadi di Indonesia.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), terdapat ekspor biodiesel Indonesia sebesar 308 ton liter pada tahun 2023. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia adalah pemain utama di pasar biodiesel global.
Namun, ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan terkait ekspor biodiesel selain isu deforestasi, adalah regulasi internasional ketat seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang membatasi impor produk hasil deforestasi.
EUDR merupakan komitmen Uni Eropa untuk memastikan rantai pasok produk-produk tertentu bebas deforestasi. Aturan ini ditetapkan oleh Uni Eropa pada 29 Juni 2023. Deforestasi memperluas perkebunan kelapa sawit untuk memenuhi permintaan biodiesel berpotensi merusak reputasi Indonesia di pasar global, membatasi akses pasar ke Eropa, dan memicu sanksi dagang.
Oleh karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan pengembangan sumber energi terbarukan lain, dan tidak bergantung pada kelapa sawit, seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi, yang dapat membantu mengurangi tekanan terhadap hutan.
“Hal ini tidak hanya akan meningkatkan daya saing di pasar internasional, tetapi juga membantu Indonesia mencapai target emisi karbon dan melindungi keanekaragaman hayati,” lanjut Andi.
Andi menyarankan salah satu solusi untuk mengatasi masalah deforestasi adalah fokus pada peningkatan produktivitas di lahan yang sudah ada, daripada membuka lahan baru. Saat ini, banyak perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih memiliki produktivitas rendah.
“Lakukan program intensifikasi melalui perbaikan teknik pertanian, penggunaan varietas kelapa sawit yang lebih produktif, dan manajemen yang lebih efisien,” pungkasnya.
Deforestasi untuk Kelapa Sawit
Seperti yang dikatakan Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, deforestasi memiliki berbagai dampak buruk, seperti kerusakan lingkungan, bencana alam, hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, hingga perampasan lahan milik warga.
Deduktif melakukan reportase ke lokasi deforestasi untuk produksi biodiesel, perkebunan sawit milik PT. Wahana Plantation and Product (WPP), anak perusahaan dari Tianjin Julong untuk melihat dampak kerusakan deforestasi. Lokasi tersebut berada di konsesi milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII yang berada di Desa Gandis, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
“Dulu perkebunan sawit ini masih hutan alam. Setelah Julong masuk, sekarang berubah jadi perkebunan kelapa sawit,” kata Ketua SPKS, Kornel kepada Deduktif saat melintasi perkebunan kelapa sawit milik PT WPP di Desa Gandis, Kamis, (15/8/2024).
Untuk sampai ke area tersebut, Deduktif mengendarai sepeda motor masuk dari Desa Bancoh, Kecamatan Sungai Tebelian menuju Dusun Kebah, Desa Gandis, Kecamatan Dedai sekitar pukul 11 siang.
Sepanjang jalan terlihat hamparan pohon kelapa sawit di area PT WPP di sebelah kiri jalan . Sementara itu di area kanan, masih terlihat hutan alam yang beberapa areanya sudah ditanami pohon karet. Mobil truk pengangkut tandan sawit hilir mudik melintas. Meninggalkan asap hitam dari semburan knalpot. Bercampur debu dari tanah merah yang dilintas roda truk.
Di tengah perjalanan, terdapat papan plang dari kayu bertuliskan “Selamat Datang di Divisi SNE B PT Wahana Plantation and Products Sona Estate”.
(Masukan Gambar Plang PT WPP )
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam dari pintu masuk PT WPP, kami tiba di kediaman Kepala Wilayah Dusun Kebah, Desa Gandis, Florencio Salu.
Salu menceritakan awal mula PTPN XIII masuk ke lokasi Desa Gandis. Pria berusia 59 tahun itu mengatakan, awalnya pihak PTPN XIII mengundang para perwakilan wilayah untuk melakukan sosialisasi pada tahun 1982. Salah satu isi sosialisasi tersebut yaitu wilayah di Kabupaten Sintang akan diolah oleh PTPN XIII untuk dijadikan perkebunan.
Namun, Dusun Kebah memutuskan untuk tidak masuk ke wilayah PTPN XIII. Wilayah yang masuk di PTPN XIII yaitu Desa tetangga seperti Dusun Sona, Desa Gandis, Kecamatan Dedai; Desa Lundang, Kecamatan Dedai; dan Desa Bancoh, Kecamatan Sungai Tebelian. Pasalnya terdapat warga yang menerima dan menolak lahannya dikelola oleh PTPN XIII. Salu mengatakan lahan yang diberikan oleh warga pada saat itu merupakan hutan alam.
“Jadi mereka yang menyerahkan itu. Kalau Desa Bancoh, mungkin yang sekitar jalan masuk. Tapi yang jelas hanya hutan yang mereka serahkan,” kata Salu kepada Deduktif di kediamannya di Desa Gandis, Kalimantan Barat, Kamis, (16/8/2024).
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2008 pihak dari PT Wahana Plantation and Product (WPP), anak perusahaan dari Group Tianjin Julong melakukan sosialisasi lagi kepada warga. PT WPP menawarkan kepada warga agar dibuka lahan kelapa sawit dengan skema 8:2, dengan warga sebagai mitra.
Skema 8:2 yaitu, luas lahan 8 hektar dibagi untuk perusahaan 6 hektare dan untuk petani 2 hektare. Lalu petani membayar lahan tersebut secara kredit Rp25 juta per hektare menggunakan hasil dari perkebunan kelapa sawit tersebut.
Penawaran dengan skema tersebut ditolak oleh warga Dusun Kebah. Meski demikian, terdapat beberapa warga Dusun Kebah yang menyerahkan lahannya untuk dikelola oleh PT WPP.
“Hutan alam itu dulu memang hutan lebat. Masuk kelapa sawit PT Wahana (WPP) itu dari 2008,” ucapnya.
Kemudian pada tahun 2012, lanjut Salu, PT WPP mengambil alih lahan di Dusun Sona sekitar 800 hektar. Ia mengatakan, buah kelapa sawit yang berada di perkebunan PT WPP dikirim ke pabrik kelapa sawit (PKS) milik PT WPP yang berada di Desa Lalang Baru, Kecamatan Sintang. Berdasarkan informasi yang ia terima, buah sawit terus tersebut akan diproduksi untuk membuat biodiesel.
“Itu sudah saya dengar. Sudah ada produksinya. buat biodiesel gitu. Baru uji coba kalau tidak salah, sudah dua atau tiga tahun,” tuturnya.
Deduktif coba menelusuri PKS milik PT WPP yang berada di Desa Lalang Baru yang berjarak 27,5 kilometer kilometer, memakan waktu tempuh sekitar satu jam lebih dari plang PT WPP. Berdasarkan pemantauan Deduktif, 2 kilometer dari jarak PKS PT WPP terlihat asap menjulang dari cerobong pabrik pengolahan buah sawit itu.
(Tolong masukin visual dari Plang PT WPP ke Pabri Kelapa Sawit Julong)
Pabrik Kelapa Sawit Tianjin Julong
0.01121929814892753, 111.558495006747
Pintu Masuk Area PT WPP
-0.10488694395069048, 111.55688451321308
Tiba di depan PKS PT WPP sekitar pukul 7 malam. Bunyi mesin pabrik terdengar begitu nyaring dari jarak sekitar 100 meter. Mobil truk hilir mudik masuk ke PKS membawa buah sawit yang melebihi kapasitas muatan.
Berdasarkan data dari Koalisi Transisi Bersih, PT Wahana Plantation & Products (WPP) milik Tianjin Julong Group, memasok minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) ke PT Kutai Refinery Nusantara milik Royal Golden Eagle (RGE) sebanyak 4.144 ton pada tahun 2022.
PT Kutai Refinery Nusantara juga diketahui memasok biodiesel kepada PT Pertamina Patra Niaga sebanyak 647.262 ton; PT AKR Corporindo 116.902 ton, dan PT Energy Coal Prima 67.409 ton.
(Supply chain PT WPP)
Berdasarkan penelusuran Deduktif ke perkebunan kelapa sawit PT WPP, perusahaan tersebut berada di daerah Desa Gandis, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Berdasar citra satelit Nusantara Atlas, kawasan yang sedang dikelola PT WPP berada di areal konsesi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII.
Masih dari Nusantara Atlas, deforestasi yang terjadi di areal konsesi PTPN XIII di Desa Gandis untuk menanam kelapa sawit terjadi dalam rentang waktu 2008-2010. Data tersebut sama seperti masuknya PT WPP pada tahun 2008 sesuai keterangan dari Kepala Wilayah Dusun Kebah, Desa Gandis, Florencio Salu.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien mengatakan secara umum perusahaan swasta tidak memiliki hak untuk menggunakan konsesi lahan yang dimiliki oleh BUMN seperti PTPN XIII tanpa adanya kerja sama resmi, perjanjian atau izin dari otoritas terkait. Lahan konsesi yang diberikan kepada BUMN seperti PTPN XIII biasanya diatur regulasi ketat dan hanya dapat digunakan oleh perusahaan dengan hak pengelolaan resmi.
Ada beberapa kemungkinan perusahaan swasta seperti PT WPP bisa beroperasi di lahan konsesi milik PTPN XIII, misalnya menjalin kerjasama formal seperti joint venture atau perjanjian kemitraan, di mana BUMN dapat bekerja sama dengan perusahaan swasta dalam mengelola lahan yang dimiliki.
“Namun, kerjasama semacam ini harus melibatkan persetujuan dari otoritas terkait, termasuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Kementerian BUMN, dan kemungkinan juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) jika menyangkut pemanfaatan lahan hutan,” kata Andi.
Kepala Dusun Kebah, Salu melanjutkan, sebelum menjadi kelapa sawit oleh PT WPP, beberapa lahan Desa Gandis merupakan kawasan hutan alam. Terdapat sejumlah tumbuhan alam maupun tanaman warga seperti meranti, belian, rotan, perepat, kelansau, perkebunan karet, dan pohon alam lain.
Terdapat juga beberapa tumbuhan yang biasa digunakan warga untuk kebutuhan penyedap makanan, seperti daun pakis, daun gandis, kecam, hingga daun salam. Lalu juga obat-obatan seperti pasak bumi untuk menjaga stamina, beberapa tanaman obat demam, hingga daun gambir untuk obat sakit perut.
“Rumah sakit nggak ada di sini, jadi kita manfaatkan obat dari alam,” ujar Salu.
Lahan di Desa Gandis juga produktif kayu yang dikelola untuk membangun rumah dan sampan. Kayunya biasa diperjualbelikan ke warga sekitar. Di di Desa Gandis, lanjut Salu, kayu masih melimpah, tapi desa tetangga, kayu sudah hampir habis karena ditebang untuk perkebunan kelapa sawit.
Sebagian warga telah menyerahkan lahannya ke PT WPP. Namun Salu hingga saat ini menolak menyerahkan lahan Dusun Kebah untuk perkebunan kelapa sawit. Meski beberapa kali ia mengaku dihasut oleh PT WPP agar lahannya diserahkan, namun ia dengan tegas menolak.
“Itulah kemarin kami itu tidak menyerahkan hutan. Kalau Dusun Kebah dibuka sawit, nanti aset alam tidak bisa dinikmati (warga). Di sini alam masih dijaga untuk kebutuhan sehari-hari,” jelas dia.
Salu mengatakan konflik perampasan lahan juga pernah terjadi pada tahun 2008. Saat itu PT WPP membuat batas administrasi Desa Gandis dan Bancoh. Salu menuturkan sekitar 200 hektare lahan Dusun Kebah dari total 600 hektare dipatok untuk masuk dalam administrasi wilayah Desa Bancoh. Lahan tersebut disulap menjadi perkebunan kelapa sawit.
Ketika dirinya terpilih sebagai Kepala Dusun Kebah pada tahun 2009, Salu melakukan protes atas lahan dusun tersebut. Namun, kondisi lahan hingga saat ini masih sengketa, tak jelas masuk ke dalam wilayah Dusun Kebah, Desa Gandis, atau Desa Bancoh.
“Perusahaan (PT WPP) ini kan pandai, kami duga dihasutlah orang Bancoh ini, kemudian perampasan hak-hak itu diambil secara paksa diserahkan ke perusahaan.”
Berdasarkan pemantauan dari Nusantara Atlas, deforestasi yang terjadi di areal konsesi PTPN XIII di Desa Gandis untuk menanam kelapa sawit terjadi dalam rentang waktu tahun 2008 hingga 2010.
Selain di Desa Gandis, perkebunan PTPN XIII di Kabupaten Sintang juga berada di Desa Tertung, Kecamatan Sintang (deforestasi 2009-2011); Desa Lalang Baru, Kecamatan Sintang (deforestasi 2008-2010); Desa Pengkadan Baru, Kecamatan Dedai (deforestasi 2019-2021); Desa Bancoh, Kecamatan Sungai Tebelian (deforestasi 2010-2016); dan Sungai Ukoi, Kecamatan Sungai Tebelian (deforestasi 2008-2009).
Dampak yang Terjadi Setelah Deforestasi
Salu menyatakan, akibat deforestasi untuk menanam kelapa sawit, jika turun hujan, banjir kerap melanda sekitar pemukiman perkebunan PT WPP. Deforestasi membuat lahan resapan air hujan berkurang drastis. Banjir paling parah terjadi pada tahun 2019 dan 2020, hingga satu bulan lamanya dengan kedalaman mencapai 4 meter.
“Kalau banjir itu luar biasa sekarang, dulu nggak pernah separah ini,” ucapnya.
Tak hanya itu, kekeringan juga terjadi ketika musim kemarau. Pasalnya tanaman sawit membutuhkan banyak air. Wilayah yang sering terjadi kekeringan adalah Desa Sona dan Bancoh.
“Desa Sona itu mereka sering ambil air ke sini padahal mereka dekat sungai cukup besar. Kami pakai sumur di sini sumur manual, airnya cukup bagus,” tuturnya.
Setelah membuka lahan perkebunan sawit, Salu mengatakan PT WPP hanya memberdayakan masyarakat lokal untuk menjadi buruh harian kasar saja, dengan tugas memupuk, membersihkan semak belukar, hingga memanen buah sawit.
Sementara itu masyarakat dari luar daerah seperti Jawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan sejumlah daerah lain diberi posisi pekerjaan yang bagus, seperti mandor, operator, mekanik, hingga supir truk. Alasannya karena warga lokal tidak memiliki kemampuan untuk bekerja di posisi strategis tersebut.
Ia mengatakan konflik paling besar terjadi karena perusahaan Julong merekrut mekanik dan mandor dari orang luar wilayah. Padahal, kata Salu, banyak warga lokal yang memiliki kemampuan sebagai mandor dan mekanik. Tak menerima kondisi tersebut, warga sempat melakukan protes dengan memagar jalan perkebunan kelapa sawit.
“Ada juga warga yang punya kemampuan sebagai mekanik sampai menantang mekanik dari orang luar untuk adu kemampuan karena tidak terima,” tuturnya.
Salah satu pekerja di perkebunan milik Julong yaitu Matias, 45 tahun, sehari-hari bekerja sebagai pemanen buah sawit menggunakan egrek, alat berbentuk sabit dengan tongkat panjang yang digunakan untuk memotong pelepah dan tandan buah segar kelapa sawit. Ia diupah sebesar Rp100 untuk 1 kilogram buah sawit.
Satu tandan buah sawit beratnya sekitar 7 kilogram. Dalam sehari ia bisa memanen 1 ton. Artinya Matias dapat mengambil sekitar 143 tandan sawit per hari dengan penghasilan hanya Rp100 ribu saja. Matias bekerja mulai pukul 07-00-11.00 WIB.
Matias mengaku upah yang ia terima belum cukup untuk memenuhi kebutuhan bersama sang istri yang diperkirakan sebesar Rp150 ribu per hari.
“Kalau kurang, saya cari sampingan mikul pupuk,” katanya kepada Deduktif di kediamannya di Dusun Kebah, Kamis, (15/8/2024).
Tandan yang sudah matang dikenali dengan tanda dua buah sawit yang jatuh dari pohon. Buruh yang memanen buah sawit belum matang, akan dikenakan denda Rp20.000 per tandan.
Setelah dikumpulkan, buah sawit akan dikirim ke pabrik di Desa Lalang menggunakan truk. Sama dengan Salu, Matias mengatakan selain untuk minyak kelapa sawit, ia mendengar jika buah sawit tersebut juga akan diolah menjadi biodiesel.
Selain Matias, terdapat buruh harian perempuan bernama Yonesias Suli, 35 tahun. Ia sehari–hari bekerja sebagai pemberi pupuk untuk pohon kelapa sawit dan menebas semak belukar di perkebunan sawit milik PT WPP di Desa Sona menggunakan parang. .
Kondisi semak belukar yang rimbun membuatnya letih saat menebas. Bersyukur ia tak pernah bertemu ular atau binatang yang berbahaya saat melakukan pekerjaan. Pekerjaan menebas semak diupah sebesar Rp48.000 per hektar.
Sedangkan pekerjaan memupuk, perempuan itu diupah sebesar Rp52.000 per hektar. Namun ia harus menggendong tank berisi cairan pupuk seberat 20 kilogram untuk menyiram 10 pohon kelapa sawit.
Dalam satu hektar, terdapat puluhan pohon kelapa sawit yang harus ia sirami. Jika menggunakan jarak tanam awal pada kebun kelapa sawit monokultur dengan rumus 8 x 8 meter atau 8 x 9 meter, diperkirakan jumlah pohon sawit dalam 1 hektar sebanyak 84 pohon. Suli hanya bisa memilih satu dari dua jenis pekerjaan tersebut dalam sehari.
Jika dibandingkan Matias, upah yang diterima Suli sebagai buruh perempuan jauh lebih sedikit. Suli mengaku upah sebesar itu tidak cukup untuk menambah perekonomian suami yang bekerja sebagai pemanen buah sawit. Mereka menghidupi satu anak yang masih kelas 4 SD. Sementara satu anak lain yang berusia 17 tahun putus sekolah sejak kelas 3 SMP.
“Kalau untuk cukup sih tidak. Jadi dibagi-bagi lah biar cukup. Kebutuhan sehari-hari itu bisa Rp100.000-an,” kata Suli di kediamannya di Dusun Kebah.
Biasanya Suli mulai berkebun dari pukul 08.00-12.00 WIB. Ia diantar oleh sang suami–yang juga bekerja sebagai buruh perkebunan–mengendarai sepeda motor dengan perjalanan sekitar 20 menit dari rumah.
Upah Matias dan Suli jika dilihat dari kacamata kehidupan di Pulau Jawa, bakal terasa “lumayan”. Namun harga pangan di Kalimantan Barat lebih tinggi ketimbang Pulau Jawa, sehingga mereka cukup ngos-ngosan memenuhi kebutuhan hariannya.
Misal berdasarkan data harga pangan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), harga beras di Kalimantan Barat sekitar Rp16.000 per kilo. Di Jawa Barat beras mulai dihargai Rp13.020 per kilo. Daging ayam broiler di Kalbar dihargai Rp55.627 per kilo, sementara harga di Jawa Barat hanya sekitar setengahnya saja, yakni Rp34.813 per kilo.
Ketua SPKS Sintang, Kornelius menyatakan PT WPP tidak konsisten karena awalnya menjanjikan akan melibatkan banyak warga sekitar menjadi tenaga kerja. Tetapi kenyataannya malah banyak mendatangkan tenaga kerja dari luar yang pekerjaanya masih bisa dikerjakan oleh masyarakat setempat. Warga sekitar kebanyakan hanya dijadikan buruh harian kasar saja.
Akibat hal tersebut, akhirnya terjadi konflik horizontal antara warga setempat dengan orang pendatang. Sehingga, seolah PT WPP berpotensi mengadu domba warga.
“Misalnya supir, tenaga mekanik, dan mandor. Kalau didatangkan tenaga-tenaga dari luar, masyarakat asli merasa tidak dipekerjakan. Seharusnya perusahaan itu bijak sebagaimana janji-janji awal mempekerjakan warga sekitar,” kata Kornelius kepada Deduktif di Sintang, Kalimantan Barat, Jumat, (16/8/2024).
Tak hanya itu, warga sekitar yang menjadi buruh harian kasar juga tidak diberikan BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan. Padahal seharusnya perusahaan menanggung hal tersebut untuk mitigasi kecelakaan kerja dan sakit.
“Perusahaan itu harus menyediakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan agar petani bisa dimanusiakan,” pungkasnya.
Penjabat Gubernur Kalimantan Barat, Harrison mengatakan sesuai dengan tema pembangunan Kalimantan Barat tahun 2025-2045 yakni energi hijau, ia akan mendukung penggunaan kelapa sawit untuk biodiesel.
"Kami pasti akan mendukung kalau nanti ada subsidi dari pemerintah pusat kepada petani-petani sawit yang ada di Kalimantan Barat," kata Harrison di Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Sabtu (17/8/2024).
Respons PTPN XIII
SEVP Business Support PTPN IV Regional V (eks PTPN XIII), Muhammad Zulham Rambe membantah pihaknya melakukan deforestasi untuk melakukan penanaman kelapa sawit. Zulham menyatakan jika perusahaannya memiliki kebijakan lingkungan yang ketat, dan seluruh kegiatan operasional diawasi sesuai dengan peraturan pemerintah. Termasuk peraturan tentang perlindungan hutan dan pengelolaan lahan secara berkelanjutan.
PTPN IV Regional V, lanjut Zulham, berkomitmen untuk mematuhi semua regulasi dan standar keberlanjutan yang ditetapkan oleh pemerintah setempat maupun internasional, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Setiap area yang kami kelola sudah melalui proses feasibility study, termasuk analisis dampak lingkungan (AMDAL). Kami juga bekerja sama dengan pihak ketiga independen dalam melakukan audit lingkungan secara berkala,” kata Zulham kepada Deduktif, Jumat, (6/9/2024).
Sebagai perusahaan BUMN, Zulham mengatakan PTPN IV Regional V memiliki tanggung jawab kepada masyarakat, negara, dan lingkungan. Oleh karena itu, pihaknya berupaya melakukan reforestasi dan pelestarian ekosistem di sekitar area operasional.
Zulham mengklaim jika perkebunan kelapa sawit PT WPP milik Group Tianjin Julong di Desa Gandis Kecamatan Dedai dan Desa Bancoh, Kecamatan Sungai Tebelian, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat dan di area sekitarnya tidak berada di areal konsesi milik PTPN IV Regional V Eks PTPN XIII di Sintang.
Ia mengatakan PTPN IV Regional V Eks PTPN XIII memulai operasionalnya di Sintang sejak tahun 1982 dengan mengembangkan komoditi Perkebunan Karet sesuai dengan permintaan masyarakat dan pemerintah setempat. Sampai saat ini, PTPN IV Regional V tidak melakukan pengembangan di Sintang.
Kemudian PTPN IV Regional V Eks PTPN XIII sampai dengan saat ini hanya memiliki Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Kernel. Selanjutnya produk tersebut dijual melalui tender terbuka.
Zulham menjelaskan rantai pasok PTPN IV Regional V selain TBS kelapa sawit dari kebun sendiri, 40% bersumber dari TBS kelapa sawit dari kebun plasma dan petani swadaya.
“Kami berkomitmen untuk mematuhi semua regulasi dan standar keberlanjutan. Setiap lahan yang kami kelola sudah melalui proses evaluasi, termasuk analisis dampak lingkungan,” klaimnya.
KLHK akan Bertindak jika Terjadi Pelanggaran
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan agar masyarakat dapat melaporkan jika PTPN XIII dan Tianjin Julong melakukan deforestasi untuk penanaman kelapa sawit di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani mengatakan akan menginstruksikan kepada jajarannya yang ada di Kalimantan Barat untuk mengecek lokasi tersebut.
"Tentu kami akan cek. Tolong kasih tahu ke kami, perusahaan PTPN-nya di mana, lokasinya di mana, dan pelanggarannya apa. Kemudian kami bisa kontak tim untuk mengecek itu," kata Rasio di Kantor KLHK, Jakarta Pusat, Rabu, (21/8/2024).
Selama ini, kata Rasio, KLHK telah melakukan tindak pidana maupun perdata kepada 1600-an perusahaan pencemar lingkungan. Baik itu perusahaan BUMN, swasta, maupun dilakukan oleh kelompok yang terorganisir.
"Bagi kami siapapun yg melakukan pelanggaran yang melakukan pencemaran, perusakan lingkungan, perambahan kawasan hutan, kami akan mengambil tindakan tegas. Baik itu tindakan hukum administratif maupun perdata," tegasnya.