Pulau Halmahera, yang kaya akan cadangan nikel, kini menghadapi ancaman besar akibat eksploitasi tambang nikel. Pertambangan ini tidak hanya membawa dampak ekonomi tetapi juga memicu bencana lingkungan yang mengancam ribuan warga. Halmahera dimana? Pulau ini terletak di Maluku Utara dan menjadi salah satu pusat eksploitasi nikel adalah yang terbesar di Indonesia.
Tidak bisa disangkal bahwa manfaat nikel sangat besar dalam industri modern, terutama dalam produksi baterai kendaraan listrik. Namun, di balik keuntungan ekonomi ini, tambang nikel di Pulau Halmahera justru mengundang bencana. Hutan yang dulu hijau kini berubah menjadi lahan gersang, dan sungai yang dulunya jernih kini berwarna kecokelatan dengan bau logam yang menyengat.
Sejak tahun 2019 hingga pertengahan 2024, sebanyak 19 peristiwa banjir terjadi di Halmahera Tengah. Wilayah yang dulunya subur kini harus menghadapi ancaman bencana akibat eksploitasi besar-besaran. Salah satu dampak terbesar adalah perubahan Sungai Sagea, yang airnya kini dipenuhi sedimen dari aktivitas tambang nikel.
Banyak warga yang terdampak, salah satunya Aldi (23), yang rumahnya terendam banjir bandang pada Juli 2024. "Air naik begitu cepat. Awalnya sebetis, tapi dalam satu jam sudah setinggi dada orang dewasa," katanya. Aldi dan keluarganya kehilangan hampir seluruh harta bendanya, kecuali beberapa dokumen berharga yang sempat ia selamatkan.
Indonesia memiliki cadangan nikel adalah yang mencapai 21 juta ton atau 22% dari total cadangan global. Tak heran jika pemerintah semakin gencar melakukan hilirisasi nikel untuk mendukung industri kendaraan listrik. Sayangnya, percepatan eksploitasi ini justru mengorbankan kehidupan masyarakat lokal.
Wilayah Pulau Halmahera, khususnya Halmahera Tengah, mengalami perubahan besar sejak tambang mulai beroperasi. Masyarakat yang dulunya bergantung pada pertanian kini harus bekerja serabutan karena lahan mereka sudah beralih fungsi menjadi kawasan industri pertambangan.
Dampak lain dari tambang nikel di Pulau Halmahera adalah polusi yang merusak lingkungan dan kesehatan masyarakat. Air sungai yang tercemar logam berat kini sulit digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, debu dari pertambangan menyebabkan masalah pernapasan bagi warga sekitar.
Menurut data Global Forest Watch, Halmahera Tengah kehilangan sekitar 27,9 ribu hektare hutan sejak tahun 2001 hingga 2023. Ini menyebabkan ekosistem yang seharusnya menjadi penahan air hujan kini tak lagi mampu menampung limpasan air, sehingga risiko banjir semakin tinggi.
Banyak pihak yang mempertanyakan apakah manfaat nikel sebanding dengan dampak buruk yang ditimbulkan. Di satu sisi, tambang nikel membawa keuntungan bagi industri, tetapi di sisi lain, masyarakat lokal harus menanggung dampak ekologis yang mengancam keselamatan mereka.
Wilayah Halmahera dimana kini berubah drastis akibat pembukaan tambang yang tak terkendali. Kehancuran lingkungan, kehilangan mata pencaharian, serta ancaman bencana menjadi harga yang harus dibayar atas eksploitasi tambang nikel.
Ambisi Jokowi Pada Nikel, Menambang Bah di Halmahera Tengah
TL;DR
-Operasi tambang nikel milik PT Weda Bay Nickel (WBN) yang digadang-gadang jadi musabab banjir bandang terbesar di Maluku Utara.
-Forest Watch Indonesia mencatat sejak 2019 hingga Juli 2024 ada sekitar 19 peristiwa banjir di wilayah Teluk Weda, Halmahera Tengah.
-Sungai Sagea, Halmahera Tengah mulai berubah kecokelatan dan berbau menyengat seperti logam berkarat.
-Polusi udara, tanah, dan air yang ditimbulkan oleh operasi tambang nikel memperburuk kualitas hidup masyarakat di sekitar wilayah tambang.
Belum lekang di ingatan Aldiyandi Sofyan (23) saat pertengahan tahun 2024 lalu rumahnya dihantam banjir hebat akibat luapan Sungai Sagea, Halmahera Tengah. Tepat di hulu Sungai Sagea terdapat operasi tambang nikel milik PT Weda Bay Nickel (WBN) yang digadang-gadang jadi musabab banjir bandang terbesar di Maluku Utara.
Hari itu, Sabtu 20 Juli 2024 langit yang awalnya mendung tiba-tiba berubah hitam pekat, lalu turun hujan deras sampai tengah malam.
“Saat itu saya khawatir banjir datang, takut kejadian banjir besar di tahun 2023 terulang lagi,” ujar Aldi kepada Deduktif, Jumat, (15/11/2024).
Kekhawatiran Aldi soal banjir benar terjadi. Ketika ia dan keluarganya tengah terlelap, tepat pukul 02.00 WIT banjir setinggi dua meter menghantam rumahnya. "Airnya cepat sekali naik. Awalnya cuma sebetis, tapi dalam waktu kurang dari satu jam sudah setinggi dada orang dewasa," kenang Aldi.
Hanya dokumen-dokumen berharga yang berhasil ia selamatkan dari ganasnya banjir. Ia tak sempat mengemas pakaian atau perbekalan lain. Aldi dan keluarganya langsung mengungsi ke rumah saudaranya di wilayah yang lebih tinggi.
“Ijazah sama dokumen penting keluarga berhasil saya bawa,” ujarnya.
Keesokan harinya, Minggu 21 Juli 2024, Desa Sagea yang berada di Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara terendam banjir bandang selama tiga hari berturut-turut. Empat desa lainnya di Halmahera Tengah juga ikut dihantam banjir, yakni Desa Lukulamo, Desa Lelilef Woebulan, serta Desa Woekob dan Desa Woejerana.
Forest Watch Indonesia, organisasi yang memantau pengelolaan hutan di Indonesia mencatat sejak 2019 hingga Juli 2024 ada sekitar 19 peristiwa banjir di wilayah Teluk Weda, Halmahera Tengah. Dan pertengahan Juli 2024 adalah banjir terparah di wilayah yang mendapat julukan Bumi Fagoguro karena kekayaan alamnya itu.
Banjir kala itu tak hanya merusak rumah dan harta benda, tetapi juga melumpuhkan beberapa desa di Halmahera Tengah termasuk Desa Sagea. Sekolah, pasar, dan ladang semuanya terendam. Butuh waktu berminggu-minggu untuk warga membersihkan lumpur dan puing-puing yang tersisa setelah air surut. Banjir juga memutus akses utama jalan penghubung antar desa.
PT WBN berjarak 5 km dari rumah Andi. Ia menduga, sejak perusahaan tambang nikel masuk ke wilayahnya pada tahun 2008, Sungai Sagea mulai mengalami perbedaan. Mulai dari warnanya yang kecokelatan sampai bau menyengat seperti bau logam berkarat.
Dahulu, Andi bisa melihat langsung ikan-ikan berenang di dasar sungai, kini, tak lagi, membuktikan bahwa sedimentasi Sungai Sagea yang cukup tinggi.
Data dari Jaringan Advokasi Tambang Nasional (JATAM), sebuah organisasi nonpemerintah dan komunitas yang peduli terhadap isu-isu pertambangan, mengungkap PT WBN telah masuk beroperasi di Halmahera Tengah pada tahun 2008. Lambat laun, laju investasi makin naik hingga mengubah pola produksi dan konsumsi masyarakat.
Berdasarkan data Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) (pdf, hlm 3), Indonesia punya cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 21 juta ton atau sekitar 22% dari total cadangan global. Besarnya cadangan nikel tersebut, memantik ambisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan hilirisasi nikel. Pada periode kedua Jokowi menjabat, ia ingin menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat industri mobil listrik dunia. Jelas, ini memicu percepatan dan perluasan wilayah tambang nikel di Indonesia.
Seturut ambisi tersebut, pemerintah mendorong investasi besar-besaran di sektor pertambangan nikel, terutama di wilayah-wilayah kaya sumber daya seperti Halmahera Tengah. Namun, percepatan ini dibayar dengan harga mahal bagi masyarakat lokal dan lingkungan.
Keberadaan PT WBN di Halmahera Tengah jadi salah satu contoh nyata bagaimana eksploitasi sumber daya alam seringkali mengorbankan kehidupan dan mata pencaharian masyarakat setempat.
Masyarakat Transmigran Kobe, yang sebelumnya mengandalkan pertanian untuk hidup, kini harus bergantung pada pekerjaan serabutan seperti buruh bangunan. Alih fungsi lahan dan perusakan lingkungan akibat aktivitas tambang telah memutus akses mereka ke sumber penghidupan tradisional.
Tak hanya itu, polusi udara, tanah, dan air yang ditimbulkan oleh operasi tambang nikel memperburuk kualitas hidup masyarakat di sekitar wilayah tersebut.
Hilangnya Sungai Sumber Penghidupan
Aldi menuturkan banjir yang dialami warga Halmahera Tengah bukanlah yang pertama kalinya. Sejak PT WBN masuk ke daerah tersebut, hujan kerap kali menyebabkan banjir bandang yang lebih besar dan lebih cepat. Salah satu faktornya adalah deforestasi besar-besaran yang dilakukan perusahaan untuk membuka lahan tambang nikel.
“Hutan di sekitar Sungai Sagea habis, pohon-pohon yang dulu menyerap air hujan sekarang sudah hilang,” ujarnya.
Seturut data dari Global Forest Watch dalam publikasi Jaringan Advokasi Tambang Nasional (JATAM) (pdf, hlm 49), sejak 2001 hingga 2023, Halmahera Tengah telah kehilangan 27,9 ribu hektare tutupan hutan, ini setara dengan penurunan sebesar 13% tutupan pohon sejak tahun 2000. Hal ini berkontribusi pada pelepasan emisi karbon dioksida (CO₂e) sekitar 22,4 juta ton.
Kehilangan hutan yang parah terjadi terutama di area-area kritis di hulu sungai, termasuk Sungai Sagea. Pembalakan hutan dan penghancuran bukit-bukit demi kepentingan konsesi tambang nikel yang dijalankan oleh PT WBN dan perusahaan-perusahaan tambang nikel pemasok bahan baku Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) telah memperburuk erosi tanah. Akibatnya, sungai tercemar dengan sedimentasi yang semakin menumpuk, merusak lingkungan secara fatal.
Sungai Sagea, yang sebelumnya jadi sumber kehidupan bagi warga setempat, kini tak lagi dapat menampung air hujan dengan baik. Akibatnya, aliran air menjadi cepat dan deras, memicu terjadinya banjir bandang yang merusak desa-desa di sekitarnya. Sejak 2011 hingga 2024, PT WBN—salah satu perusahaan pemasok bijih (ore) nikel untuk IWIP—telah membuka lahan seluas hampir 6,5 ribu hektare. Sementara itu, untuk seluruh wilayah Halmahera Tengah, total luas lahan yang dibuka untuk kegiatan tambang mencapai lebih dari 21 ribu hektare.
Sejalan dengan data di atas, Julfikar Sangaji, Pegiat Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) di Maluku Utara, bilang banjir yang terjadi di Halmahera Tengah memang tak lepas dari operasi tambang, termasuk aktivitas PT WBN yang berkontribusi pada bukaan hutan yang berada di wilayah-wilayah penyangga.
“Ketika wilayah penyangga dibuka untuk tambang, daya serap air berkurang drastis. Akibatnya, saat hujan deras turun, air tidak lagi tertahan oleh ekosistem hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga alami, dan langsung mengalir ke wilayah pemukiman,” kata Julfikar kepada Deduktif, Selasa, (7/1/2025).
Ia menambahkan bahwa pembukaan hutan untuk tambang juga merusak sumber air bersih bagi masyarakat sekitar. “Banyak mata air yang rusak atau mengering, sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih. Sayangnya, pemerintah daerah abai karena lebih mementingkan penerimaan dari sektor tambang,” tuturnya.
Hak Pekerja yang Digilas Nikel
Cerita datang dari Arfandi Fete (27), seorang pekerja tambang nikel di Departemen Ferronikel Divisi Driver Smelter D, Group C, PT IWIP. Ia dipecat oleh perusahaan asal Cina tersebut lantaran vokal menuntut hak untuk mendapatkan alat keselamatan kerja yang layak.
Arfandi ditempatkan di dalam gudang ore dan sehari-hari berjibaku dengan debu nikel. Ia menyebutkan bahwa buruh yang rutin bekerja di area berdebu dan berlumpur tidak diberikan alat pelindung, seperti sarung tangan dan masker. Mereka dipaksa untuk bekerja tanpa perlindungan, meskipun sering mengajukan protes kepada perusahaan.
Keluhan pekerja mengenai kabel pabrik yang terendam air dan lumpur juga diabaikan oleh perusahaan. Padahal, sebagian kabel listrik tersebut masih aktif dan dapat membahayakan keselamatan, hingga berisiko menyebabkan kematian.
“Arfandi dipecat tanpa adanya surat pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan tempatnya bekerja. Dia (Arfandi) hanya diberikan formulir pengembalian alat pelindung diri (APD),” kata Julfikar yang mengadvokasi kasus Arfandi.
Sejak 2018 beroperasi, insiden kecelakaan kerja bukan hal baru bagi buruh tambang di kawasan industri IWIP.
Dalam setiap kejadian, perusahaan melarang para pekerja untuk mendokumentasikan insiden, apalagi membagikannya di media sosial. Larangan ini disertai ancaman serius, mulai dari pemberian sanksi, surat peringatan, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibatnya, banyak kejadian yang tidak pernah diliput atau dilaporkan media.
Masih berdasarkan riset JATAM, pada tahun 2022 misalnya, sebanyak 125 buruh dilaporkan mengalami insiden Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di kompleks Kawasan Industri Weda Bay Nickel. Dari seluruh kejadian tersebut, tercatat ada 61 insiden K3 di PT IWIP. Artinya IWIP jadi perusahaan yang paling banyak mengalami insiden kasus K3.
Dari seluruh insiden K3 yang terjadi, tercatat 42 korban yang berhasil diidentifikasi. Dari jumlah tersebut, 26 di antaranya meninggal dunia, sementara sisanya mengalami luka berat dan ringan. Diperkirakan jumlah korban kecelakaan kerja sebenarnya lebih dari 42 orang.
“Sikap tertutup perusahaan menghambat JATAM dan media mengidentifikasi jumlah korban yang sesungguhnya. Mirisnya, dari banyaknya insiden tersebut, tak ada satu kasus pun yang diproses secara hukum,” ungkap Julfikar.
Julfikar menyebut bahwa kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak pekerja di Halmahera Tengah menjadi bukti nyata dampak buruk dari aktivitas pertambangan yang tak terkontrol. Perlu tindakan tegas dari pemerintah untuk menghentikan degradasi lingkungan, salah satunya melalui penerapan moratorium pertambangan.
“Moratorium pertambangan di wilayah-wilayah yang ekosistemnya sudah rusak parah seperti Halmahera Tengah penting untuk memberi waktu pemulihan bagi lingkungan dan meninjau kembali kebijakan pertambangan yang selama ini mengutamakan kepentingan ekonomi dibanding keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat,” tegas Julfikar.
Studi literatur yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Moratorium Pertambangan di Indonesia” oleh Husen, Achmad dkk (2024) mengungkapkan bahwa kebijakan moratorium pertambangan bertujuan untuk memperbaiki tata kelola sektor pertambangan, termasuk mengatasi masalah izin usaha pertambangan (IUP) yang bermasalah dan mengurangi dampak lingkungan akibat aktivitas tambang yang tidak terkendali.
Moratorium ini, kata Julfikar, bukan hanya soal menghentikan kerusakan yang sedang berlangsung, tetapi juga membuka ruang untuk evaluasi dan reformasi menyeluruh terhadap tata kelola pertambangan di Indonesia.
“Kalau ini tidak dilakukan, kita tidak hanya kehilangan lingkungan yang sehat, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial yang semakin dalam bagi masyarakat di sekitar wilayah tambang,” pungkasnya.