Tangan Auri Jaya menyenggol segelas penuh teh hangat di hadapannya, air teh membasahi meja kayu besar di ruang terbuka lantai 11 Graha Pena Jakarta, tempat kami bertemu, Rabu, 15 September 2021. Sebelumnya saya bertanya, apakah keluarnya JPNN.com imbas dari konflik di internal Jawa Pos?
“Kami nggak ada konflik dengan Jawa Pos. Semuanya aman saja,” jawab Auri, sambil membereskan tumpahan tehnya.
“Buktinya kami masih di sini. Kalau ada konflik ya nggak di sini.”
Auri Jaya adalah Direktur Utama JPNN.com. Sore itu ia diampingi Antoni, Pemimpin Redaksi JPNN.com, dan Soetomo Samsu, Direktur Pengembangan SDM JPNN.com Soetomo Samsu.
JPNN.com berdiri pada 2008 dan dikelola PT Jawa Pos News Network (JPNN)–induk jaringan media massa Jawa Pos. Sampai 2012, menurut penelitian Merlyna Lim Media Concentration in Indonesia, terdapat 141 koran, 12 stasiun televisi, 1 radio, 2 majalah, dan 1 media daring di bawah PT JPNN.
PT JPNN berdiri setelah Dahlan Iskan berhasil membangun jaringan media massa lokal di seluruh Indonesia. Beberapa media besar di dalam jaringan ini antara lain Riau Pos, Manado Post, Kaltim Post, Sumatera Ekspres, Harian Fajar, dan Pontianak Post.
Sebagai jaringan, media-media massa lokal menyimpan produknya dalam server JPNN, berita, foto, artikel, feature, hingga konten belian dari pihak ketiga. Server itu terhubung ke komputer di semua kantor anak media Jawa Pos, sehingga mereka bisa mengakses berita dari seluruh Indonesia.
Berdasarkan praktik itulah, kata Auri, ide pendirian JPNN.com muncul. Konsep dasarnya, media ini mengolah produk dari jaringan JPNN menjadi konten baru dan menayangkannya secara daring di laman JPNN.com. Dahlan menyetujui konsep tersebut dan meminta Auri membeli domain JPNN.com.
“Andalan kami bukan news. Yang kami lakukan daur ulang berita-berita kemarin. Butuh kreativitas. Berita basi ditulis kembali,” terang Auri.
Dalam perjalanananya, menurut Auri, keberadaan JPNN.com “tak dianggap penting Jawa Pos.” Tak ada perhatian Jawa Pos untuk membesarkan bisnis JPNN.com. Auri menduga para pimpinan Jawa Pos tak menganggap JPNN.com menguntungkan secara bisnis dibandingkan anak-anak media lainnya.
Kondisi tersebut berdampak kepada para karyawan JPNN.com. Tak ada kepastian jenjang karier, dan tak ada kenaikkan gaji.
Antoni bercerita, para karyawan JPNN.com sempat mempertanyakan nasib mereka ke manajemen Jawa Pos. Tak pernah ada jawaban pasti. Mereka kemudian berembuk dengan Auri dan memutuskan mengambil jalan pedang: jalan sendiri.
Mereka melihat peluang JPNN.com bisa menjadi media mandiri, tumbuh besar di luar naungan imperium Jawa Pos. Indikatornya, pembaca tiap berita bisa menembus jutaan orang. Satu hal yang semestinya bisa bernilai bisnis besar jika mendapat perhatian dari memadai.
Delapan puluh karyawan JPNN.com, termasuk Auri yang telah bekerja di Jawa Pos sejak 1988, mengundurkan diri pada 2018. Manajemen Jawa Pos langsung menyetujui begitu saja.
“Dalam kandungan Jawa Pos, ya kami nggak bisa ngapa-ngapain, tergantung ibunya,” kata Auri sambil terkekeh, lalu menghisap sebatang rokok di tangannya.
Pada tahun yang sama dengan pengunduruan diri awak JPNN.com, konflik internal Jawa Pos antara Dahlan Iskan dan Goenawan Mohamad meruncing. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) Jawa Pos pada Juni 2018 memutuskan Dahlan mundur dari CEO Jawa Pos Holding–induk semua perusahaan Jawa Pos, digantikan Ratna Dewi atau karib disapa Cik Wenny.
Auri mengaku tahu proses peralihan tersebut. Pasca Dahlan mundur, terjadi pendaftaran ulang aset-aset Jawa Pos. PT JPNN ternyata secara akta milik Dahlan, bukan milik Jawa Pos. Maka, PT JPNN sebenarnya bukan bagian dari Jawa Pos, meski status pegawai JPNN.com di bawah Jawa Pos.
“PT JPNN yang lama masih ada. Direkturnya masih Pak Rida,” kata Auri. Rida yang dimaksudkannya adalah pendiri Riau Pos sekaligus orang kepercayaan Dahlan: Rida K. Liamsi.
Sebagai ganti PT JPNN, Jawa Pos mendirikan perusahaan baru, PT Jawapos Jaringan Media Nusantara (JJMN). Direkturnya bernama Suhendro Boroma, mantan Pemred Manado Post.
Di tengah transformasi internal Jawa Pos itulah, celah bagi JPNN.com berdiri sendiri muncul. Secara legal, domain situs ini masih atas nama Auri.
“Dalam perusahaan digital, domain kan nggak boleh ganti nama. Kebetulan JPNN.com itu didaftarkan atas nama saya, jadi melekatnya pada individu. Itu nggak pernah diurus Jawa Pos,” kata Auri, terkekeh. “Salah mereka sendiri.”
Sebagai unggah-ungguh, Auri mengaku sempat meminta izin kepada Dahlan untuk menggunakan domain JPNN.com. Ia masih menganggap Dahlan sebagai orang tua.
“Oh, saya percayakan. Silakan,” kata Auri menirukan jawaban Dahlan.
Setelah setahun proses peralihan, pada 21 Juni 2019, resmi berdiri perusahaan baru bernama PT Jaringan Pemberitaan Nusantara Negeriku, dengan akronim sama, JPNN. Lepas dari Jawa Pos dan PT JPNN milik Dahlan.
“Jadi salah menganggap saya ini proxy Pak Dahlan,” kata Auri.
“Kalau boleh dibilang mencuri, ya, saya mencuri JPNN dari Pak Dahlan.”
Aset Jawa Pos Berguguran, Jatuh ke Tangan Dahlan
Dhimam Abror Djuraid, mantan Pemred Jawa Pos, menyebut lepasnya anak perusahaan seperti JPNN.com sebagai “balkanisasi Jawa Pos.” Balkanisasi adalah istilah politik untuk menggambarkan perpecahan sebuah negara menjadi negara-negara baru, merujuk pecahnya negara di semenanjung Balkan–kawasan Yugoslavia.
Balkanisasi itu, menurut Abror, imbas mundurnya Dahlan dari Jawa Pos. Setelah itu, aset-aset Jawa Pos di daerah, khususnya media massa, tak ubahnya rampasan perang yang diperebutkan.
Selain JPNN.com, anak perusahaan yang keluar antara lain Sumatera Ekspres, yang wilayah edarnya meliputi Palembang dan sekitarnya, dan Harian Fajar di Makassar yang mendirikan Fajar Indonesia Network (FIN) di luar Jawa Pos.
Sumatera Ekspres dan Fajar adalah dua anak andalan Jawa Pos. Keduanya sukses menguasai pasar koran di wilayah masing-masing. Bahkan, mereka telah memiliki anak-anak perusahaan yang disebut juga sebagai cucu Jawa Pos.
Jaringan media di bawah Sumatera Ekspres kurang lebih dua puluh perusahaan yang tersebar di Sumatera Selatan sampai Bangka Belitung. Pimpinan Sumatera Ekspres adalah Suparno yang karib disapa Parno.
Parno ditunjuk langsung Dahlan untuk menakhodai Sumatera Ekspres setelah dianggap sukses memimpin harian Semarak di Bengkulu–kini berganti nama jadi Rakyat Bengkulu, yang juga anak Jawa Pos. Parno juga sempat dipasrahi Dahlan mengelola Radar Lampung, harian Independen di Jambi, dan Jambi Ekspres.
Kini, Sumatera Ekspres dan seluruh jaringannya berada di bawah PT Wahana Semesta Merdeka (WSM). Begitu pula Radar Lampung Group (13 media koran) dan Rakyat Bengkulu Group (14 media koran) yang dulu pernah dikelola Jawa Pos. Sampai saat ini Dahlan masih menjadi komisaris di WSM.
Sementara Harian Fajar, menjadi bagian grup Jawa Pos setelah diakuisisi pada 1985 dari pemilik lamanya, Jusuf Kalla dan Sinansar ecip. Fajar juga menjadi media lokal pertama yang diakuisisi Jawa Pos. Usai akuisisi, komposisi saham berubah menjadi 41% dimiliki Jawa Pos, 20% milik karyawan, dan 39% milik pemilik lama. Jawa Pos juga memberi modal lahan 1 hektar untuk kantor baru Harian Fajar dan mesin cetak baru untuk mendongkrak produksi koran.
Dahlan mengakuisisi Fajar lantaran berteman dengan Alwi Hamu yang juga pendiri harian ini. Menurut Alwi, Fajar menerima tawaran akuisisi karena, “haus informasi yang benar dan akurat. Itu hanya bisa diperoleh apabila mendapat akses berita ke pusat.”
Saat kami telusuri ke situs fajar.co.id, di kolom “Tentang Kami” tertulis bahwa media ini kini bernaung di bawah PT Fajar National Network. Fajar.co.id punya kantor cabang yang sama dengan Fajar Indonesia Network (FIN) yang memiliki situs fin.co.id, yakni di Graha Lembang 9, Jakarta Selatan.
Fajar.co.id dan fin.co.id pun sama-sama menuliskan nama Alwi Hamu dalam struktur redaksinya. Di fajar.co.id, Alwi tertulis sebagai Direktur Utama. Di fin.co.id, Alwi Direktur Utama sekaligus Komisaris Utama.
Joko Intarto, mantan wartawan Jawa Pos, dalam sebuah obituari untuk Suparno yang meninggal dunia pada akhir 2020, menulis bahwa Alwi juga merupakan pemilik saham PT WSM seperti halnya Dahlan Iskan.
Dahlan juga menjadi pemilik dua cucu Jawa Pos yang tergabung dalam Cenderawasih Pos (Cepos) Group: Radar Sorong dan Radar Timika. Dalam Konflik Jawa Pos Pasca Pecah Kongsi Dahlan Iskan vs Goenawan Mohamad diceritakan, awalnya Dahlan tak mau mengambil dua perusahaan itu karena tak ingin membuat keributan. Ia akhirnya bersedia setelah Zainal Muttaqin membujuknya.
Pada 27 September 2021, saya menghubungi Zainal Muttaqin, salah seorang loyalis Dahlan yang juga mantan pimpinan Kaltim Post. “Mohon maaf saya sudah lama tidak lagi di Jawa Pos,” katanya. “Saya merasa tidak patut berbicara.”
Berdasarkan dokumen undangan rapat triwulanan grup Jawa Pos, kini sisa media lokal anak perusahaan Jawa Pos tinggal tersisa:
Sementara, dari situs Jawa Pos, koran Radar yang berada di wilayah Jawa adalah sebagai berikut:
Terimbas Gaya Spasialisasi Bisnis Dahlan
Mudahnya anak perusahaan Jawa Pos lepas sepeninggal Dahlan, adalah imbas dari gayanya melakukan spasialisasi bisnis. Istilah spasialisasi adalah konsep dalam teori ekonomi politik media. Menurut Vincent Mosco, terdapat tiga tahap proses perkembangan bisnis media massa: komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi.
Komodifikasi, proses perubahan nilai guna sesuatu menjadi nilai tukar. Dalam konteks media massa, berita dikomodifikasi menjadi nilai tukar. Spasialisasi, proses transformasi jarak dan waktu untuk perluasan institusional dan penambahan nilai. Dan strukturasi, membatasi lingkup bisnis dengan regulasi dan struktur.
Langkah Dahlan Iskan membangun jejaring media massa Jawa Pos di daerah, adalah proses spasialisasi. Dengan begitu, jarak dan waktu pemasaran komoditas bisa terpangkas, dan distribusi semakin cepat. Keuntungan perusahaan pun semakin besar, dan semakin banyak anak perusahaan yang menghasilkan uang.
Dahlan melakukan spasialisasi dengan bekerja sama dengan media-media massa lokal yang hampir mati. Dahlan menyuntikkan modal kepada mereka sehingga Jawa Pos masuk menjadi salah satu pemilik. Seperti yang terjadi pada harian Fajar.
Contoh lain, Riau Pos yang kini dipimpin Ahmad Dardiri. Pada 1989, Dahlan datang ke Pekanbaru, Riau, untuk meninjau kemungkinan berinvestasi media di sana. Mata Dahlan tertuju pada Riau Pos, koran mingguan yang dikelola Yayasan Riau Makmur milik Pemprov Riau.
Dahlan datang menawarkan modal mesin cetak, menjadikan Riau Pos satu-satunya media di Provinsi Riau yang punya mesin cetak sendiri dan bisa terbit setiap hari. Riau Pos pertama kali terbit sebagai koran harian pada 17 Januari 1991, persis ketika perang Teluk meletus, dan kemudian punya pabrik percetakan bernama Riau Graindo.
Komposisi pemegang saham Riau Pos adalah gabungan dari pemilik lokal dan Jawa Pos. Persis yang terjadi pada harian Fajar.
Detail kepemilikan Riau Pos, seperti dikatakan Direktur Riau Pos Ahmad Dardiri, Jawa Pos 55%, PT Gading Cempaka Utama (transformasi Yayasan Riau Makmur sebagai pemilik lokal) 25%, Eric Samola (kini dipegang Dorothea Samola) 6%, dan PT Riau Multikarya (perusahaan bentukan hasil saham karyawan) 14%.
Model kepemilikan saham anak-anak perusahaan Jawa Pos, kata Dardiri, selalu serupa. Bahkan sampai ke cucu perusahaan Jawa Pos pun begitu. Selalu ada pemegang saham lokal. Tak seperti Kompas dan Tribun yang kepemilikan sahamnya terpusat.
Akibatnya, Jawa Pos hanya memiliki keputusan kuat secara bisnis di media yang sahamnya mayoritas mereka miliki. Itu pula alasan Jawa Pos tak bisa menolak ketika Fajar membuat Fajar Indonesia Network yang sebetulnya menyaingi induknya dari dalam.
Selain itu, gaya spasialisasi bisnis Dahlan juga mengandalkan jaringan perkoncoan. Terlihat dari proses akuisisi yang selalu melibatkan konco Dahlan. Mereka kemudian memimpin perusahaan yang baru diakusisi: Rida di Riau Pos, Zainal di Kaltim Post, Alwi di Fajar, dan Suparno di Sumatera Ekspres.
Jaringan perkoncoan itu pula yang kerap kali mengaburkan status kepemilikan Jawa Pos atas media-media tersebut. Sumatera Ekspres misalnya, ternyata tak punya hubungan kepemilikan saham dengan Jawa Pos. Masuknya mereka ke grup Jawa Pos hanya karena kedekatan Dahlan dengan Suparno dan PT WSM–pemilik saham resmi Sumatera Ekspres.
Mantan Pemred Jawa Pos, Arif Afandi menilai, Dahlan melakukan itu karena tidak semua rencana pengembangan bisnis mendapat persetujuan pemegang saham Jawa Pos yang berimbas pada minimnya sokongan modal. Dahlan memiliki visi lokalitas media yang besar: mengembangkan media-media massa lokal sebagai sumber informasi bagi masyarakat setempat. Sehingga asupan informasi tak terbatas pada media-media massa di Jawa, dan lebih khusus lagi Jakarta, yang membuat pemberitaan menjadi Jawasentris dan Jakartasentris.
Visi itu pula, kata Arif, yang membuat Jawa Pos bersikap politik mendukung Otonomi Daerah setelah Orde Baru tumbang. Jawa Pos jugalah yang membidani lahirnya Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) pada 2001. Arif salah satu pendiri ATVLI.
“Secara bisnis pun logis. Kami tidak ingin Indonesia hanya diurus Jakarta,” katanya.
Dahlan memilih mengembangkan sendiri bisnis Jawa Pos dengan menggandeng para pemilik media massa lokal. Lalu Dahlan meletakkan konco-konconya di pucuk pimpinan media-media massa lokal tersebut, agar lebih mudah menyamakan visi.
“Pak Dahlan itu kan strateginya menciptakan bintang-bintang.”
Cara Dahlan bisa dipandang sebagai kekuatan sekaligus kecerobohan. Sebagai kekuatan, menurut Arif, karena terbukti mampu membuat Jawa Pos berkembang pesat. Sebagai kecerobohan, karena di fase strukturasi, mendata aset-aset Jawa Pos dengan banyaknya pemilik saham daerah menjadi sangat rumit. Ditambah lagi, bisnis Jawa Pos bukan lagi sekadar koran, tapi lini bisnis lain seperti percetakan, pabrik kertas, penerbit buku, sampai pabrik listrik.
“Karena tidak ditata dari awal,” kata Arif.
Ketika Dahlan tak lagi memimpin, jaringan Jawa Pos lepas satu per satu, khususnya perusahaan yang secara kepemilikan bukan atas nama Jawa Pos.
“Bintang-bintang di daerah itu rata-rata pengikut setia Pak Dahlan Iskan, karena merasa dibesarkan. Ketika Pak Dahlan lepas dari situ, mereka ikut mrotoli.”