Berebut Kuasa di Jawa Pos
“Kesan saya ini digambarkan sebagai konflik yang seru.”
Kalimat tersebut disampaikan Goenawan Mohamad (GM), melalui pesan WhatsApp kepada saya, 6 Januari 2022 lalu, menanggapi ihwal hengkangnya Dahlan Iskan dari jabatan chairman Jawa Pos Holding (JPH) pada 2018.
GM mengakhiri kalimat tersebut dengan emoticon tertawa. Seolah mengisyaratkan tidak terjadi konflik besar antara dirinya dengan Dahlan. Seolah hengkangnya Dahlan dari Jawa Pos adalah hal biasa terjadi dalam transformasi perusahaan.
GM dan Dahlan memegang saham Jawa Pos. Jumlah saham keduanya sama-sama minoritas dibandingkan PT Grafiti Press yang mencapai 49,04 persen. Namun, keduanya adalah tokoh di balik koran tersebut dan pengaruh mereka cukup besar kepada para pemegang saham lain maupun direksi dan pegawai.
Pengaruh dan ketokohan GM lantaran kiprahnya sebagai jurnalis cum sastrawan dan pendiri Tempo. Mantan Pemred Jawa Pos, Arif Afandi adalah salah satu yang mengakui ketokohan GM. Ia menganggap GM sebagai guru jurnalistik yang ia banggakan.
Sementara, pengaruh dan ketokohan Dahlan terbangun dari kiprahnya mengelola dan membesarkan Jawa Pos. Arif menyebut Dahlan sebagai otak utama Jawa Pos bisa menjadi salah satu media terbesar di Indonesia. Dahlan, baginya, adalah orang yang meletakkan dasar jurnalistik dan bisnis Jawa Pos.
Sebagai dua matahari di Jawa Pos, seperti penuturan Arief, keduanya sebetulnya berhubungan baik. Hubungan itu mulai terjalin di bawah naungan Majalah Tempo. GM pernah menjadi Pemred Tempo, Dahlan pernah menjadi Kepala Biro Tempo Surabaya.
Hubungan baik keduanya, setidaknya dalam bentuk pujian kinerja, tercermin dari pernyataan GM terkait Dahlan dalam penggalan obituari untuk wartawan Yusril Djalinus. GM menulis, sebagai wartawan Dahlan memiliki ethos pantang menyerah menembus sumber yang berkembang dalam dirinya ketika meliput terbakarnya kapal Tampomas pada awal 1981.
“Dahlan ikut naik ke kapal penolong dan selama tiga hari disana tanpa memicingkan mata. Baru empat hari kemudian, ia tidur, setelah menulis sebuah reportase yang jadi salah satu puncak prestasi jurnalisme Tempo,” tulis GM.
Prestasi meliput terbakarnya kapal Tampomas yang menewaskan ratusan orang tersebut pula, pada akhirnya membuat GM tanpa protes menyetujui usulan Direktur PT Grafiti Press Eric Samola menunjuk Dahlan sebagai nakhoda Jawa Pos, usai membelinya dari keluarga The Chung Sen pada 1982. Alih-alih mengirim orang Tempo dari Jakarta untuk mengurus koran tersebut.
Dahlan, kata Arif, juga menganggap GM sebagai “suhu jurnalistik”. Dahlan sangat menghormati GM. Arif mengatakan, “kalau dulu anak buahnya merasani Pak GM, dia (Dahlan) langsung menegur.” Merasani adalah bahasa Jawa Timur untuk menyebut seseorang yang membicarakan keburukan orang lain di belakang.
“Aku itu…kemudian antara Pak Dahlan dan Mas Goen bentrok itu sedih sekali,” kata Arif yang juga pernah menjadi Wakil Wali Kota Surabaya ini, saat kami bertemu di Plaza Senayan, Jakarta, 8 Oktober 2021 lalu.
Persaingan Putra Mahkota
Kepemimpinan di perusahaan media massa tak bisa diwariskan, tapi harus diraih dengan membangun reputasi. Tak bisa diperlakukan sebagai perusahaan keluarga seperti perusahaan panci. Adalah pendapat Dhimam Abror Djuraid, mantan Pemred Jawa Pos, saat saya menelponnya pada 20 September 2021 lalu.
Abror menyebut konflik antara GM dan Dahlan berawal dari suksesi putra mahkota di antara mereka. GM ingin memasukkan anaknya, Hidayat Jati, pada jajaran pemimpin Jawa Pos.
Hal itu menyusul Dahlan yang telah lebih dulu melibatkan anaknya, Azrul Ananda ke dalam pengelolaan Jawa Pos. Bahkan, Puncaknya, Dahlan mengangkat Azrul sebagai Direktur Utama PT Jawa Pos Koran pada 2011.
Pendapat serupa datang dari Arif Afandi. Ia menilai upaya Dahlan mengangkat Azrul, membuat para pemegang saham lain dan direksi Jawa Pos khawatir. Apalagi Azrul tak bisa mengikuti gaya Dahlan yang “kencang, dia lari cepat, tapi masih bisa mengakomodasi kepentingan kelompok pemegang saham lainnya.
“Mungkin karena ini generasi baru. Dia (Azrul) gak punya ikatan sejarah sama sekali dengan yang lalu-lalu. Sehingga menimbulkan kekhawatiran dari kelompok lain, atau pemegang saham lainnya, wah ini nanti saya ilang ni,” kata Arif.
GM menyodorkan nama Jati dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), pada akhir Juni 2017, di Graha Pena Jakarta. Melalui wakilnya, Yohannes Henky Wijaya yang juga mewakili Grafiti Press dalam pertemuan itu, GM mengusulkan agar Jati menjadi direksi Jawa Pos.
Usulan tersebut mendapat penolakan dari Tirza Samola yang mewakili keluarga Eric Samola dan Dahlan. Hal ini sebagaimana ditulis Bahari dalam bukunya Konflik Jawa Pos: Pasca Pecah Kongsi Dahlan Iskan vs Goenawan Mohamad, terbit pada akhir 2021 lalu. Bahari adalah mantan wartawan Jawa Pos. Terkait buku ini, Abror menyatakan kepada saya “akurasinya baik dan sumbernya kredibel.”
Tirza dalam momen itu mengusulkan agar Jati magang dulu di anak perusahaan Jawa Pos. Usulan ini ternyata membuat tensi rapat meninggi. Yohannes meresponnya dengan mengancam voting di antara pemegang saham.
Langkah Yohannes tersebut membuat kubu Dahlan terpojok. Secara komposisi kepemilikan saham, Dahlan hanya memegang 10,20 persen dan keluarga Eric Samola 8,9 persen. Sementara, Grafiti pemegang mayoritas. Ditambah kepemilikan GM yang sebesar 7,2 persen, tak akan tertandingi meskipun para pemegang saham lain mendukung Dahlan.
Voting pada akhirnya tak pernah terjadi. Jati masuk ke jajaran direksi Jawa Pos sejak saat itu dan berkantor di Graha Pena setelahnya.
Azrul Mundur
Keputusan mengejutkan datang dari Azrul dalam RUPS-LB pada 14 November 2017, di Surabaya. Ia memutuskan mengundurkan diri sebagai Dirut Jawa Pos Koran. Para pemegang saham pun menyetujui keputusan tersebut.
Kabar keputusan Azrul itu cepat menyebar. Warta Ekonomi, dengan mengutip sumber tanpa nama, sehari setelahnya memberitakannya. Namun, Azrul resmi melepas jabatannya dalam RUPS-LB pada 24 November 2017, di Surabaya.
Harjoko Trisnadi, salah satu pendiri Grafiti pemegang saham Jawa Pos, menyebut Azrul mundur sebagai respons masuknya Jari ke direksi Jawa Pos. Menurutnya, Azrul tak menolak secara terbuka masuknya Jati ke direksi Jawa Pos karena itu sudah keputusan bersama pemegang saham.
“Waktu itu Azrul anaknya Pak Dahlan kurang bisa sinergi (dengan Jati),” kata Harjoko yang kini berusia 91 tahun berusaha mengingat, saat kami berbincang lewat telepon WhatsApp pada 11 Januari 2022 lalu.
Lebih lanjut, kata Harjoko, GM pun sempat berkirim surat kepada Dahlan terkait masuknya Jati ke direksi Jawa Pos. Kurang lebih isinya GM mengklarifikasi tak tahu menahu ihwal masuknya Jati sebagai direksi, mengingat ia tak hadir dalam rapat tersebut. GM pun sempat menawarkan skema agar Jati berkantor di Graha Pena Jakarta, bukan Surabaya.
Namun, menurut Harjoko, sebelum skema tersebut terlaksana Azrul keburu mundur. “Saya sendiri cukup sayang karena Azrul bagus ya, pikiran-pikirannya inovatif,” kata Harjoko.
Lima hari sebelum saya menghubungi Harjoko, GM membantah alasan Azrul mundur sebagai imbas pertarungan putra mahkota. “Dalam tradisi JP—sebagai tradisi Tempo—tak ada ‘putra mahkota’,”kata GM kepada saya melalui pesan WhatsApp. Namun, ia tak menjelaskan alasan Azrul mundur saat itu.
Dalam buku yang ditulis Bahari, Konflik Jawa Pos: Pasca Pecah Kongsi Dahlan Iskan vs Goenawan Mohamad, Azrul bahkan mundur tanpa pamitan kepada pegawai Jawa Pos. Hal ini lantaran Azrul tak lagi menginjakkan kaki di Graha Pena Surabaya usai Jati masuk ke jajaran direksi.
Jati saat saya hubungi melalui pesan WhatsApp pada 9 September 2021 lalu, enggan berkomentar terkait transformasi di tubuh bisnis Jawa Pos ini. “Kita belum bisa berikan statement atau cerita apa-apa, Mas, ke konsumsi publik pada saat ini. Maaf ya,” katanya.
Anak Polah, Bapa Kepradah
“Menurut saya, ini anak polah bapa kepradah (anak berulah, bapak kena getahnya). Ketika dia (Azrul) mundur, ini kan gak ada orang sama sekali di dalam Jawa Pos. Azrul itu jeleknya kalau sudah gak suka, mutung,” kata seorang sumber yang tak mau disebutkan namanya kepada saya.
Dahlan memang praktis tak punya lagi mata dan telinga di internal Jawa Pos usai kemunduran Azrul. Hal ini bikin semangat Dahlan untuk mempertahankan kedudukannya di Jawa Pos sempat goyah.
Dahlan sempat berniat menjual sahamnya, sebagaimana diamini oleh Dhimam Abror, Arif Afandi, Dirut JPNN Auri Jaya, Dirut Riau Pos Ahmad Dardiri, dan Harjoko Trisnadi dalam sejumlah wawancara kepada saya.
Saham tersebut ditawarkan kepada Ciputra dan Dato Sri Tahir, Bos Mayapada Group. Informasi ini termuat dalam buku yang ditulis Bahari. Namun, penawaran pada keduanya urung terlaksana dan memunculkan dugaan pemegang saham lain sengaja menghalangi Dahlan menjual sahamnya.
Terkait ini, Harjoko membantahnya. Menurutnya, tidak ada seorangpun pemegang saham yang menghalangi Dahlan menjual saham. Sebaliknya, penawaran saham sesuai peraturan perseroan mengharuskan perusahaan menawarkan terlebih dulu ke sesama pemegang saham. Ciputra tak mau membeli saham lantaran masih ingin Dahlan ada di dalam Jawa Pos.
Abror mengungkap hal serupa dengan Harjoko. Namun, ia punya pendapat lain ihwal urungnya Dahlan menjual saham ke Ciputra. Katanya, “karena hubungan yang memburuk itu akan menjadi kendala kalau dijual ke sesama pemegang saham.”
Ihwal urungnya Dato Sri Tahir membeli saham Dahlan, Bahari dalam bukunya menyebut penyebabnya adalah Ratna Dewi yang juga pemegang saham Jawa Pos, membisiki Tahir bahwa saham Dahlan bermasalah.
Ratna Dewi adalah mantan anak buah The Chung Sen, pemilik awal Jawa Pos sebelum dibeli Eric Samola. Saat peralihan kepemilikan terjadi, The Chung Sen menitipkan Ratna kepada Dahlan sebagai pengelola baru. Dahlan menerima amanah itu dan menjadikan Ratna sebagai salah seorang kepercayaannya.
Menurut Abror, Dahlan bahkan sampai mempercayakan Ratna memegang rekening employee stock ownership plan (ESOP) atau saham karyawan Jawa Pos. Belakangan, pada Februari 2022 lalu, Abror dan eks karyawan Jawa Pos yang tergabung dalam COWAS-JP menggugat Dahlan atas penyelewengan ESOP. Abror Cs menyebut saham karyawan sebesar 20% tersebut telah dibagi-bagikan oleh Dahlan dengan pemegang saham lain.
“Dulu dia (Ratna) jadi kolektor. Orang keuangan. Dulu waktu awal-awal Jawa Pos itu pesuruh lah. Bagian pembukuan tapi kemudian menjadi kepercayaannya Pak Dahlan, sampai menjadi direktur keuangan,” kata Abror.
Langkah Ratna membisiki Tahir, menurut Abror, menunjukkannya telah berubah posisi mendukung GM Cs dalam pertarungan kuasa di Jawa Pos. “Lalu dia menjadi brutus menggulingkan Pak Dahlan. Kalau perkiraan saya sih dia ketakutan akan digusur oleh Azrul,” kata Abror.
Seorang sumber senior Jawa Pos yang tak mau disebutkan namanya, bercerita kepada saya bahwa Dahlan pernah keceplosan ngomong kepadanya terkait tindakan Ratna. Dahlan, kepada senior tersebut, berkata bahwa Ratna menyodorkan berkas keuangan perusahaan yang isinya menyudutkan posisi Dahlan.
Bahari dalam bukunya menyebut, berkas keuangan tersebut adalah terkait dugaan penyelewengan dana perusahaan oleh Dahlan untuk membeli Persebaya, membuat brand Deteksi Basketball League (DBL), dan pembangunan PLTU Tenggarong. Angkanya totalnya hampir Rp 1 Triliun.
Leak Kustiya, Dirut Jawa Pos Koran saat ini menggantikan Azrul, sebagaimana ditulis Bahari dan keterangan Abror, adalah orang yang kemudian menagih uang tersebut kepada Dahlan. Padahal, kata Abror, Leak sebelumnya juga orang kepercayaan Dahlan. Dari seorang desainer grafis, Dahlan mengangkat karier Leak hingga jadi Pemred.
Laporan keuangan Ratna yang mengarah pada penyelewengan juga membuka ruang pemegang saham lain mendesak Dahlan mundur dari posisi Chairman Jawa Pos Holding dalam RUPS-LB pada Juni 2018. Jabatan Dahlan itu nanti diisi Ratna.
Imbas lain, menurut Abror, perusahaan membagikan dividen Dahlan karena menganggapnya masih berhutang. Sebuah hal yang menurut Abror sebetulnya tak tepat. Mengingat dividen adalah hak pemegang saham, sementara utang adalah urusan lain.
Harjoko pun membenarkan perusahaan tak membayar dividen Dahlan. “Ada persoalan keuangan di JP, jadi dividennya ditahan. Tapi itu saya kurang tahu persis (persoalan keuangannya). Dividennya disimpan,” kata Harjoko.
Memperjelas Motif
Rentetan kejadian persaingan antara Dahlan dan GM, menurut Dhimam Abror, memperjelas sebuah motif: perebutan kuasa penuh atas Jawa Pos
Jawa Pos, kata Abror, selama lebih kurang tiga dekade telah mampu menjadi lumbung penghasilan bagi para pemegang sahamnya, termasuk Dahlan dan GM, lewat dividen. Abror memperkirakan, dividen yang diterima per tahunnya oleh para pemegang saham mencapai milyaran rupiah.
“Tahun-tahun itu saya masih tahu lah. Pak Dahlan itu pegang 16 persen saham gitu sih, aku ngeliat angkanya di atas 10 miliar dividennya. Hitungan omset segitu,” kata Abror yang telah pensiun dari Jawa Pos pada 2007.
Jawa Pos memang media massa besar dengan jaringan anak perusahaan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pada 2012, mengutip data dalam Media and Concentration in Indonesia, Jawa Pos membawahi 141 media surat kabar, 12 televisi, 1 radio, 2 majalah, 11 tabloid, 1 media online, dan versi lain dalam bentuk digital.
Dengan jaringan spasialisasi bisnis seluas itu, merujuk data Nielsen, omzet iklan Jawa Pos mencapai Rp 201 miliar pada 2007. Lalu, meningkat lagi menjadi Rp 287 miliar pada 2008, dan berturut-turut selama dua tahun setelahnya menjadi Rp 338 miliar dan Rp 460 miliar.
Abror menyebut dengan omzet yang tinggi, Jawa Pos bahkan bisa menampung karyawan Tempo saat majalah ini dibredel rezim Soeharto. Ia pun memberi istilah untuk masa-masa tersebut sebagai, “kebo nyusu gudel” yang berarti kerbau minum susu dari tubuh anaknya.
Jawa Pos dan Tempo memang memiliki pertalian bisnis. PT Grafiti Press yang memegang saham utama di Jawa Pos, adalah penerbit dan pengendali Tempo. Pembelian Jawa Pos pada 1982 oleh Eric Samola, pun pada mulanya bermaksud sebagai pengembangan bisnis Tempo.
Pemegang saham Jawa Pos lain pun sebagian besar orang Tempo. Selain GM, ada Harjoko Trisnadi, Fikri Jufri, dan Lukman Setiawan. Sehingga, bisa dikatakan Jawa Pos adalah anak tak langsung Tempo.
Abror yang kini menjadi ketua perkumpulan para alumni wartawan Jawa Pos bernama Konco Lawas Jawa Pos (COWAS-JP), juga mengistilahkan Dahlan sebagai angsa bertelur emas. Hal ini lantaran kerja-kerja Dahlan lah yang mampu mengubah Jawa Pos dari koran hampir mati menjadi raksasa bisnis media massa, dan membagi dividen miliaran rupiah pada para pemegang sahamnya.
“Karena dividennya GM Cs itu dari Jawa Pos. Bahkan tidak dari Tempo setelah Tempo terbit lagi. Jadi orang-orang itu dihidupi Jawa Pos. Jadi, kenapa gak kita ambil sendiri saja daripada sama Dahlan diwariskan ke anaknya,” kata Abror menjelaskan.
Upaya Menyambung Tali GM-Dahlan
Arif Afandi mengerutkan dahi. Mukanya berubah sayu. Dengan suara lirih, ia berkata, “saya tidak mengira bahwa akhir Pak Dahlan dan keluarga itu setragis ini.” Ia menilai Jawa Pos bisa menjadi goliath media dengan aset mencapai triliunan dan pengaruh sosial politik besar, adalah buah tangan Dahlan dan keluarga.
Namun, bagi Arif, akhir kisah yang tragis tersebut masih bisa berubah. Caranya, adalah dengan menyambung kembali tali hubungan antara GM dan Dahlan. Alasannya, lantaran keduanya sebetulnya masih memiliki ikatan batin untuk membesarkan Jawa Pos. Bukan di tangan Ciputra atau orang lain.
“Makanya saya terpikir bagaimana cara menyambungkan keduanya ini,” kata Arif.
Keinginan serupa pun muncul dari Harjoko Trisnadi. Ia merasa sebagai pemegang saham paling senior di antara Dahlan dan GM, perlu untuk menyambungkan lagi tali perkawanan keduanya. Ia pun meminta Dahlan memperbaiki komunikasi komunikasi dengan GM.
“Saya ini kan paling tua. Usia saya sudah 91 tahun. Semuanya itu junior saya, makanya saya ucapkan itu ke Dahlan,” kata Harjoko.
Harapan Arif dan Harjoko tampaknya mungkin terwujud. GM kepada saya mengatakan, “saya masih butuh Dahlan. Bagaimana posisinya, bisa dan harus dirembug bersama pimpinan yang lain.”
GM pun merasa aneh dikesankan berkonflik seru dengan Dahlan, seperti halnya kutipan pernyataannya di awal tulisan ini.
Bagaimana dengan Dahlan? Ia cenderung diam terkait soal ini.
“Rasanya tidak (bersedia wawancara ihwal RUPS-LB dan kemunduran dari Jawa Pos). Itu menyangkut guru-guru saya….maafkan,” kata Dahlan melalui pesan WhatsApp, pada 6 Januari 2022 lalu.