Bertanya Pada Dokter: Apakah LGBTQ+ Menular?

Bertanya Pada Dokter: Apakah LGBTQ+ Menular?

 

TL;DR

  1. Orientasi seksual tidak bisa ditularkan melalui pergaulan atau lingkungan sosial. Penelitian dan ahli menyatakan bahwa homoseksualitas, seperti heteroseksualitas, terbentuk sejak dalam kandungan dan memiliki faktor biologis serta genetik.
  2. Pemberitaan media di Indonesia sering menggiring opini negatif tentang LGBTQ+, sementara pemerintah dan institusi akademik kerap mengeluarkan wacana serta kebijakan yang menolak keberadaan kelompok minoritas gender ini.
  3. Sejak era 1960-an, komunitas LGBTQ+ di Indonesia telah berupaya memperjuangkan hak-hak mereka melalui organisasi seperti HIWAD, Lambda Indonesia, dan GAYa Nusantara, meskipun mendapat tantangan besar dari stigma sosial dan kebijakan diskriminatif.


 

Lesbian, gay, biseksual, trans, dan queer+ (LGBTQ+), identitas gender yang masih mendapat sentimen dan diskriminasi di Indonesia. Keberadaannya sering dianggap ancaman, bahkan sebagian orang menganggap orientasi seksual mereka itu menular, benarkah?

 

Ahli bedah saraf dari Rumah Sakit RS Mayapada, Dokter Roslan Yusni Hasan menegaskan LGBTQ+ tidak tertular atau menularkan ke orang lain. Meskipun seseorang memiliki teman dekat atau anggota keluarga dengan orientasi LGBTQ+, lanjut Roslan, mereka tidak akan ikut menjadi LGBTQ+  jika secara biologis memang tidak memiliki potensi homoseksual.

 

“Orientasi seksual tidak bisa ditularkan. Masyarakat mengira bahwa bergaul dengan orang gay akan membuatnya jadi gay juga,” kata Rosan dikutip dari laman hellosehat.com Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

 

Berdasarkan sebuah penelitian yang berlangsung dari tahun 1994 hingga 2002, melaporkan bahwa homoseksualitas tidak menyebar dalam pergaulan remaja di Amerika Serikat dan Inggris. Penelitian yang dimuat dalam jurnal Archives of Sexual Behavior ini pun berhasil mematahkan mitos kalau berteman dengan orang gay atau lesbian akan membuat seseorang jadi memiliki orientasi seksual yang sama.

 

Pada dasarnya, lanjut Roslan, homoseksualitas sama seperti heteroseksualitas (menyukai lawan jenis) adalah orientasi seksual. Dari berbagai penelitian di seluruh dunia, diketahui bahwa orientasi seksual sudah bisa terbentuk sejak kandungan, yaitu ketika seseorang masih jadi janin.

 

Baca juga: https://deduktif.id/cekfakta/apakah-homoseksual-bisa-menular-cek-fakta-prebunking

 

Ada kode genetik khusus yang membedakan homoseksual dengan heteroseksual, yaitu Xq28. Meskipun belum dapat dipastikan bahwa gen inilah yang menentukan orientasi seksual seseorang, peneliti menyimpulkan bahwa kode genetik ini tetap memiliki peran penting dalam pembentukan identitas seksual manusia.

 

Gary Wenk, Profesor Psikologi dan Ahli Saraf dari Ohio State University and Medical Center menyebut struktur otak homoseksual cenderung berbeda dengan heteroseksual. Bagian depan hipotalamus seorang heteroseksual hampir dua kali lipat lebih besar dari homoseksual. Ini karena saraf-saraf otak di dalam hipotalamus seorang homoseksual lebih padat sedangkan saraf-saraf otak heteroseksual cenderung renggang.

 

Perbedaan kadar hormon bisa membuat seseorang cenderung menyukai lawan jenis, sesama jenis, atau keduanya. Akan tetapi, terapi hormon tidak bisa mengubah heteroseksual jadi “homoseksual” kembali. 

 

“Pasalnya, perbedaan reaksi hormon ini terjadinya di otak. Jadi suntik hormon saja tidak akan pernah bisa mengubah orientasi seksual manusia,” tutur Roslan.

 

Roslan menjelaskan, seseorang menjadi gay pada dasarnya sudah memiliki bakat gay secara biologis. Kemudian seseorang tersebut akan bersosialisasi dengan orang yang memiliki nasib atau pemikiran yang sama dengan dirinya.

 

Pada orang yang sudah punya bakat homoseksual sejak lahir, orang tersebut menemukan kesamaan dengan orang homoseksual lain. Hal ini membuatnya jadi lebih percaya diri dan nyaman dengan identitas dan lingkungan sesama homoseksual. Lama-lama ia pun bisa menerima dan mengakui orientasi seksualnya. 

 

“Inilah mengapa banyak orang salah sangka bahwa gay itu menular,” tuturnya.

 

Roslan melanjutkan, bila seseorang tidak memiliki bakat gen homoseksual, tak perlu khawatir. Orientasi seksual tak akan berganti hanya karena seseorang bergaul dengan seorang homoseksual. Sama halnya ketika seseorang yang heteroseksual tidak bisa menularkan orientasi anda pada orang homoseksual. Orientasi seksual tidak bisa diubah karena memang tak perlu.

 

“Menjadi seorang homoseksual bukan kesalahan, melainkan keberagaman,” pungkas Roslan.

 

Sentimen Media dan Pejabat Terhadap LGBTQ+

 

Pada 1 Februari 2025, Polda Metro Jaya menangkap 56 laki-laki di sebuah hotel di Kuningan, Jakarta Selatan. Narasi yang beredar menyebut, mereka tengah melakukan pesta seks. Kasus ini menjadi contoh dari sekian banyak penggiringan negatif media tentang LGBTQ+. 

 

Lainnya, misal, Media Indonesia yang menyensor konten dan mengamplifikasi suara anti LGBT. Sentimen yang sama juga dikeluarkan oleh pemerintah daerah lewat wacana perundang-undangan yang menolak LGBTQ+, dan universitas lewat seminar soal bahaya LGBTQ+.

 

Dari pemberitaan-pemberitaan ini, media membuat kesan seolah LGBTQ+ di Indonesia adalah bahaya baru. Padahal Indonesia pernah punya organisasi yang terbuka dengan identitas LGBTQ+, dimulai dari organisasi transpuan Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) pada tahun1969 yang difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya, Ali Sadikin. 

 

Sayang, pemerintah bukan mendukung karena mereka menganggap kelompok transpuan sebagai manusia utuh, melainkan sebagai upaya merehabilitasi mereka agar sembuh dari “kecacatannya”.

 

Hampir dua dekade berikutnya1 Maret 1982 di Solo, lahir organisasi LGBTQ+ yang lebih progresif, Lambda Indonesia (LI). Kerja utama mereka adalah menerbitkan dan mengirimkan buletin via pos, baik untuk pembaca dalam dan luar negeri. Pendirinya adalah Channy, dibantu oleh Dede Oetomo, dan dua orang lain sebagai penata artistik. Nama ‘Lambda’ (λ) dipilih karena terinspirasi oleh Lambda Legal, organisasi pertama yang memperjuangkan hak-hak lesbian dan gay di Amerika Serikat.

 

Setelah Solo cabang-cabang baru Lamda Indonesia (LI) terus muncul di kota-kota lain. LI dianggap sebagai pionir, sehingga tanggal kelahirannya dijadikan sebagai peringatan Hari Solidaritas LGBTQ+ Nasional. Sayang, organisasi ini tutup di tahun 1986. Sebagai penggantinya, Dede mendirikan GAYa Nusantara pada 1 Agustus 1987. Misinya masih sama: memperjuangkan kepedulian akan hak-hak LGBTQ+.

 

LI lahir di masa yang genting. Karena setahun kemudian Tempo mengumumkan HIV/AIDS resmi masuk ke Indonesia. Dalam klipingan koran itu, Dokter Zubairi Djoerban “merayu” 30 transpuan penghuni Taman Lawang untuk dites HIV/AIDS. Transpuan dipilih karena mereka “melakukan homoseksual”—istilah redaktur untuk mereka yang terlibat dalam hubungan sesama jenis. Hasil penelitiannya menunjukkan dua diantaranya positif HIV/AIDS.

 

Namun yang lebih penting adalah betapa tendensiusnya pemberitaan Tempo kala itu. Koran ini menuliskan cairan vagina akan menetralisir sifat air mani yang melemahkan imun, mengimplikasikan bahwa mayoritas HIV/AIDS hanya akan menjangkiti gay dan transpuan yang berhubungan seks lewat mulut dan anus. 

 

Paranoia wabah HIV/AIDS semakin mencekam, terekam dalam pemberitaan Tempo 12 April 1985. Myrna, ketua Persatuan Waria DKI, memprotes keputusan Ketua Divisi IV Usaha Transfusi Darah PMI, Dokter Masri Rustam karena melarang kelompok transpuan dan gay untuk mendonorkan darah. Larangan ini menyudutkan transpuan dan gay yang dianggap sebagai penyebar penyakit.

 

Di tahun 1993, Kementerian Kesehatan mengeluarkan homoseksual dari daftar gangguan kejiwaan dari Pedoman dan Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, tepatnya halaman 288 bagian F66. Di tahun yang sama, sekelompok organisasi dan aktivis menyelenggarakan Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) di Kaliurang, Yogyakarta. GAYa Nusantara mendapatkan mandat untuk mengkoordinir jaringan gay dan lesbian di seluruh Indonesia. Kongres kedua dan ketiga diadakan di Lembang, Jawa Barat di Desember 1995 dan Denpasar, Bali di tahun 1997. 

 

Sayangnya, infeksi HIV/AIDS yang terus terdeteksi dan media yang menggambarkan LGBTQ+ sebagai kelompok hedonis benar-benar mengubah pandangan orang-orang akan LGBTQ+. Sentimen ini terus membesar dan menjadi justifikasi untuk mempersekusi mereka. Di tahun 2016, mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghimbau kepolisian untuk melindungi LGBTQ+ dan kelompok minoritas lainnya. 

 

Namun pandangan pemerintah soal LGBTQ+ semakin merosot di tahun 2021 karena adanya wacana kriminalisasi LGBTQ+ di RKUHP. Ada kemungkinan persekusi semakin memanas dengan kepemimpinan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang berencana mencabut hak-hak LGBTQ+.  

 

Penulis: Riyan Setiawan dan Ann Putri

Editor: Aditya Widya Putri