Bisnis ilegal TNI dan bisnis ilegal Polri semakin menjadi perhatian publik. Meski dilarang, keterlibatan aparat dalam bisnis gelap aparat terus terungkap, mulai dari jasa pengamanan, perjudian, eksploitasi sumber daya alam, hingga perdagangan satwa liar.
Kasus korupsi aparat dan kekerasan aparat dalam bisnis ilegal ini bukan hanya merugikan negara tetapi juga memperkuat stigma negatif terhadap institusi yang seharusnya menjadi penjaga keamanan. Rentetan skandal ini pun menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap TNI dan Polri.
Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai laporan menunjukkan bahwa bisnis ilegal Polri dan bisnis ilegal TNI telah berkembang menjadi jaringan yang menggurita. Sebagai contoh, pada tahun 2023, sebanyak 11 penduduk Arun, Aceh Utara, memenangkan gugatan terhadap ExxonMobil setelah melaporkan kekerasan aparat, termasuk pemukulan, siksaan, dan kekerasan seksual oleh oknum TNI yang dikontrak perusahaan tersebut untuk pengamanan tambang gas mereka.
Menurut International Center for Transitional Justice Program (ICTPJ), biaya pengamanan ini mencapai USD 500.000 per bulan dengan lebih dari 1.000 personel TNI serta 17 pos militer dan polisi yang disebar di sekitar lokasi tambang. Investigasi lebih lanjut mengungkap bahwa 80% bisnis aparat merupakan bisnis ilegal yang melibatkan koperasi dan yayasan tanpa transparansi.
Tak hanya pengamanan tambang, bisnis ilegal TNI dan Polri juga merambah sektor perjudian di DKI Jakarta. Perwira tinggi TNI dan Polri disebut-sebut mengantongi hingga Rp15 miliar dari bisnis ini, sementara perwira di tingkat bawah mendapat bagian sekitar Rp5-10 miliar.
Praktik bisnis gelap aparat bukanlah hal baru. Sejak masa kemerdekaan, TNI telah mengelola berbagai bisnis untuk mendanai operasional mereka. Hal ini berujung pada korupsi aparat yang melibatkan berbagai petinggi, termasuk Kolonel Ibnu Sutowo dan Kolonel Soeharto yang dikenal karena praktik korupsi di sektor migas.
Upaya reformasi di tubuh TNI dan Polri telah dilakukan, termasuk dalam UU No. 34 Tahun 2004 yang melarang TNI berbisnis, serta PP No. 2 Tahun 2003 yang mengatur disiplin Polri. Namun, pelanggaran terus terjadi, bahkan dalam skala besar.
Salah satu contoh kasus yang paling mencolok adalah gaya hidup mewah polisi, seperti Jenderal Moeldoko yang diberitakan memiliki jam tangan mewah Rp1,1 miliar, serta Ferdy Sambo yang memiliki aset mewah senilai Rp11,15 miliar tanpa pencatatan di LHKPN. Kasus lainnya termasuk mantan Kakorlantas Polri, Irjen Djoko Susilo, yang terbukti korupsi dalam pengadaan simulator SIM senilai Rp200 miliar.
Bisnis ilegal aparat tak hanya terbatas pada jasa pengamanan dan perjudian. Mereka juga terlibat dalam perdagangan satwa liar. Kasus terbaru mengungkap dua oknum TNI dan satu anggota polisi yang ditangkap karena menyelundupkan 1,1 ton sisik trenggiling di Sumatera Utara, setara dengan pembunuhan 5.900 trenggiling. Kerugian lingkungan dan ekonomi dari kejahatan ini mencapai Rp289,5 miliar.
Selain itu, sindikat narkoba yang melibatkan aparat juga menjadi sorotan. Mantan Kasat Narkoba Polres Lampung Selatan, Andri Gustami, divonis mati karena terlibat dalam jaringan narkotika Fredy Pratama dengan total bayaran Rp1,3 miliar.
Akibat skandal bisnis ilegal Polri dan bisnis ilegal TNI yang terus mencuat, Polri akhirnya menerbitkan telegram bernomor ST/30/XI/Hum.3.4/2019 yang melarang anggota untuk memamerkan gaya hidup mewah polisi di depan publik. Perkap No. 10 Tahun 2017 juga semakin memperketat aturan kepemilikan aset mewah oleh anggota Polri.
Pada 14 Oktober 2022, Presiden Jokowi turut memanggil seluruh Kapolda untuk membahas reformasi di tubuh kepolisian. Namun, pertanyaannya tetap sama: dengan segala regulasi yang ada, akankah bisnis gelap aparat benar-benar bisa diberantas?
Keywords: bisnis, tni, polri, pengamanan, bisnis ilegal TNI, bisnis ilegal Polri, skandal TNI Polri, korupsi aparat, kekerasan aparat, bisnis gelap aparat, perdagangan satwa liar, gaya hidup mewah polisi
TL;DR
Katanya, tentara dan polisi dibatasi dalam melakukan bisnis. Tapi kita semua tahu ada beberapa “bisnis spesial” yang dijalankan para aparat penegak hukum Indonesia. Bahkan mayoritas bisa dibilang tak jelas asal usulnya.
Pada tahun 2023 lalu, sebanyak 11 orang penduduk Arun, Aceh Utara, mendapat hak ganti rugi dari ExxonMobil setelah dua dekade memperjuangkan kasus mereka sejak tahun 2001. SEbelumnya, para korban melaporkan kekerasan seperti pemukulan, siksaan, dan kekerasan seksual oleh oknum TNI yang dikontrak ExxonMobil untuk menjaga tambang gas mereka di Arun.
Menurut laporan International Center for Transitional Justice Program (ICTPJ) pengamanan ini berjalan selama 3 dekade dengan nominal biaya pengamanan lebih dari USD500.000 setiap bulan. Sebagai gantinya, TNI menyediakan 1.000 personel tentara dan 17 pos militer dan polisi di sekitar Arun.
Terkuaknya kasus kekerasan ini mendorong lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendukung hak asasi manusia (HAM) melakukan investigasi mendalam. Hasil investigasi menunjukkan 80% bisnis tentara ternyata ilegal dan tidak jelas asal-usulnya. Bisnis ilegal ini termasuk jasa pengamanan, yayasan, dan koperasi yang tidak transparan.
Bentuk pengamanan ini paling laris-manis di daerah konflik—baik pengamanan untuk individu maupun perusahaan. Tak hanya itu, mereka juga terlibat dalam eksploitasi sumber daya alam dari hulu ke hilir, seperti eksploitasi kayu hitam besar-besaran di Poso dan Sulawesi Tenggara.
Selain menjadi “satpam” pengamanan tambang, Polri dan TNI juga terlibat dalam lingkup perjudian di DKI Jakarta. Keuntungan yang mereka kantongi jumlahnya tidak main-main: perwira tinggi TNI dan Polri bisa mengantongi Rp15 miliar, perwira di bawahnya sekitar Rp10 miliar, dan semakin turun lagi Rp5 miliar (pdf, hlm 40). Oleh karena itu, mereka menolak wacana Sutiyoso di tahun 2000 untuk melegalisasi lokalisasi dan judi karena uangnya bakal mengalir ke pemerintah daerah.
Dosa Turun-temurun
Bisnis-bisnis gelap dan ilegal ini hanyalah turunan dari aktivitas militer di masa kemerdekaan, tepatnya sejak Belanda hengkang dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan. Di periode 1959-1969, kontrol militer terhadap bisnis-bisnis yang baru saja dinasionalisasi semakin terkonsolidasi. Penempatan ini bukan tanpa tujuan; ia secara spesifik dilakukan untuk membantu pendanaan di tubuh tentara supaya mereka tidak perlu bergantung pada dana pusat. Namun hal ini juga melanggengkan praktek korupsi di antara para perwira—uang yang seharusnya masuk ke kas institusi malah masuk ke kantong pribadi.
Beberapa elit sengaja menutup mata, tapi bukan berarti tidak ada personil yang dihukum. Beberapa diantaranya adalah Kolonel Ibnu Sutowo yang diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Kepala Staf Umum dan Komandan Kodam Jawa Tengah karena korupsi di bidang migas. Atau Kolonel Soeharto atas aksi korup yang terus ia langgengkan setelah menjabat sebagai presiden selama 32 tahun.
Deretan korupsi ini yang kemudian mendorong reformasi besar-besaran di tubuh TNI dan Polri. Larangan TNI untuk berbisnis dituangkan dalam Pasal 39 huruf c Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Sementara itu, aturan untuk Polri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Aturan soal larangan berbisnis Polri semakin diperkuat dengan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 9 Tahun 2017 tentang Usaha bagi Anggota Polri yang mengatur larangan dan syarat bagi anggota yang ingin berbisnis dan Perkap No. 10 Tahun 2017 tentang Kepemilikan Barang yang Tergolong Mewah oleh Pegawai Negeri Polri. Barang atau aset milik anggota Polri harus diperoleh dengan cara yang sah (gaji), warisan atau cara legal lainnya.
Jika ternyata bisnis TNI dan Polri diatur begitu ketat, sementara besaran gaji pokok dan tunjangan mereka–seperti yang diatur dalam PP Nomor 6 dan 7 Tahun 2024–tidaklah besar juga, bagaimana bisa para personil bisa hidup mewah?
Jawabannya sudah pernah diungkap oleh Juwono Sudarsosno, mantan Menteri Pertahanan, yakni mendapat dana tambahan. Juwono mengungkap, APBN hanya menutup 30% dari total dana yang dibutuhkan TNI. Dari sini muncul dugaan, sisa 70% lainnya diperoleh melalui bisnis militer.
Dari Bisnis Pengamanan Hingga Perdagangan Satwa Liar
Salah satu personil yang sempat ‘kena sentil’ karena bermewah-mewahan adalah Jenderal Moeldoko. Media Singapura The Strait Times dan Mothership di tahun 2014 memberitakan jam tangan mewah miliknya seharga Rp1,1 miliar. Sang jenderal membantah dengan mengklaim jam tangan tersebut palsu. The Strait Times menyindir bantahannya dengan menerbitkan artikel cara membedakan jam tangan mewah asli dengan yang palsu.
Moeldoko mungkin bisa berkilah membeli jam tangan mewah karena warisan dan harta kekayaan istrinya. Namun personil lain tak sedikit juga yang memperkaya diri dari korupsi dan bisnis ilegal.
Contohnya mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Ferdy Sambo yang sempat jadi sorotan karena harta kekayaannya tidak terdaftar di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Harta ini terdiri dari tiga rumah mewah—dua di Jakarta, satu lagi di Magelang—dan mobil-mobil mewah yang harga totalnya ditaksir sebesar Rp11,15 miliar.
Kemudian mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji yang menjadi tersangka kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun 2008 ini dilaporkan memiliki total kekayaan sebesar Rp 1.587.812.155. Angka ini berdasarkan LHKPN tahun 2008, sehingga tidak menutup kemungkinan hartanya sudah menggelembung.
Kasus kali ini erat berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat, yakni simulator Surat Izin Mengemudi (SIM). Pada tahun 2012, kasus ini menyeret mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang memiliki total harta sebesar Rp200 miliar. Total ada 48 aset kekayaan yang disita karena diduga merupakan hasil dari kasus pencucian yang dan penggelembungan nilai simulator SIM.
Setelah bisnis gelap simulator SIM, polisi juga tak luput ikut serta dalam bisnis gelap narkotika. Seperti Mantan Kepala Satuan Narkoba (Kasat Narkoba) Polres Lampung Selatan Andri Gustami yang divonis hukuman mati atas keterlibatannya dalam jaringan sindikat narkotika Fredy Pratama. Total bayaran yang ia terima sebesar Rp1,3 miliar.
Perdagangan satwa liar tak luput jadi incaran penambah pundi uang dua oknum TNI dan seorang anggota polisi di Sumatera Utara. Mereka ditangkap karena dugaan terlibat sindikat perdagangan ilegal sisik trenggiling sebesar 1,1 ton di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Untuk mendapatkan sisik sebanyak ini, ada sekitar 5.900 trenggiling dibunuh. Kerugian ekonomi dan lingkungan yang diakibatkan oleh perdagangan ilegal ini diperkirakan mencapai Rp289,5 miliar.
Rentetan kasus bisnis ilegal aparat membuat kepercayaan publik menurun dan Polri mengeluarkan telegram yang bernomor ST/30/XI/Hum.3.4/2019/. Mereka melarang anggota untuk pamer kemewahan di kedinasan dan area publik. Aturan lainnya, soal kepemilikan aset harus diperoleh dengan cara yang sah (gaji), warisan, atau cara legal lainnya tertuang dalam Perkap No. 10 Tahun 2017.
Mantan Presiden Jokowi pada 14 Oktober 2022 juga turut mengumpulkan seluruh kapolda dan kapolres se-Indonesia serta pejabat Mabes Polri untuk menghimbau gaya hidup sederhana seluruh anggota Polri.
Namun, himbauan pejabat TNI untuk para personil untuk tidak hidup mewah terhitung datang telat. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman baru memerintahkan prajuritnya untuk menghindari kemewahan dan hidup sederhana pada 10 Maret 2023. Dua tahun sebelumnya, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono mengingatkan untuk hidup sederhana.
Sejauh ini, Polri sudah beberapa kali mencopot anggota yang ketahuan memamerkan gaya hidup mewah. AKBP Deni Kurniawan dicopot dari jabatan Kapolres Labuhanbatu karena memamerkan gaya hidup mewah di media sosial. Kapolsek Kembangan, Jakarta Barat Kompol Fahrul Sudiana dipecat karena menyelenggarakan pernikahan mewah di tengah pandemi.
Tentunya ini adalah upaya memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian yang sempat menurun ke angka 53% di tahun 2022 karena tragedi Kanjuruhan dan kasus Ferdy Sambo. Angka kepercayaan masyarakat baru naik di tahun 2024, sebanyak 73,1%.