
TL;DR
-Misinformasi tentang LGBTQ+ memperkuat stigma dan diskriminasi. Artikel ini mengungkap dampaknya serta pentingnya pendekatan inklusif berbasis hak asasi manusia.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR RI, Sekertaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Hutabarat mengatakan, bahwa Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ+) merupakan ancaman prioritas negara di tahun 2025. Pernyataan tersebut ia lontarkan saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi I DPR RI pada 14 November 2024 lalu.
“Kami melihat permasalahan LGBTQ+ ini adalah bom waktu karena LGBTQ+. Queer ini orang yang orientasi seksualnya masih belum jelas. Mereka bisa berhubungan (seksual) dengan binatang, peralatan, dengan boneka,” kata Hutabarat saat menjawab pertanyaan dari anggota DPR terkait penanggulangan pengaruh globalisasi dari media sosial, Kamis (14/11/2024).
Apa Dampak Misinformasi Pemerintah Soal LGBTQ+?
Aktivis Pelangi Nusantara, komunitas yang memperjuangkan kesetaraan dan kehidupan bermartabat bagi komunitas LGBTQ+ Q di Indonesia, mengatakan pernyataan Wantannas akan memperburuk diskriminasi dan sentimen terhadap kelompok LGBTQ+.
“Teman-teman LGBTQ+ tidak pernah menjadi ancaman bagi negara atau masyarakat. Sebaliknya, kami merupakan bagian dari keberagaman yang hanya ingin hidup damai dan setara,” kata Arisdo kepada Deduktif, Jumat, (29/11/2024).
Periset Kajian Narkotika, Hukuman Mati, dan LGBTQ+ Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Kiki Marini Situmorang mengatakan pernyataan Hutabarat berpotensi memperparah stigma dan diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+ di Indonesia. Pernyataan Hutabarat, kata Kiki, tak berbasis fakta.
Kiki menyampaikan anggapan LGBTQ+ sebagai ancaman terhadap bangsa sebenarnya bertentangan dengan salah satu tujuan utama Wantannas, yaitu menjaga keamanan nasional. Pendekatan semacam ini, katanya, justru dapat memperburuk situasi dan menciptakan ketegangan sosial, alih-alih memperkuat persatuan dan stabilitas negara.
“Disampaikan tanpa dasar logika dan riset yang memadai. Dengan kondisi yang demikian, akhirnya dapat memicu peningkatan intoleransi di masyarakat, memperkuat stereotip negatif, serta membuka ruang justifikasi bagi pemerintah, ataupun masyarakat umum dalam melakukan kekerasan dan pelanggaran hak asasi terhadap komunitas LGBTQ+,” ungkap Kiki kepada Deduktif, Jumat, (6/12/2024).
Survei LBHM dan kelompok masyarakat sipil lainnya pada tahun 2022 menunjukkan dari 401 responden LGBTQ+, sebanyak 40.4% pernah mengalami kekerasan fisik yang berakibat luka berat, 35.4% mengalami perusakan tempat tinggal, 43.4% mengalami pemecatan akibat ragam identitasnya, dan 78.8% berisiko tinggi mengalami serangan berupa doxing dan peretasan dengan maksud menghancurkan kredibilitas.
Temuan ini mencerminkan realitas sulit dihadapi oleh komunitas LGBTQ+ di Indonesia. Kekerasan fisik yang menyebabkan luka berat, perusakan tempat tinggal, dan pemecatan akibat identitas menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
Kiki juga menjelaskan bahwa stigma buruk yang dilekatkan kepada kelompok LGBTQ+ akan mempengaruhi kondisi mental mereka. American Psychological Association, organisasi profesi yang merepresentasikan psikologi di Amerika Serikat dalam penelitiannya menyatakan orientasi seksual menjadi langkah penting bagi lesbian, gay, dan biseksual untuk menerima diri mereka sendiri secara psikologis.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa memiliki pandangan positif terhadap orientasi seksual dan menjadikannya bagian yang utuh dalam kehidupan sehari-hari dapat meningkatkan kesejahteraan serta kesehatan mental secara keseluruhan. Orientasi seksual dan identitas gender yang termasuk dalam kategori LGBTQ+ adalah variasi normal dari pengalaman manusia (pdf, hal 3).
Cara untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi LGBTQ+
Pemerintah perlu mengambil pendekatan berbasis hak asasi manusia untuk menangani isu LGBTQ+. Berikut ini rekomendasi dari LBHM:
- Mengedepankan edukasi publik yang berfokus pada penerimaan keberagaman, bukan memberikan pernyataan-pernyataan yang memperburuk situasi.
- Mengkaji ulang dan mencabut regulasi atau kebijakan yang diskriminatif terhadap komunitas LGBTQ+.
- Mengembangkan kebijakan inklusif yang melindungi hak semua warga negara tanpa kecuali, termasuk hak atas rasa aman, hak untuk tidak disiksa/mendapatkan kekerasan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Termasuk juga memperlengkapi para petugas di lapangan untuk bisa memberikan pelayanan publik yang inklusif.
- LBHM mendorong pemerintah untuk menciptakan regulasi anti-diskriminasi yang komprehensif dan melibatkan masyarakat sipil dalam proses perumusannya. Hal ini penting untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan benar-benar melindungi dan mendukung hak mereka sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.