Mengurai Stereotipe Gender dalam Kontroversi Pernyataan Budi Arie 

Penulis: Anggita Raissa
Editor: Aditya Widya Putri
Mengurai Stereotipe Gender dalam Kontroversi Pernyataan Budi Arie 

Pernyataan Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (sekarang Kementerian Komunikasi dan Digital), Budi Arie Setiadi tentang "perempuan lebih kejam" mengungkapkan stereotipe gender yang memperburuk diskriminasi terhadap perempuan, terutama terkait kekerasan dalam masyarakat.

“Soal judi online, kita harus turut berduka cita karena ada polisi yang dibakar oleh istrinya. Ternyata perempuan itu lebih kejam dari laki-laki, ya,” ucap Budi saat rapat dengan Komisi I DPR RI, Senin (10/6/2024). Pernyataan itu ia lontarkan saat membicarakan kasus pembunuhan suami oleh polisi wanita (Polwan) di Mojokerto, Jawa Timur. 

Ucapan Budi Arie mencerminkan stereotipe gender yang sering kali dilekatkan kepada perempuan, khususnya ketika mereka terlibat dalam tindak kekerasan atau perilaku yang dianggap bertentangan dengan norma tradisional tentang kelembutan dan kasih sayang.

Generalisasi yang muncul dari stereotip dapat menciptakan bias, diskriminasi, dan ketidaksetaraan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, hingga hubungan interpersonal. Dengan memeriksa kebenaran di balik stereotip ini, masyarakat dapat memahami bahwa mayoritas keyakinan tersebut tidak berdasar pada fakta, melainkan pada asumsi dan norma sosial yang terus diwariskan.

Apa yang Dimaksud dengan Stereotipe Gender dalam Artikel Ini?

Dalam jurnal yang ditulis Rahmawati, dkk (PDF, hal 4) menyebut stereotip gender adalah pandangan umum yang tersebar luas tentang sifat, atribut, dan peran yang dianggap cocok untuk laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Sebagai contoh, laki-laki sering digambarkan memiliki sifat seperti tegas dan kompetitif, sementara perempuan sering diasosiasikan dengan sifat lembut dan penuh perhatian.

Ketika seorang perempuan menunjukkan tindakan kekerasan, hal itu dianggap melanggar norma sosial yang diharapkan dari mereka. Akibatnya, perilaku tersebut sering kali dianggap lebih "mengejutkan" bahkan "kejam" dibandingkan tindakan serupa yang dilakukan oleh laki-laki. 

Peneliti Kajian dan Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, Tsaltsa Arsanti menyoroti bahwa masyarakat cenderung mendemonisasi perempuan yang menjadi pelaku kejahatan. 

Apa Dampak dari Stereotipe Gender terhadap Perempuan yang Berkonflik dengan Hukum?

Dalam membahas tindak kriminal yang dilakukan oleh perempuan, kata Tsaltsa, penting untuk tidak sekadar memandangnya sebagai kejahatan biasa. Masyarakat perlu mempertimbangkan konteks kehidupan perempuan tersebut, seperti apakah ia pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Narasi semacam ‘perempuan lebih kejam’ dapat memengaruhi cara perempuan diperlakukan di masyarakat, termasuk dalam konteks sistem hukum, yang dapat memengaruhi cara pandang terhadap perempuan yang berkonflik dengan hukum, sehingga perempuan lebih sering mendapatkan penilaian atau hukuman sosial yang berat dibanding jika laki-laki yang melakukan,” ujar Tsaltsa kepada Deduktif, Kamis, (28/11/2024).

Bagaimana Statistik Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia?

Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023 yang dirilis pada 7 Maret 2024, mereka mencatat bahwa di ranah personal, tindak kekerasan yang paling banyak diadukan ke Komnas Perempuan adalah kekerasan terhadap istri (KTI). CATAHU mencatat, sebanyak 674 kasus KTI dilaporkan sepanjang 2023.

Data real time pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) milik Kementerian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (Kemenpppa) memperlihatkan korban kekerasan yang dialami perempuan lebih banyak dibandingkan dengan korban kekerasan yang dialami oleh laki-laki. Pada tahun 2024 saja, angka kekerasan di Indonesia berjumlah 24.613 kasus dengan jumlah korban perempuan sebanyak 21.337 dan korban laki-laki berjumlah 5.398 orang.

“Pejabat publik memiliki tanggung jawab untuk menghindari pernyataan yang bias dan menyudutkan, terutama yang dapat memperkuat ketimpangan gender dan diskriminasi terhadap perempuan,” pungkas Tsaltsa.