Misinformasi TBC Penyakit Orang Miskin: Klaim Calon Wakil Bupati Bima Rostiati

Penulis: Anggita Raissa
Editor: Aditya Widya Putri
Misinformasi TBC Penyakit Orang Miskin: Klaim Calon Wakil Bupati Bima Rostiati

Misinformasi tentang TBC sebagai penyakit orang miskin memperburuk stigma. TBC adalah penyakit menular yang dapat menyerang siapa saja, tanpa memandang status ekonomi.

Calon Wakil Bupati Bima, Rostiati, menyatakan bahwa Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit orang miskin. Pernyataan itu ia lontarkan dalam debat terbuka Pilkada Lombok 2024 di hotel Marina Inn pada, Sabtu (16/11/2024).

“Jika nanti kami terpilih akan kami tingkatkan pelayanan penyakit Tuberkulosis (TBC), karena TBC merupakan penyakit orang miskin,” ujar Rostiati Calon Wakil Bupati Bima nomor urut 02.

Pernyataan yang dilontarkan Rostiati soal TBC merupakan penyakit orang miskin tergolong misinformasi dan perlu diluruskan, mengingat dampaknya terhadap stigma orang dengan TBC dan kesalahpahaman publik tentang penyebab serta penyebaran penyakit ini.

Mengapa Klaim TBC adalah Penyakit Orang Miskin Dianggap Sebagai Misinformasi?

Mengaitkan TBC dengan kemiskinan akan memperkuat stigma sosial terhadap orang dengan TBC. Hal ini dapat menyebabkan mereka enggan mencari pengobatan atau bahkan menyembunyikan kondisinya, sehingga memperburuk penyebaran penyakit. Padahal TBC tidak mengenal status ekonomi.

Jika misinformasi tersebut dipercaya, ada risiko bahwa program pengendalian TBC hanya diarahkan pada kelompok tertentu, seperti masyarakat berpenghasilan rendah. Padahal, TBC adalah masalah kesehatan masyarakat yang membutuhkan pendekatan lintas sektor, mencakup semua kelompok sosial.

Selain itu, apa yang disampaikan Rostiati dapat mengarahkan perhatian pada narasi tertentu untuk keuntungan politiknya sendiri, sementara fakta ilmiah sering diabaikan. Cek fakta membantu memastikan bahwa kebijakan kesehatan didasarkan pada data, bukan pada klaim tanpa dasar.

Misinformasi Tentang TBC

  • TBC adalah Penyakit Genetik
    Faktanya, TBC bukanlah penyakit genetik. TBC tidak menular dari orang tua ke anak. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menular melalui udara. TBC menyebar ketika seseorang yang terinfeksi batuk atau bersin, menularkan bakteri ke orang lain.
  • TBC Hanya Terjadi di Negara Berpendapatan Rendah
    TBC bukanlah penyakit yang hanya menyerang masyarakat di negara dengan pendapatan rendah. Faktanya TBC dapat menyerang siapa saja, tanpa memandang status ekonomi. Namun, memang ada wilayah tertentu yang memiliki prevalensi TBC lebih tinggi dibanding daerah lain.

    Menurut laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2023, sekitar 45% dari kasus TBC baru terjadi di kawasan Asia Tenggara. Diikuti oleh Afrika (24%) dan Wilayah Pasifik Barat (17%).

    Meskipun demikian, negara maju seperti Amerika Serikat juga tercatat memiliki sejumlah kasus TBC. Pada 2023, terdapat 9.633 kasus TBC di AS. Di Eropa, pada 2022, jumlah kasus TBC tercatat ada 185.758 kasus. Ini menunjukkan bahwa TBC bukanlah masalah yang terbatas pada negara-negara miskin, melainkan masalah global yang memengaruhi berbagai belahan dunia.
  • TBC Menular Lewat Jabat Tangan
    Faktanya, TBC tidak menular lewat sentuhan. TBC juga tidak akan menular melalui beberapa hal seperti berbagi makanan atau minuman, menyentuh sprei atau dudukan toilet, berciuman, ataupun berbagi sikat gigi. TBC hanya menyebar dari seseorang yang terinfeksi bakteri aktif di paru-paru atau tenggorokannya batuk, bersin, berbicara, atau bernyanyi.

Apa Fakta Mengenai Penularan TBC?

TBC adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini terutama menyerang paru-paru, namun juga bisa menyebar ke organ tubuh lainnya seperti ginjal, tulang, dan otak.

TBC dapat menyebar melalui droplet udara, misalnya dari batuk atau bersin orang dengan TBC yang tidak diobati. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja, tidak terbatas pada status ekonomi tertentu. Faktor utama yang memengaruhi penularan adalah paparan langsung orang dengan TBC aktif, sistem imun yang lemah, serta akses terhadap diagnosis dan pengobatan.

Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI), organisasi yang berfokus pada pengendalian TBC, berpendapat bahwa klaim yang mengaitkan TBC dengan kemiskinan menunjukkan perlunya edukasi publik yang lebih baik. 

Henry menegaskan bahwa walaupun faktor sosial-ekonomi dapat memengaruhi risiko penularan TBC, penyakit ini bukanlah "penyakit orang miskin." Penekanan seperti itu justru memperkuat stigma dan menghambat upaya penanganan TBC berbasis hak dan inklusivitas.

Ia juga menambahkan bahwa mengatasi TBC membutuhkan pendekatan yang komprehensif, mencakup pencegahan, pengobatan, dan edukasi masyarakat tanpa diskriminasi. 

“Fokus utama seharusnya adalah memastikan bahwa semua individu, terlepas dari status sosial-ekonominya, memiliki akses yang sama terhadap layanan kesehatan berkualitas, termasuk diagnosis dini dan pengobatan yang efektif,” ungkap Henry kepada Deduktif, Kamis, (21/11/2024).

Pada akhirnya, pengendalian TBC bukan hanya tentang mengobati penyakit, tetapi juga melibatkan perjuangan melawan stigma, diskriminasi, dan ketidaksetaraan akses layanan kesehatan.