PLTSa: Solusi Sampah atau Ancaman Baru bagi Lingkungan?

Penulis: Anggita Raissa
Editor: Aditya Widya Putri
PLTSa: Solusi Sampah atau Ancaman Baru bagi Lingkungan?

PLTSa solusi sampah Jakarta? Meski kurangi limbah TPA, pembakaran sampah di PLTSa hasilkan emisi berbahaya yang ancam lingkungan dan kesehatan.

Pada debat ketiga Pilkada Jakarta 2024, Calon Wakil Gubernur Jakarta, Rano Karno menyatakan bahwa sampah dapat diolah menjadi bahan bakar sebagai solusi mengatasi masalah limbah ibu kota. Namun, ia tidak membahas potensi risiko kesehatan yang mungkin muncul dari pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

“Sampah bisa menjadi produk yang bernilai contohnya bisa diubah menjadi briket dan bisa jadi pengganti batu bara, sehingga rendah emisi, kemudian bisa menjadi kerajinan dan manufaktur. Inti dari permasalahan redistribusi sampah adalah apabila bisa dikelola dari rumah, insyaallah redistribusi sampah tidak diperlukan,” ujar Rano pada debat Pilkada Jakarta 2024, Senin, (18/11/2024).

Apakah PLTSa Efektif dalam Pengelolaan Sampah?

Pernyataan Rano Karno dalam debat Pilkada Jakarta 2024, yang menyatakan bahwa sampah dapat menggantikan batu bara mengandung beberapa potensi misinformasi soal pengurangan sampah. Meskipun PLTSa dapat mengurangi volume sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA), hanya jenis sampah tertentu yang bisa diproses menjadi energi. 

Banyak jenis sampah, seperti plastik dan bahan kimia tertentu, tidak dapat dibakar dengan bersih dan dapat melepaskan zat berbahaya. Hal tersebut membuat solusi PLTSa kurang efektif dibandingkan dengan solusi pengelolaan sampah yang lebih holistik, seperti program daur ulang dan pengurangan sampah di sumbernya​.

Apa Dampak PLTSa pada Masyarakat Sekitar?

Meskipun konsep mengubah sampah menjadi energi tampak menjanjikan, kenyataannya solusi ini masih menyisakan banyak masalah lingkungan dan kesehatan yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut.

Menurut Ibar Akbar, Plastics Project Leader Greenpeace Indonesia, PLTSa justru menghadirkan tantangan baru, baik dari segi lingkungan maupun keberlanjutan ekonomi. “Selama kita masih membakar sampah, kita menghadapi masalah besar,” ujar Ibar kepada Deduktif, Selasa, (26/11/2024).

Ia mengatakan bahwa dampak pembakaran sampah di PLTSa bisa lebih berbahaya dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Hal ini disebabkan oleh kandungan plastik yang dominan dalam sampah, di mana plastik memerlukan minyak bumi sebagai bahan baku. Proses pembakaran plastik tidak hanya menghasilkan emisi berbahaya, tetapi juga memperparah ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Menurut Ibar, solusi utama untuk permasalahan sampah bukanlah membangun PLTSa, melainkan memastikan pengelolaan sampah yang baik. Ibar menyebut bahwa lebih dari 50% sampah di Indonesia adalah sampah organik, namun pengelolaannya masih jauh dari optimal. 

“Sampah kita umumnya bercampur antara organik dan anorganik, sehingga sulit diolah. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memisahkan sampah sejak dari sumbernya,” tegasnya.

Pembangunan PLTSA memiliki berbagai dampak utamanya terhadap lingkungan dan kesehatan. Misal, berkontribusi pada emisi gas rumah kaca (GRK) secara signifikan, termasuk karbon dioksida (CO2), dan gas lain yang berkaitan dengan proses pembakaran sampah. Meskipun PLTSa dapat menggantikan sumber energi fosil, yang memiliki emisi lebih tinggi, proses pembakaran sampah tetap menghasilkan emisi yang memperburuk perubahan iklim.

Proses pembakaran sampah di PLTSa berpotensi menghasilkan emisi berbahaya seperti dioksin dan furan, dua senyawa kimia yang sangat beracun. Kedua senyawa itu dapat mencemari udara dan berbahaya bagi kesehatan manusia, terutama bagi sistem pernapasan. 

Paparan jangka panjang terhadap dioksin dan furan dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, termasuk kanker dan gangguan sistem imun. Selain itu, pengolahan sampah menjadi energi dapat menghasilkan limbah seperti abu ketel dan bau tidak sedap yang dapat menyebabkan polusi udara.

Apakah PLTSa Mendukung Pengurangan Plastik?

Ibar menilai PLTSa memiliki kontradiksi terhadap upaya pengurangan plastik. “Untuk beroperasi, PLTSa membutuhkan plastik sebagai sumber daya utama. Artinya, semakin banyak PLTSa, semakin banyak plastik yang harus diproduksi,” katanya. 

Padahal, produksi plastik memerlukan minyak bumi dan melibatkan berbagai senyawa kimia yang dampaknya bisa memperburuk ekosistem lingkungan akibat limbah yang dihasilkan dari aktivitas PLTSa.

Ibar juga mempertanyakan efisiensi energi PLTSa. “Apakah energi yang dihasilkan sebanding dengan energi yang diperlukan? Selain itu, apakah secara ekonomi PLTSa masuk akal, mengingat anggarannya sangat mahal?” ungkapnya. 
Banyak proyek PLTSa di Indonesia bahkan mangkrak akibat tidak efektif, termasuk tantangan mendapatkan kesepakatan dari PLN untuk membeli listrik yang dihasilkan.

Sebagai contoh, kata Ibar, PLTSa Putri Cempo di Solo yang diresmikan pada 30 Oktober 2023 oleh Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka, berdampak negatif terhadap warga sekitar PLTSa. Satu tahun setelah PLTSa Putri Cempo beroperasi, Warga Kampung Jatirejo, Mojosongo, Solo, Jawa Tengah mengeluhkan polusi udara yang menyebabkan sesak napas, pencemaran limbah abu padat hitam, hingga limbah cair yang menyebabkan tumbuhan mati. 

“Ada kekhawatiran dari warga terkait potensi pencemaran tanah dan air tanah akibat limbah yang tidak terkelola dengan baik,” lanjutnya. 

Solusi PLTSa yang dikemukakan Rano Karno sebagai jawaban atas permasalahan iklim dan sampah perlu dipertimbangkan dengan cermat. Meskipun PLTSa dapat mengurangi volume sampah di TPA dan menghasilkan energi, dampak lingkungan dan kesehatan yang ditimbulkan dari pembakaran sampah tidak bisa diabaikan.