21 Maret 2024
Kenapa ini penting?
Kebutuhan akan sumber energi yang berkelanjutan dan rendah emisi karbon menjadi sebuah keharusan di era kiwari. Maka, sejumlah pihak mengklaim bahwa panas bumi (geothermal) merupakan sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan.
Namun klaim itu justru bermasalah. Proyek penambangan geothermal justru menuai dampak pada beberapa aspek, mulai dari kehancuran ekologis, dampak ekonomi, hingga dampak sosio-kultural.
Latar belakang:
Alih-alih melakukan evaluasi terhadap operasi penambangan geothermal di setiap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di seluruh Indonesia, pemerintah justru menjadi salah satu pihak yang terus memproduksi narasi tentang geothermal sebagai energi alternatif dan ramah lingkungan.
Klaim-klaim itu tak sejalan dengan apa yang terjadi dan menimpa masyarakat yan di rutinitas kesehariannya, berhadapan langsung dengan operasi penambangan geothermal.
Dalam prebunking ini, kami berupaya mendedah dampak buruk apa saja yang ditimbulkan dari penambangan geothermal. Kami pun memeriksa sejauh mana klaim-klaim atau narasi yang beredar tentang geothermal ini diamplifikasi oleh aktor-aktor yang punya kepentingan terkait pengembangan geothermal.
Temuan disinformasi/narasi yang beredar:
- Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), merilis artikel tentang energi geothermal yang diklaim ramah terhadap lingkungan.
- Yayasan yang fokus pada pengembangan praktik pembangunan berkelanjutan bernama Anwar Muhammad Foundation (AMF), merilis artikel yang juga mengklaim bahwa energi geothermal merupakan energi alternatif dan ramah lingkungan.
- Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, merilis artikel tentang klaim keunggulan penggunaan geothermal sebagai energi baru terbarukan (EBT).
- Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Vancouver, Kanada, merilis fun fact tentang geothermal yang diklaim sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan.
- Universitas Pertamina merilis artikel tentang wawancara dengan dosen yang punya konsentrasi studi di bidang geothermal. Di artikel ini, termaktub klaim bahwa geothermal menjadi alternatif energi yang efisien di kemudian hari.
Aktor penyebar disinformasi/narasi yang beredar:
- Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) dari Kementerian ESDM
- Yayasan yang fokus pada pengembangan praktik pembangunan berkelanjutan
- Perguruan tinggi negeri
- Konsulat dari Kementerian Luar Negeri
- Perguruan tinggi swasta
Penelitian/bantahan:
Dalam laporan penelitian berjudul Geothermal di Indonesia yang dirilis oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS)—lembaga riset yang fokus di bidang ekonomi dan kebijakan publik—dan organisasi masyarakat yang fokus pada isu lingkungan yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada awal 2024, termaktub rincian masalah geothermal yang timbul di ragam aspek.
Di aspek ekologis, menurut peneliti CELIOS dan WALHI, imaji geothermal sebagai salah satu bentuk energi terbarukan seringkali membutakan mata publik akan berbagai resiko yang mengikutinya.
Dampak kerusakan ekologis dari berbagai proyek geothermal, baik yang masih dalam tahap perencanaan maupun yang sudah beroperasi, telah menuai permasalah lingkungan serius dan mesti menjadi perhatian banyak pihak.
CELIOS dan WALHI menyebut bahwa penyebabnya tentu tidak bisa terlepas dari metode operasi yang dilakukan demi mendapatkan energi geothermal.
Sebagaimana layaknya proses penambangan, akan ada proses pengeboran dalam operasionalnya. Tujuan dari pengeboran ini, menurut peneliti CELIOS dan WALHI, adalah untuk menghasilkan sumur produksi dan sumur injeksi.
Sumur produksi itu berfungsi untuk mengalirkan gas atau fluida panas dari dalam bumi menuju permukaan. Fluida panas inilah yang kemudian diolah menjadi energi.
Di dalam perut bumi, fluida ini akan bersentuhan dengan batuan panas dan mengalami kenaikan suhu, untuk kemudian dialirkan kembali ke permukaan bumi melalui sumur produksi.
Peneliti CELIOS dan WALHI menyebut kalau proses itu bisa menyebabkan merosotnya kualitas lingkungan, yang pada akhirnya tidak hanya mengorbankan ekosistem flora dan fauna saja, melainkan juga ruang hidup manusia.
Dampak kerusakan ekologis lain dari proyek geothermal yang diteliti oleh CELIOS dan WALHI antara lain:
- Peningkatan risiko seismik: masyarakat yang berada di sekitar PLTP kerap merasakan gempa bumi. Hal itu imbas dari operasi penambangan geothermal yang mengakibatkan potensi gempa lebih tinggi.
- Pelesakan tanah dan risikonya pada perubahan relief bumi: aktivitas penambangan panas bumi yang dilakukan terus menerus menarik dan menyalurkan air dalam proses operasinya, mengakibatkan kepadatan tanah terganggu.
- Kerusakan sistem akuatik: dalam operasi penambangan panas bumi, muncul juga dampak berupa pencemaran air tanah, kerusakan tanah, hingga penurunan produktivitas pertanian.
Penambangan geothermal juga berdampak pada aspek ekonomi. CELIOS dan WALHI menemukan beberapa dampak ekonomi yang justru merugikan masyarakat yang tinggal di lokasi dekat area PLTP. Antara lain:
- Membuat mata pencaharian masyarakat kian terpinggirkan: kehadiran aktivitas pertambangan geothermal, termasuk proses prakonstruksi, akan menciptakan risiko penurunan pendapatan pariwisata bagi masyarakat.
- Berkurangnya pendapatan masyarakat dari produktivitas pertanian: secara kalkulasi, proyek panjang penambangan geothermal berdampak buruk pada pendapatan petani maupun masyarakat, yang bergantung pada produktivitas pertanian mereka.
- Peralihan lahan dan tenaga kerja: pada tahun-tahun awal, proses pembangunan PLTP menyebabkan adanya peralihan lahan tenaga kerja dari pertanian, ke tenaga kerja sektor konstruksi dan pendukungnya.
Terakhir, CELIOS dan WALHI menyebut kalau proyek penambangan geothermal juga berdampak pada aspek sosio-kultural.
Setiap narasi tentang transisi energi yang dibangun oleh pemerintah, cenderung hanya mengedepankan masalah investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, CELIOS dan WALHI menganggap kalau urgensi paling mendasar menuju kedaulatan energi adalah mendudukkan kebutuhan energi, pada masing-masing wilayah sesuai dengan potensi yang dimiliki wilayah itu.
Masyarakat adat dan komunitas lokal hanya ditempatkan sebagai objek pengamat dalam hiruk-pikuk pengadaan energi. Pengembangan proyek geothermal semakin menyingkirkan masyarakat lokal dalam lanskap besar transisi energi nasional.
Dampak penambangan geothermal pada aspek sosio-kultural lainnya, antara lain: adanya perampasan ruang hidup masyarakat di sekitar lokasi PLTP dan kriminalisasi terhadap masyarakat penolak proyek geothermal. Temuan itu mengacu pada beberapa kasus seperti masyarakat Salingka Gunung Talang, Sumatera Barat, yang berhadapan dengan PLTP Gunung Talang Bukit Kili.
Solusi/pencegahan:
- Ragukan terlebih dahulu publikasi apapun yang mengklaim bahwa geothermal adalah energi alternatif yang ramah lingkungan.
- Periksa penelitian seperti yang dilakukan oleh CELIOS dan WALHI terkait dampak-dampak yang ditimbulkan atas operasi penambangan geothermal.