![[Prebunking] Klaim Kewajaran Pejabat Publik Memiliki Perusahaan Cangkang di Negara Suaka Pajak [Prebunking] Klaim Kewajaran Pejabat Publik Memiliki Perusahaan Cangkang di Negara Suaka Pajak](https://files.jurno.id/uploads/images/cekfakta/1709813622_2302_i105_017_s_m005_c13_isometric_money_laundering_isolated.jpg)
7 Maret 2024
Kenapa ini penting?
Sejumlah pejabat publik sekaligus konglomerat asal Indonesia mengklaim bahwa memiliki perusahaan cangkang di negara suaka pajak adalah sebuah hal biasa. Di balik klaim itu, justru terdapat dugaan upaya penggelapan pajak, pengalihan aset, pelanggaran etika publik, hingga ketidakjujuran atas laporan harta kekayaan.
Latar belakang:
Sejak 2016, Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional atau ICIJ menginvestigasi dokumen-dokumen keuangan rahasia dan merilis laporan terkait para pengusaha hingga pejabat publik suatu negara. Termasuk pengusaha serta pejabat publik dari Indonesia.
Negara-negara semacam Kepulauan Cayman, Bahama, Panama, dan Kepulauan Virgin Britania, kerap menjadi rute utama untuk mengalirkan dana hasil pencucian uang ke negara-negara berkembang.
Melalui pangkalan data ICIJ, sederet pejabat publik serta pengusaha asal Indonesia tercatat atas kepemilikan dan keterkaitan dengan perusahaan cangkang di beberapa negara suaka pajak.
Beberapa dari mereka membantah kepemilikan atau keterkaitan dengan perusahaan cangkang di negara suaka pajak itu. Ada juga yang menyebut apabila mempunyai perusahaan cangkang di negara suaka pajak itu merupakan hal yang biasa.
Dalam cek fakta kali ini, Deduktif bakal mengurai indikasi apa saja yang ada di balik kepemilikan serta keterkaitan pejabat publik dan konglomerat, atas perusahaan cangkang di negara suaka pajak.
Temuan Klaim Pejabat Publik:
- Klaim pihak Luhut Binsar Pandjaitan dan Airlangga Hartarto terkait kepemilikan perusahaan cangkang di negara suaka pajak:
- Klaim Sandiaga Uno atas kepemilikan perusahaan cangkang di negara suaka pajak. Namanya tercatat di Panama Papers memang belum tentu melanggar hukum. Namun ada indikasi lain semisal pelanggaran etika publik atas kepemilikan perusahaan cangkang di negara suaka pajak itu:
Aktor yang menyebarkan disinformasi/misinformasi:
- Pejabat publik aktif
- Staf pejabat publik
- Politisi
- Pengusaha atau konglomerat
Penelitian / bantahan:
Indonesia Corruption Watch (ICW) yang merupakan organisasi independen yang memerangi korupsi di Indonesia, pernah merilis publikasi berjudul Dari Panama Papers hingga Pandora Papers: Pemerintah Tak Pernah Serius pada 12 Oktober 2021. Dalam publikasi itu, ICW mengurai beberapa indikasi ketika seorang pejabat publik atau pengusaha memiliki perusahaan cangkang di negara suaka pajak.
Pertama, menurut ICW, mendirikan atau memiliki keterkaitan dengan perusahaan cangkang di negara suaka pajak memang tidak selalu melanggar hukum. Namun, perusahaan cangkang di negara suaka pajak kerap digunakan untuk menghindari pajak atau aktivitas ekonomi gelap lainnya.
Dalam rantai operasi perusahaan cangkang di negara suaka pajak, seseorang dapat dengan sengaja mengalihkan keuntungan ke perusahaan cangkang itu. Sehingga orang itu terhindar dari keharusan membayar pajak. Dalam hal ini, negara merugi karena kehilangan penerimaan pajak.
Kedua, menurut ICW juga ada pelanggaran serius terkait etika publik, apabila pejabat publik terindikasi melakukan praktik kecurangan melalui keterkaitannya dengan perusahaan cangkang di negara suaka pajak.
ICW menyebut—kendati belum tentu melanggar hukum—dari sisi etika publik hal itu bukanlah sesuatu yang patut. Terutama karena potensi penipuan yang relatif dominan dalam skema pendirian perusahaan cangkang di negara surga pajak.
Ketiga, ICW juga menyebut adanya indikasi ketidakjujuran dari pejabat publik dalam melaporkan harta kekayaan yang dimiliki melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Penyertaan modal atau investasi pada perusahaan yang berbadan hukum wajib untuk dilaporkan dalam LHKPN, lengkap dengan jumlah saham yang dimiliki beserta nilainya. Dalam hal ini, para pejabat publik yang namanya tercantum dalam dokumen keuangan yang diinvestigasi ICIJ, diduga tidak melaporkan kepemilikan perusahaan di negara suaka pajak dalam LHKPN.
Keempat, ICW melihat adanya celah hukum di Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan kecurangan. Contohnya adalah kelemahan dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 13 tahun 2018 mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner/BO).
Dalam Perpres itu, korporasi di Indonesia diharuskan melaporkan pemilik manfaat kepada pemerintah. Akan tetapi Perpres itu tidak dapat menjangkau perusahaan yang didirikan di luar negeri—dalam hal ini, perusahaan cangkang di negara suaka pajak—oleh warga negara Indonesia.
Kelima, dokumen keuangan mulai dari Panama Papers hingga Pandora Papers menunjukkan pentingnya untuk membuka informasi kepemilikan perusahaan serta pemilik manfaat atau pemilik sebenarnya (BO) kepada publik.
ICW menganggap bahwa hal ini penting dilakukan, agar masyarakat dapat mengetahui siapa yang harus bertanggung jawab jika korporasi melakukan praktik kecurangan atau kejahatan korporasi, serta membantu aparat penegak hukum untuk menindak pihak yang paling bertanggungjawab.
Dalam wawancara untuk serial laporan relasi bisnis tim pemenangan capres dengan Deduktif, Ferdian Yazid yang merupakan salah satu peneliti Transparency International Indonesia (TII)—organisasi independen yang menelusuri kejahatan keuangan transnasional—menyebut bahwa ada semacam upaya menormalisasi temuan-temuan pejabat publik maupun konglomerat yang mempunyai perusahaan cangkang di negara suaka pajak.
“Rilisnya dokumen seperti Panama Papers di negara lain, bisa membuat pejabat publik yang tercatat di dalamnya mundur dari jabatan,” urai Ferdian kepada Deduktif, Kamis, (11/01/2024).
Ketika Panama Papers rilis, David Cameron yang menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris, mundur dari jabatan. Desakan publik Inggris yang menemukan adanya saham Cameron di perusahaan cangkang di Bahama mendasari aksi pengunduran diri Cameron.
Selain David Cameron, Perdana Menteri negara lain semisal PM Pakistan Nawaz Sharif, PM Islandia Sigmundur Gunnlaugsson, hingga Menteri Energi dan Kesehatan Malta yakni Konrad Mizzim, mundur dari jabatan masing-masing setelah nama mereka tertera di Panama Papers.
Solusi/pencegahan:
Masih dikutip dari publikasi ICW, dalam sederet temuan kepemilikan perusahaan cangkang di negara suaka pajak oleh pejabat publik dan konglomerat Indonesia, pemerintah perlu mengambil langkah serius.
Pemerintah mesti memperbaiki celah regulasi domestik dan melakukan koreksi total atas kelemahan penegakan hukum. Terutama yang selama ini dimanfaatkan untuk melarikan, menyembunyikan, dan menumpuk aset pribadi melalui skema-skema gelap yang bersifat transnasional.
Dari sisi perpajakan, pemerintah dapat menugaskan Direktorat Jenderal Pajak untuk menelusuri kembali dokumen-dokumen keuangan dari ICIJ. Lembaga lain seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bisa ikut digandeng dalam upaya penelusuran dokumen itu.
Sedangkan bagi masyarakat, apabila nantinya kembali menemukan klaim pejabat publik atau pengusaha terkait kepemilikan perusahaan cangkang di negara suaka pajak itu bukan sebuah masalah, masyarakat bisa terus mengawasi pejabat publik itu.
Seperti yang termaktub dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa masyarakat memiliki peran sebagai pengawas eksternal pelayanan publik. Hal itu tertuang dalam pasal 35 ayat 3, masyarakat bisa langsung mengawasi pelayanan publik berupa laporan atau pengaduan masyarakat.
Artinya, masyarakat punya hak untuk mengetahui sejauh mana kepemilikan atau keterkaitan perusahaan cangkang di negara suaka pajak oleh para pejabat publik itu, tidak berindikasi pada upaya penggelapan pajak, pengalihan aset, hingga ketidakjujuran atas laporan harta kekayaan.