![[Prebunking] Meretas Klaim Pemerintah tentang Pembolehan Rangkap Jabatan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN [Prebunking] Meretas Klaim Pemerintah tentang Pembolehan Rangkap Jabatan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN](https://files.jurno.id/uploads/images/cekfakta/1710731079_e6f3b311-3915-46be-b85f-c7c16f4ae71e.jpg)
18 Maret 2024
Kenapa ini penting:
Masifnya praktik rangkap jabatan anggota komisaris dan dewan pengawas di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), berdampak buruk pada pengelolaan BUMN itu sendiri. Instansi negara yang menjadi muasal komisaris serta dewan pengawas BUMN, telah mengabaikan sejumlah aturan perundang-undangan.
Dari sederet praktik rangkap jabatan anggota komisaris dan dewan pengawas di BUMN, pemerintah telah gagal mengelola konflik kepentingan.
Rangkap jabatan anggota komisaris dan dewan pengawas BUMN juga menimbulkan sejumlah implikasi. Di antaranya mulai dari bertentangan dengan hukum positif di Indonesia; persaingan tidak sehat antar regulator dan peserta bisnis; hingga berpotensi meruntuhkan tingkat kepercayaan publik.
Temuan rangkap jabatan anggota komisaris dan dewan pengawas di BUMN juga mengimplikasikan buruknya pengelolaan good corporate governance (GCG). 5 Prinsip GCG yang terdiri atas transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran; terdisrupsi oleh praktik rangkap jabatan anggota komisaris dan dewan pengawas di BUMN.
Prebunking ini berupaya meretas klaim dari pihak pemerintah, terkait dalih pembolehan rangkap jabatan anggota komisaris dan dewan pengawas di BUMN dengan pengecualian tertentu. Selain itu, publik juga berhak mengawasi pejabat negara untuk mencegah tidak terjadinya penyelewengan wewenang.
Latar belakang:
Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW)—organisasi independen yang memerangi korupsi di Indonesia—per 5 September 2023, sebanyak 53,9% dari total 263 instrumen pengawas BUMN terindikasi rangkap jabatan.
Dalam potret umum temuan itu, sebanyak 121 komisaris dan 21 dewan pengawas merangkap jabatan.
Ada 3 jenis rangkap jabatan dari temuan itu: (1) rangkap jabatan institusi negara/kementerian, (2) rangkap jabatan perusahaan swasta, dan (3) rangkap jabatan institusi negara/kementerian dan perusahaan swasta.
Sebaran jabatan pejabat publik yang rangkap jabatan itu beragam. Di antaranya di level inspektorat jenderal, wakil menteri, sekretaris jenderal/sekretaris kemenko, staf khusus, direktur jenderal, hingga deputi.
Kementerian BUMN menjadi instansi asal komisaris dan dewan pengawas BUMN dengan rangkap jabatan terbanyak, yakni sebanyak 19. Bahkan dalam temuan ICW itu, 33 dari 35 pimpinan pejabat di Kemterian BUMN, merangkap jabatan.
Narasi yang beredar:
Staf Menteri BUMN Arya Sinulingga menegaskan direksi perusahaan pelat merah bisa merangkap jabatan sebagai dewan komisaris, asalkan untuk anak usaha.
Aktor penyebar narasi:
- Staf Kementerian
Bantahan/pemeriksaan fakta:
Dalam laporan penelitian ICW berjudul Rangkap Jabatan Komisaris dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara pada 2023, terdapat 7 implikasi buruk yang bisa muncul dari praktik rangkap jabatan anggota komisaris dan dewan pengawas BUMN.
Pertama, ICW menyebut bahwa rangkap jabatan bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.
Pasal 17 huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU 25/2009), secara spesifik menyebutkan bahwa pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.
Kedua, rangkap jabatan merupakan pelanggaran etika sebagaimana dituangkan dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Pada bagian Etika Politik dan Pemerintahan, disampaikan bahwa tujuan penegakan etika untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, dan menjunjung tinggi kepentingan publik.
Ketiga, ICW melihat bahwa rangkap jabatan berpotensi menghasilkan situasi diskriminatif antar birokrat, khususnya dalam kaitan dengan pendapatan ganda.
Implikasi itu bisa muncul lantaran birokrat yang menempati posisi sebagai komisaris dan dewan pengawas BUMN, mendapatkan 2 penghasilan secara berkala—baik dari perusahaan pelat merah dan instansi negara tempat ia berasal.
Keempat, ICW menganggap bahwa rangkap jabatan berpotensi menyebabkan terganggunya profesionalitas pejabat pelaksana.
Apabila terdapt 2 institusi yang memiliki tujuan yang berbanding terbalik—seperti BUMN sebagai entitas yang cenderung berorientasi mencari keuntungan, dengan kementerian atau lembaga negara yang berfungsi sentral untuk memberikan pelayanan publik—maka bertindak demi kepentingan entitas yang satu dapat memengaruhi entitas lainnya.
Kelima, ICW menyebut bahwa rangkap jabatan bakal menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara regulator (Kementerian BUMN) dengan peserta bisnis.
ICW mencontohkan apabila ada seorang pejabat Kementerian BUMN yang menduduki posisi sebagai komisaris atau dewan pengawas di BUMN. Potensi yang dapat terjadi, pejabat Kementerian BUMN itu akan membuat kebijakan yang berpotensi hanya menguntungkan entitas bisnis BUMN yang ia pimpin, baik sebagai komisaris atau dewan pengawas.
Keenam, ICW menganggap rangkap jabatan dapat mengganggu penerapan prinsip GCG. Setidaknya ada tiga nilai dari GCG yang dilanggar dengan tetap dibiarkannya rangkap jabatan itu: di antaranya yakni pertanggungjawaban, keterbukaan, dan kemandirian.
Ketujuh, ICW menyimpulkan bahwa rangkap jabatan berpotensi meruntuhkan tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan BUMN itu sendiri. Kritik menyangkut rangkap jabatan komisaris dan dewan pengawas BUMN tak dijawab dengan perbaikan regulasi yang mumpuni dari pemerintah.
Selain ICW, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)—organisasi yang bergerak dalam bidang kontrol sosial untuk transparansi proses-proses penganggaran negara—juga melakukan penelitian tentang rangkap jabatan anggota komisaris dan dewan pengawas BUMN ini.
Menurut FITRA, rangkap jabatan anggota komisaris dan dewan pengawas BUMN telah melanggar Pasal 1 ayat (14) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.”
Selain telah melanggar Pasal 1 ayat (14) UU No. 30 Tahun 2014, FITRA juga menyebut bahwa mereka telah melanggar Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (PerMenpan RB) No 12 Tahun 2016, tentang Pedoman Umum Penanganan Konflik Kepentingan.
Di aturan disebutkan bahwa “situasi di mana Penyelenggara negara memiliki atau patut diduga memiliki kepentingan pribadi terhadap setiap penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi kualitas keputusan dan/atau tindakannya.”
Solusi/pencegahan:
- Jika ada pernyataan yang muncul kembali terkait pembolehan rangkap jabatan komisaris dan dewan pengawas BUMN, publik berhak menggugat pernyataan itu.
- Pelajari aturan atau undang-undang yang melarang komisaris dan dewan pengawas BUMN merangkap jabatan.