[Prebunking] Petaka Baru Bernama Kendaraan Listrik

Penulis: Fajar Nugraha
Editor: Aditya Widya Putri
[Prebunking] Petaka Baru Bernama Kendaraan Listrik

9 Maret 2024


Kenapa ini penting?

Kendaraan listrik dianggap sebagai solusi untuk mengurangi emisi karbon. Namun di balik itu, rantai pembuatan kendaraan listrik justru membuka tabir baru kejahatan lingkungan. Sejumlah perusahaan yang menopang pembuatan kendaraan listrik, telah memiskinkan dan mencerabut hajat hidup warga lokal. Polusi berbahaya juga muncul dari pemakaian massal kendaraan listrik.

Latar belakang:

Kendaraan listrik tengah jadi primadona di Indonesia. Berkat berbagai klaimnya yang menjadi solusi pengurangan emisi karbon, penjualan kendaraan listrik pun kian melesat.

Dari data Wholesales 2023 yang dirilis oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo)—organisasi pengembangan industri otomotif—volume penjualan wholesale mobil listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV) di Indonesia, mencapai sekitar 3.200 unit pada Desember 2023.

Secara kumulatif, selama periode Januari hingga Desember 2023, penjualan wholesale mobil listrik BEV di Indonesia telah mencapai 17.060 unit. Pencapaian itu lebih tinggi 65,2% dibanding periode Januari sampai Desember 2022 yang hanya sekitar 10.330 ribu unit penjualan.

Berbagai pihak juga secara masif telah banyak mengampanyekan bahwa kendaraan listrik—entah itu motor atau mobil—menjadi pilihan terbaik untuk mengurangi polusi atau emisi karbon. Kendaraan listrik dianggap sejumlah pihak mulai dari pabrikan otomotif hingga lembaga pemerintahan, lebih ramah lingkungan ketimbang kendaran berbahan bakar fosil.

Di balik berbagai klaim itu, rantai produksi kendaraan listrik tak terlepas dari sejumlah rekam jejak kejahatan lingkungan hingga kejahatan kemanusiaan.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang merupakan organisasi independen yang fokus terhadap masalah-masalah HAM, gender, lingkungan hidup, masyarakat adat, dan isu-isu keadilan sosial dalam industri pertambangan serta migas, telah menelusuri rerantai pembuatan kendaraan listrik.

JATAM menelusuri salah satu raksasa konglomerasi mineral dan batubara (minerba) bernama Harita Group. Induk usaha ini menaungi berbagai perusahaan ekstraktif yang punya andil dalam sejumlah produksi kendaraan listrik di Indonesia. Terutama perusahaan tambang nikel yang menopang produksi baterai untuk kendaraan listrik.

Dalam cek fakta kali ini, Deduktif bakal merinci berbagai kejahatan lingkungan hingga kejahatan kemanusiaan, yang dilakukan oleh industri ekstraktif di pusaran produksi kendaraan listrik.

Selain itu, Deduktif menyajikan laporan penelitian tentang satu potensi polusi berbahaya lain yang timbul dari pemakaian massal kendaraan listrik. 
Bahkan Deduktif juga menelusuri pihak-pihak yang selama ini menyebarkan narasi atau disinformasi terkait kendaraan listrik yang dianggap ramah lingkungan.

Disinformasi atau narasi yang beredar:

  • Dalam sebuah siaran pers, Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengklaim bahwa kendaraan listrik bisa menurunkan emisi karbon.

  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis siaran pers terkait kendaraan listrik yang dianggap ramah lingkungan.

  • Dinas Perhubungan (Dishub) Aceh merilis publikasi tentang kendaraan listrik. Dishub Aceh menganggap kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi gas buang.

  • Nissan, salah satu konglomerasi otomotif, menayangkan siaran pers tentang kelebihan mobil listrik yang dianggap ramah lingkungan.

  • Melalui siaran pers yang dipublikasi media terbitan bisnis Kontan, salah satu jenama kendaraan listrik bernama Electrum memperkenalkan motor listrik yang diklaim ramah lingkungan.

Aktor yang menyebarkan disinformasi/narasi:

  • Kementerian/Lembaga
  • Dinas Pemerintahan Daerah
  • Perusahaan pembuat kendaraan listrik
  • Badan Usaha Milik Negara
  • Induk perusahaan otomotif

Penelitian/bantahan:

Dalam laporan investigasi yang dirilis JATAM bertajuk Jalan Kotor Kendaraan Listrik: Jejak Kejahatan Lingkungan dan Kemanusiaan di Balik Gurita Bisnis Harita Group pada 2023 silam, terdapat beberapa temuan dampak kerusakan lingkungan dan sosial, akibat operasi perusahaan di rantai produksi kendaraan listrik.

Menurut laporan JATAM, industri ekstraktif seperti pertambangan nikel menuntut pembukaan lahan skala besar. Tak pelak perusahaan-perusahaan itu mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem. Yang lebih parah, industri ekstraktif di rantai produksi kendaraan listrik, kerap membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal.

Berikut rincian kejahatan lingkungan dan kemanusiaan industri ekstraktif yang ditemukan JATAM, di mana perusahaan itu ada di rantai produksi pembuatan kendaraan listrik:

  • Tanah dirampas, warga diintimidasi: Lahan-lahan milik warga di Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, digusur paksa untuk operasi penambangan dan smelter nikel, serta infrastruktur penunjang lainnya oleh perusahaan nikel PT Trimegah Bangun Persada (TBP), milik konglomerasi Harita Group.
  • Melenyapkan sumber air: Hampir seluruh sumber air warga di Desa Kawasi telah tercemar akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan. Sebelum tambang masuk ke wilayah mereka, warga bisa mendapatkan air secara gratis. Kini, warga mesti mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih.
  • Meracuni laut: Laut tempat nelayan Pulau Obi mencari ikan, turut tercemar oleh operasi industri ekstraktif. Limbah-limbah yang dibuang ke sungai-sungai dan mengalir ke laut, menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan. Ekosistem dan ikan-ikan tercemar logam berat.
  • Menghirup udara kotor: PLTU batubara di kawasan Harita Nickel yang menjadi penopang industri nikel, telah mencemari udara Pulau Obi. Banyak warga di Desa Kawasi menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). 
  • Mengusir warga: Setelah tanahnya dirampas, sumber airnya dilenyapkan, lautnya diracuni, dan udaranya dicemari, warga Desa Kawasi akan direlokasi ke Eco Village (perumahan) milik Harita Nickel. Yang lebih ironis, menurut laporan Betahita, pembangunan perumahan itu memakai material batako dari bahan slag, yang merupakan ampas bijih nikel. Mengacu pada penelitian perusahaan pengelolaan limbah Universal Eco, slag merupakan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Slag mengandung senyawa kimia berbahaya, yang berakibat pada kerusakan organ seperti hati, ginjal, dan sistem saraf. Perlu pengelolaan lebih lanjut apabila slag ingin akan dijadikan material bangunan.
  • Terancam limbah tailing: Warga di Desa Kawasi juga berhadapan dengan ancaman limbah tailing yang dibuang oleh perusahaan ke kawasan hutan. Tailing adalah bahan yang tertinggal setelah pemisahan fraksi bernilai bijih besi. Dalam pertambangan batu bara dan pasir minyak, kata tailing merujuk secara spesifik ke limbah murni yang tertinggal di air. Dalam laporan penelitian Down to Earth—organisasi independen yang fokus pada keadilan iklim dan penghidupan yang berkelanjutan—membuang limbah tailing ke hutan maupun laut sama bahayanya. Beberapa dampaknya mulai dari kerusakan ekosistem hutan, hingga meranggasnya tetumbuhan.

Selain kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang diakibatkan operasi industri ekstraktif, kendaraan listrik juga tak terlepas dari emisi dan menjadi sumber lanjutan polusi. Hal itu termaktub dalam laporan penelitian yang dirilis oleh tim peneliti Imperial College London pada 2023 silam.

Menurut laporan penelitian itu, kendaraan listrik cenderung lebih berat dan hal itu mampu meningkatkan keausan ban. Dari keausan ban ini, muncul partikel beracun yang mampu mencemari lingkungan dan berdampak pada kesehatan.

Zhengchu Tan selaku peneliti Departemen Teknik Mesin Imperial College London, mengatakan dalam laporan riset itu, bahwa partikel keausan ban mencemari lingkungan, udara yang kita hirup, limpasan air dari jalan, dan memiliki efek gabungan pada saluran air dan pertanian.

Lebih lanjut menurut Zhengchu, jika pada akhirnya semua kendaraan bertenaga listrik yang bukan berbahan bakar fosil lagi, ancaman polusi berbahaya justru datang dari keausan ban ini.

Menurut perhitungan tim peneliti Imperial College London , 6 juta ton partikel dari keausan ban dilepaskan secara global setiap tahun. Partikel-partikel ini mengandung berbagai bahan kimia beracun, termasuk hidrokarbon poliaromatik, benzotiazol, isoprena, dan logam berat seperti seng dan timah.

Partikel dari keausan ban kendaraan listrik, menjadi sumber terbesar mikroplastik di sungai dan lautan. Para peneliti Imperial College London juga menilai bahwa keausan ban di kota-kota, dapat menimbulkan risiko lingkungan hingga empat kali lipat lebih besar daripada mikroplastik lainnya.

Solusi/pencegahan:

  • Jangan percaya pada pihak yang menganggap bahwa kendaraan listrik adalah solusi kendaraan ramah lingkungan. Bisa jadi publikasi mereka merupakan advertorial dari perusahaan pembuat kendaraan listrik.
  • Lebih kritis melihat potensi kerusakan lingkungan akibat penggunaan masif kendaraan listrik. Bisa dilakukan dengan mencari riset atau penelitian terkait bahaya yang ditimbulkan oleh kendaraan listrik.