[Prebunking] Tak Semua Obat Herbal Aman dan Menyehatkan

Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Aditya Widya Putri
[Prebunking] Tak Semua Obat Herbal Aman dan Menyehatkan

12 Februari 2024


Kenapa ini Penting?

Promosi beragam herbal kesehatan seolah tak henti meramaikan lini masa media sosial. Dari kurma, madu, buah zuriat, sari lemon, hingga jus-jus buah detoks. Hal ini seakan-akan jadi anomali: ketika ilmu pengetahuan semakin maju dan teknologi semakin canggih, mengapa obat herbal tradisional malah kian marak?

Sebagian masyarakat menyakini bahwa mengonsumsi obat herbal lebih sehat ketimbang obat-obatan kimia yang diproduksi pabrik farmasi. Obat herbal, katanya, bahkan bisa dikonsumsi sesering mungkin.

Salah kaprah ini mengakibatkan efek serius pada kesehatan, misal derajat penyakit yang semakin parah akibat tata laksana klinis yang ditinggalkan, hingga kematian. 

Deduktif melakukan prebunking terhadap klaim aman obat herbal agar masyarakat lebih bijak menentukan pengobatan yang tepat untuk gejala sakit yang mereka alami. Dengan peningkatan pengetahuan tentang keamanan obat, kualitas hidup masyarakat bisa meningkat. 

Latar Belakang:

Belakangan tengah populer akun-akun kesehatan yang mempromosikan kiat hidup sehat ala nabi dan kepercayaan tertentu. Beberapa di antaranya dikelola oleh dokter yang mengklaim pro-herbal dan mengampanyekan jalan menuju sehat berdasar ajaran kitab dan sunah Rasul. Unggahan akun tersebut rata-rata berisikan amalan atau resep jejamuan.

Misal, pada akun Instagram @dr.zaidulakbar.resep, yang melampirkan ramuan untuk tuberkulosis (TBC). Unggahan pada Rabu, (20/3/2024) menyebut TB paru, usus, kelenjar, tulang, dan otak dapat diberi jamu dari campuran kunyit, temulawak, jahe merah, asam jawa, jeruk nipis peras, dan madu murni.
 

Di platform Facebook, hoaks pengobatan herbal lebih banyak bertebaran. Akun Tine Phiyania contohnya, ia sempat menyebut pengobatan batu ginjal cukup dengan meminum rebusan herbal dayak. Akun tersebut bahkan mengunggah beragam testimoni yang diklaim berasal dari para pengguna herbal dayak.

Pemerintah tak kalah jadi aktor penyebar hoaks soal herbal. Mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo pernah mengeluarkan pernyataan soal kalung bernama 'Anti Virus Corona Eucalyptus' yang dibuat oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian.

Ia mengklaim kalung tersebut dapat mematikan Corona. Kontak 15 menit bisa membunuh 42 persen Corona, kontak selama setengah jam, bisa membunuh 80 persen Corona. Kalung tersebut berisi herbal Eucalyptus, alias kayu putih.

Sejatinya obat-obatan herbal nusantara pernah menjadi solusi, setidaknya sampai akhir abad ke-19. Para dokter Eropa pun, saat itu sangat tertarik pada praktik pengobatan herbal penduduk pribumi.

Antusiasme mereka terhadap tumbuhan berkhasiat di Hindia Belanda baru berkurang sejak awal abad ke-20 karena dua alasan. Pertama, munculnya paradigma bakteriologi, yakni kerangka berpikir ilmu kedokteran yang meyakini kemunculan penyakit disebabkan patogen spesifik. Praktik terapeutik akhirnya lebih banyak difokuskan untuk mencari patogen tersebut di laboratorium ketimbang alam.

Kedua, dalam kerangka kolonialisme, munculnya paradigma itu juga merupakan wujud dominasi sains yang dibawa orang-orang Eropa. Suatu penyakit akhirnya bisa didefinisikan secara lebih spesifik, dan pengobatannya dapat dilakukan dengan jelas. 

Tapi era kejayaan pengobatan herbal belum berakhir.

Herbal malah kembali dilirik oleh masyarakat dan ilmu kesehatan modern. Amerika Serikat sebagai negara yang maju sains dan teknologi kesehatannya dapat menghabiskan USD591 juta untuk menjajal pengobatan herbal (2000). Jumlah orang yang menggunakan terapi komplementer, termasuk obat herbal, pijat, vitamin, dan homeopati di AS juga melonjak sembilan persen selama tujuh tahun (1990-1997).

“Terdapat 75 dari 117 sekolah kedokteran Amerika menawarkan kursus pengobatan alternatif,” ungkap NIH's National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM), ditulis ulang oleh WebMD (2001).

Misinformasi yang beredar:

Banyak orang percaya hal-hal yang berbau alam atau herbal lebih sehat ketimbang sintetis. Mereka menganggap terapi atau obat-obatan herbal tidak bersifat kimiawi; minim, atau bahkan tanpa, efek samping; serta lebih manjur dibanding obat kimia.

National Center for Complementary and Integrative Health (NCCIH) mengungkapkan preferensi tersebut muncul dengan melibatkan serangkaian ide, termasuk keyakinan bahwa alam itu murni dan lebih unggul daripada produk buatan manusia. Kepercayaan ini yang kemudian memengaruhi keputusan kesehatan menjadi bias terhadap produk herbal.

Aktor penyebar misinformasi klaim unggul dan aman produk herbal:

  • Pemerintah
  • Akun influencer
  • Akun micro influencer

Fakta/Riset/Bantahan:

Tidak semua produk herbal terbukti efektif. Malah setelah diteliti beberapa herbal menunjukkan nihil manfaat. 

Masih berdasar laporan NCCIH, herbal seperti Echinacea tidak bisa melawan flu, Ginkgo faktanya tidak membantu mencegah atau memperlambat demensia, St John Wort juga tidak menyembuhkan depresi berat.

Bahkan beberapa yang lain punya efek samping serius. Contohnya tanaman kava dari pulau Pasifik Selatan yang dipercaya bisa meredakan cemas ternyata punya efek samping merusak liver. Lalu Ephedra, tanaman sejenis semak dari Asia Tengah dan Mongolia dengan khasiat mengatasi pilek dan demam dikaitkan dengan masalah jantung serta risiko kematian.

Pada kasus unggahan akun Instagram @dr.zaidulakbar.resep, yang melampirkan ramuan untuk tuberkulosis (TBC), faktanya, TBC hanya bisa disembuhkan dengan meminum obat TBC selama minimal 6 bulan.

Sementara pada kasus herbal dayak, tidak jelas tanaman apa yang dijadikan sebagai ramuan, sehingga perlu dicurigai keamanannya. Kemudian kalung penangkal corona yang berisi minyak kayu putih terbukti tak efektif melawan Covid-19, virus corona baru bisa ditangkal dengan vaksin.

Pada 2004 The Food and Drug Administration (FDA) juga sudah melarang penjualan suplemen makanan yang mengandung alkaloid efedrin (alkaloid turunan dari Ephedra) untuk alasan keamanan. Selama ini kata “kimia” memang diidentikan dengan racun, sintetis, dan harus dihindari, sehingga masyarakat seolah anti dengan hal-hal berbau kimiawi.

Padahal bahan herbal—bahkan udara dan manusia sendiri pun—tersusun dari senyawa kimia. Alam juga punya bahan kimia beracun layaknya merkuri, racun ular, arsenik, dan risin dari biji jarak. Beberapa bahan kimia alam seperti zat besi dan oksigen yang diperlukan untuk hidup pada dosis tinggi pun bisa beracun bahkan menyebabkan kematian.

“Obat herbal juga punya dosis dan batasan,” kata Michael Cirigliano, spesialis penyakit dalam dan asisten profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Pennsylvania, dilansir dari WebMD. Cirigliano termasuk dokter yang mempelajari dan memberikan kuliah ilmu kesehatan herbal.

Maka obat-obatan herbal sangat mungkin memiliki reaksi efek samping. Terlebih jika digunakan berbarengan dengan obat sintetis atau herbal lainnya.

Solusi/pencegahan:

  • Pemakaian herbal sebaiknya didahului konsultasi dengan tenaga kesehatan profesional. Bukan asal konsumsi seperti yang selama ini lazim dilakukan masyarakat, apalagi berdasarkan testimoni dari media sosial.
  • Selalu cek kembali klaim super tentang keamanan dan khasiat obat herbal, bandingkan dengan tata laksana klinis dari ilmu kedokteran.