Dari Mana Pendanaan Startup Paylater?

Dari Mana Pendanaan Startup Paylater?

Di balik geliat pertumbuhan paylater, terdapat pendanaan triliunan rupiah kepada startup teknologi finansial (tekfin) penyedia layanan tersebut. Mereka mendapat pendanaan dari berbagai institusi finansial dalam dan luar negeri dengan pelbagai bentuk. 

Kredivo, berdasarkan Annual Report 2021 Daily Social, mendapat total pendanaan mencapai Rp 3,5 triliun sepanjang 2021. Angka ini setara 5,5 persen dari total pendanaan keseluruhan startup dalam negeri pada tahun lalu yang mencapai Rp 48,2 triliun. 

Berkat pendanaan ini pula, Kredivo menempati urutan ketiga startup dengan pendanaan terbesar sepanjang tahun lalu. Kredivo hanya kalah dari GoTo dan Ajaib yang masing-masing mendapat pendanaan Rp 18,5 triliun dan Rp 3,5 triliun. Kredivo pun kini menyandang status unicorn baru di Indonesia. 

Kredivo dapat dikatakan sebagai pionir penyedia paylater di negeri ini. Dalam catatan kami, perusahaan ini berdiri pada 2015 di bawah PT FinAccel Teknologi Indonesia. Sementara layanan paylater mereka berada di bawah PT FinAccel Finance Indonesia yang berlisensi multifinance dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

VP Marketing & Communicatin Kredivo, Indina Andamari kepada kami pada 30 Maret 2022 lalu mengungkap pendanaan pada 2021 antara lain berbentuk lini kredit atau debt funding dari Victory Park Capital Advisors LLC, Standard Chartered Bank Indonesia, dan Bank DBS Indonesia. Pendanaan lini kredit, menurutnya, “berupa modal untuk menyalurkan kredit kepada pengguna Kredivo.”

Victory Park Capital Advisors LLC (VPC), menurut catatan kami berdasarkan pengumuman perusahaan ke publik, memberi pendanaan lini kredit kepada Kredivo November 2021 lalu sebesar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun. Pendanaan ini adalah transaksi kedua yang dilakukan VPC. Total perusahaan investasi asal Amerika Serikat tersebut sudah menyuntik dana sebesar US$ 200 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun. 

Dalam catatan kami pula, suntikan dana dari Bank DBS Indonesia sebesar Rp 1 triliun yang diberikan ke Kredivo pada Oktober 2021. Kami tak mengetahui jumlah pendanaan dari Standard Chartered Bank Indonesia. Indina pun tak mengungkap angkanya kepada kami. 

Jenis pendanaan lain yang diungkap Indina, adalah pendanaan ekuitas (equity funding) seri C yang dipimpin Asia Growth Fund–joint venture antara Mirae Asset dan Naver–dan Square Peg. Kredivo juga mendapatkan pendanaan sejenis dari Singtel Innov8, Telkomsel Indonesia (TMI), Cathay Innovation, Kejora Intervest, Mirae Asset Securities, Reinventure, dan DST Partners. Seluruhnya pada 2019. 

Dalam catatan kami, total pendanaan ekuitas seri C yang diterima Kredivo sebesar US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,1 triliun. Pendanaan ekuitas adalah peningkatan modal perusahaan dengan menjual saham. Hal ini selaras dengan pernyatan Indina bahwa pendanaan “sebagai modal operasional dan pengembangan perusahaan.” 

Catatan pendanaan lain kepada Kredivo dalam bentuk Private Investment in Public Equity (PIPE) sebesar US$ 125 juta pada September 2021 dari MDI Ventures, Cathay Innovation, dan Endeavour Catalyst. PIPE adalah jenis pendanaan privat yang dilakukan sebelum sebuah perusahaan melantai di bursa. Kredivo sempat mengumumkan berencana melantai di bursa AS pada Kuartal-I 2022 lalu. 

Startup penyedia layanan paylater lain yang mendapat pendanaan jumbo adalah Akulaku. Pada 2019 lalu, mengutip Paylater Ecosystem Report 2021 DSInnovate, Akulaku mendapat pendanaan ekuitas seri D dari Ant Group, anak perusahaan Alibaba, sebesar US$ 89 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun. 

Dalam laporan tersebut, tercatat pula Akulaku mendapat pendanaan dari Sequoia, Qiming Ventures, dan January Capital. Namun, tak disebutkan jumlah pendanaan yang diterima Akulaku dari seluruh investor tersebut. 

Akulaku dalam catatan kami juga mendapatkan sejumlah pendanaan lini kredit. Pada tahun lalu, perusahaan ini mendapat dana sebesar US$ 125 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun dari Silverhorn Group yang  sudah menjadi rekanan pembiayaannya sejak 2018. 

Pada Februari 2022 lalu, Akulaku juga tercatat mendapat pendanaan lini kredit dari Siam Commercial Bank asal Thailand sebesar Rp 1,4 triliun. Lalu, pada Maret 2022 lalu, startup yang berada di bawah PT Akulaku Silvrr Indonesia ini mendapat pendanaan dari Lend East sebesar Rp 143 miliar. 

“Dengan adanya pendanaan tambahan ini, akan memungkinkan kami untuk terus memenuhi kebutuhan underbanked di seluruh Asia Tenggara,” kata CEO Akulaku William Li terkait pendanaan dari Lend East dalam keterangan resminya pada 30 Maret 2022. 

Akulaku memang telah mengembangkan pasar ke regional. Startup ini tercatat telah melayani nasabah di Filipina, Vietnam, dan Malaysia untuk paylater dan pembiayaan konsumen. 

Indodana yang merupakan bagian dari holding Cermati Group, tercatat pula mendapat pendanaan seri C pada Maret 2021 dari MDI Ventures. Nominal pendanaan ini dirahasiakan. Pendanaan seri C biasanya di atas US$ 30 juta atau setara Rp 430 miliar. Dalam putaran pendanaan, startup mendapat seri C bila sudah dianggap memiliki model dan posisi bisnis matang. 

Pendanaan lain yang diterima Indondana dalam Paylater Ecosystem Report 2021 DSInnovate,  berasal dari Central Capital Ventura dan GDP Venture. Keduanya adalah masih bagian dari Djarum Group. Central Capital Ventura anak perusahaan BCA yang pada 2018 juga telah mendanai seri B untuk Indondana. GDP anak perusahaan Djarum.

Pendanaan lain yang tercatat kepada Indodana melalui skema channeling atau penerusan kredit. Salah duanya dari PT Bank MNC Internasional pada Oktober 2021 dan Bank Jago pada Maret 2022 lalu. 

Lalu, Vospay mendapat pendanaan seri A sebesar US$ 15 juta atau setara Rp 215 miliar pada September 2019 dari Skystar Capital. Mengutip Crunchbase, Vospay juga mendapat pendanaan seri A adalah Heyokha Brothers (Hongkong), Indies Capital Partner (Singapura), dan Indonusa Dwitama (Indonesia). Seluruhnya pada 2020. Namun, tak disebutkan nominal pendanaan. 

Vospay tercatat berdiri pada 2017 dan memiliki lisensi OJK di bawah PT Vostropay Paramarta Nusantara.

Startup penyedia paylater lain yang gencar mendapat pendanaan adalah Julo. Perusahaan ini berdiri pada 2014 dan berlisensi OJK di bawah PT Julo Teknologi Finansial. Merujuk Crunchbase, startup ini tercatat mendapat pendanaan lini kredit dari Credit Saison (Jepang) sebesar US$ 50 juta atau sekitar Rp 717 miliar pada 13 April 2022. Pada saat yang sama, Credit Saison juga memberi dana corporate round sebesar Rp 430 miliar untuk startup ini. 

Investasi lain yang diterima Julo berupa pendanaan seri B setotal US$ 60 juta atau sekitar Rp 861 miliar, di antaranya dari Credit Saison, Gobi Partner (Malaysia), Quona Capital (AS), AC Ventures (Indonesia), Central Capital Ventura (Indonesia), Saratoga Investment Corp (AS), dan PT Surya Nuansa Stories. 

Pada September 2019, Julo mendapat pendanaan seri A setotal US$ 10 juta atau sekitar Rp 143 miliar antara lain dari: East Ventures (Indonesia), Gobi Partners, Quona Capital, Convergence Ventures (Indonesia), dan Skystar Capital (Indonesia). 

Pendanaan seri A setotal US$ 5 juta atau sekitar Rp 71 miliar juga diterima Julo pada Mei 2018, antara lain dari: East Ventures, Gobi Partners, Convergence Ventures, Skystar Capital, dan Central Capital Ventura. 


 

Potensi Raup Pendanaan Lebih Banyak

Startup paylater di Indonesia berpotensi meraup pendanaan lebih banyak ke depannya, mengingat pasar yang terus berkembang. Sasaran utama paylater adalah masyarakat underbanked dan unbanked. Kemenkeu memperkirakan jumlah masyarakat unbanked di Indonesia mencapai 80 juta orang. 

Indeks inklusi keuangan Indonesia hanya 48,9 persen menurut Global Findex Database Bank Dunia pada 2017. Data ini  menunjukkan sebagian besar penduduk dewasa masih terkendala mengakses produk dan layanan keuangan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, sebuah hal yang sangat mungkin dijawab dengan kemudahan akses paylater. 

Kredivo misalnya, saat ini memiliki hampir 5 juta pengguna aktif di Indonesia, berdasarkan data internalnya. Angka ini tumbuh hampir dua kali lipat dalam sepuluh bulan terakhir. Rata-rata pengguna pun bertransaksi 25 kali per tahun. 

“Hal ini menunjukkan bagaimana Kredivo memiliki engagement rate yang tinggi untuk para penggunanya,” kata VP Marketing & Communication Indina Andamari kepada kami pada 30 Maret 2022. 

Akulaku yang juga mendapat pendanaan jumbo, mengklaim telah menyalurkan kredit lebih dari US$ 2,2 miliar pada 2021 ke lebih 6 juta penggunanya di Indonesia, Vietnam, Malaysia, dan Filipina

Mengutip Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021,dari  proyeksi nilai pasar atau gross merchandise value (GMV) ecommerce yang bakal menyentuh US$ 8,5 miliar pada 2028, akan mendorong nilai pasar paylater 76,7% per tahunnya. 

Analisis Google, Temasek, Bain & Company dalam laporan e-Conomy Sea 2021 pun menyebut 30% gerai digital di Asia Tenggara akan mengadopsi paylater dalam waktu dekat, khususnya di Indonesia. Laporan tersebut pun mencatat tren pencarian konsumen terkait paylater meningkat 16 kali di Indonesia. 

Regulasi juga sudah memungkinkan perusahaan pembiayaan mendapat beragam jenis pendanaan, sebagaimana dalam POJK Nomor 35 tahun 2018. Bahkan, OJK pada 2020 lalu sempat berencana mempermudah penerbitan obligasi perusahaan pembiayaan–lisensi semua startup paylater. Kemudahan itu berupa pemangkasan pengajuan dari 6 bulan menjadi 2 bulan.



 

Selain itu, pendanaan startup paylater bisa terus bertambah seiring kian seriusnya perbankan konvensional dan digital ke ranah ini. Hal ini sebagaimana langkah Bank DBS bekerja sama dengan Kredivo. Lalu, kerja sama antara Bank Jago dengan Indondana. 

Sekjen Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO), Eddi Danusaputro saat kami hubungi pada 29 Maret 2022 lalu berpendapat, bukan hanya model bisnis dan peluang pasar yang menarik investor, tapi juga peluang mereka untuk exit. 

Istilah exit berarti langkah startup untuk keluar dari bisnis. Exit menjadi ukuran kesuksesan startup. Ada dua macam strategi exit yang biasa dilakukan, yakni penawaran publik (IPO) dan Merger & Acquisition (M&A).

Dana besar yang didapat Kredivo dalam bentuk PIPE menunjukkan minat investor ketika perusahaan mengumumkan akan IPO. Melalui induknya, Kredivo juga telah mengakuisisi PT Bank Bisnis Internasional Tbk (BBSI) dan memiliki 24 persen saham. Mengutip Fintech Report 2021 dari DSInnovate, langkah ini adalah strategi Kredivo menjadi yang terdepan dalam mempersembahkan neobanks. 

 

Risiko

Ada peluang, tentu saja ada risiko. Pada bisnis paylater, risiko terletak pada tingkat kredit bermasalah atau non-performing financing (NPF). Sampai sejauh ini, belum ada startup paylater yang mempublikasikan tingkat NPF pastinya. 

VP Marketing & Communication Kredivo, Indina Andamari pun ketika kami tanya terkait tingkat kredit macet tak menjawabnya dengan pasti. Ia hanya berkata, “di bawah 5%.” Kendatipun, ia memastikan perusahaannya memiliki model risiko mengatasi gagal bayar yang didukung teknologi AI dan machine learning.  

OJK mencatat NPF perusahaan pembiayaan sebesar 3,25% per Februari 2022. Angka ini membaik dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang mencapai 3,93%. Meski demikian, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno menilai potensi gagal bayar konsumen tetap tinggi pada platform paylater. 

Suwandi menilai tingkat NPF sebetulnya tidak mencerminkan keseluruhan kelancaran kredit. “Kita kan gak tahu yang write off berapa,” kata Suwandi saat kami hubungi pada 1 April 2022. 

Tingginya tingkat gagal bayar bakal berpengaruh kepada pembalikan dana kepada investor. Begitu juga startup paylater bisa mengakibatkan financial distress atau penurunan kinerja keuangan perusahaan secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. 

Oleh karena itu, ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah mewanti startup paylater melakukan credit scoring dengan lebih cermat. “Jangan lebih mendahulukan pertumbuhan pengguna. Harus lebih selektif,” kata Piter saat dihubungi pada 29 Maret 2022 lalu.

Risiko lain adalah kegagalan IPO. Sejauh ini belum ada startup Indonesia yang sukses IPO. Bukalapak yang melantai di Indonesia pada Agustus 2021 lalu, nilai sahamnya justru anjlok. Pada Maret 2022 lalu, tercatat nilainya anjlok 70% persen dibanding saat awal IPO. 

Kredivo yang sedianya IPO di bursa Amerika Serikat (AS) pada kuartal I 2022 lalu, ternyata gagal melakukannya. Victoria Park Capitol Advisors LLC  (VPCB) sebagai mitra Kredivo dalam IPO ini, melalui keterangan resmi yang diunggah di laman Security Exchange Comission (SEC) AS menyatakan, kegagalan lantaran gejolak pasar yang di luar kuasa VPCB dan Kredivo.