“Debu Adalah Teman Kita”

TL;DR

  • Akibat hidup berdampingan dengan pabrik baja Krakatau Steel dan Krakatau Posco, masyarakat Ciwandan dan Citangkil, Cilegon, Banten kehilangan udara sehat.

  • Penyakit pernapasan dan kulit adalah kasus yang sering dilaporkan di area Ciwandan dan Citangkil.

  • Polusi di Ciwandan dan Citangkil belasan kali lipat lebih tinggi dari batas aman WHO.

  •  Pabrik baja di Indonesia belum melakukan dekarbonisasi yang signifikan karena masalah biaya yang tinggi.

Warna merah terang menyala disertai bunyi melengking terlihat pada alat pendeteksi udara yang kami bawa di Tegal Ratu, Ciwandan, Cilegon, Senin, (24/2/2025).

Lusi (46), bukan nama sebenarnya, nampak tak terkejut saat Deduktif memberitahu angka yang tertera pada layar alat mencapai 276 mikrogram/m³ untuk kategori PM 2.5, dan 352 mikrogram/m³ untuk kategori PM 10. Respons tergemapnya kontradiktif dengan air muka yang datar.

Nilai pada alat tersebut menandakan kualitas udara saat ini “Sangat Tidak Sehat”. 

“Ya memang sejak pabrik berdiri, kami jadi terbiasa dengan ini semua. Kalau musim kemarau apalagi, debu hitam selalu nempel di pakaian, lantai, dinding, rumah, dan jalan-jalan kami,” cerita Lusi ketika Deduktif bertandang ke rumahnya. 

Pabrik yang ia maksud adalah PT Krakatau Posco (KP), baja hasil kerjasama antara PT Krakatau Steel Tbk Indonesia (KRAS) dan Posco Korea yang mulai beroperasi pada 2013 lalu. Lusi bermukim sekitar tujuh kilometer dari PT KP, tepatnya di Desa Tegal Ratu, Ciwandan, Cilegon, Banten. Meski demikian, efek polusi yang ia alami tak main-main. 

Kualitas udara “Sangat Tidak Sehat” pada alat tadi mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Kategori ini artinya mutu udara dapat meningkatkan risiko kesehatan pada sejumlah segmen populasi terpapar.

Jika merujuk pada standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), udara di rumah Lusi sudah belasan kali lipat tingginya dibanding ambang batas aman. WHO menetapkan batas polusi PM 2.5 per hari adalah 15 mikrogram/m³, sementara PM 10 sebesar 45 mikrogram/m³. Efek PM 2.5 pada tubuh mengendap di permukaan dan paru-paru dalam. Sedangkan PM 10 mengendap di saluran udara yang lebih besar di paru-paru. Kedua polutan ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan inflamasi paru.

Saat debu hitam seperti arang halus datang, Lusi harus menyapu rumah sampai lebih tiga kali sehari. Situasinya tambah runyam ketika PT KP tengah melakukan aktivitas pembakaran gas (gas flaring), asap tebal mengepul tinggi ke langit-langit, terhirup warga di sekitar pabrik. Bahkan kepulannya bisa dilihat saat malam hari bersama pancaran cahaya berwarna jingga, persis refleksi api dalam tragedi kebakaran. 

“Asapnya hitam, suaranya bising, mirip pesawat di atas rumah kita ‘ngeeeng’. Mereka tak peduli, seolah kami tidak hidup di sini,” keluh Lusi. 

Debu-debu hitam-berkilat yang menyatu dengan air, udara, dan tanah-tanah warga juga membuat kulit mereka gatal, batuk, dan sesak napas tak berkesudahan. Bahkan air sebagai kebutuhan utama, tak layak lagi dikonsumsi. Sejak Lusi kecil, keluarganya selalu membeli air isi ulang seharga Rp6000 per galon untuk kebutuhannya. Ia menghabiskan 10 galon atau total seharga Rp60.000 per minggu.

“Air di sini sudah berkarat. Buat mandi juga sebetulnya enggak bisa.”

Kecamatan Ciwandan memiliki 6 (enam) kelurahan, salah satunya Tegal Ratu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, hanya 1 (satu) kelurahan yang masih menggunakan sumur bor atau pompa sebagai sumber air minum. Tapi sejak 2024 seluruh keluarga di Ciwandan tak lagi bisa memanfaatkan sumur bor, mereka beralih kepada air isi ulang sebagai sumber air minum (pdf, hlm. 79).

Setiap hari Lusi dan warga lain cuma berharap hujan datang untuk mengaburkan debu dan asap polusi PT KP. Namun hujan pun sering membikin mereka was-was. Ciwandan menjadi kecamatan paling terdampak banjir di Cilegon, dengan jumlah desa yang terkena bah sebanyak 5 (lima) dari 6 (enam) kelurahan (BPS, 2021). 

“Dua jam saja, banjirnya sudah segini,” Lusi melintangkan tangan sebatas lutut.

 

Berkawan dengan Penyakit

Dahulu, Ciwandan merupakan tanah penghidupan bagi warganya. Mereka mandiri pangan dengan bertani, berdagang, dan menjadi nelayan. Lusi masih ingat betul masa kecil yang dihabiskan dengan bermain di sawah milik kakek-neneknya. Ia berenang di kali dan mencari kepiting atau ikan di rawa.

Warga Ciwandan pun hidup dengan sejahtera. Bahkan saking mapannya, warga yang tak punya rumah diberi tanah untuk membangun hunian dan semua pembayaran pajak tanah masyarakat digratiskan. Namun ketika PT KRAS dan PT KP didirikan tepat di bibir pantai, para nelayan kehilangan pekerjaan; para petani tak bisa lagi “nandur”, dan banyak warga kehilangan tanahnya.

“Tadinya tidak ada perusahaan, kami adem ayem, sekarang begini kondisinya.”

Lusi menceritakan, sebagian tanah kakeknya juga dijual untuk lahan PT KRAS. Itulah awal mula penyesalan yang diwariskan turun-temurun kepada Lusi. Orang-orang tua di Tegal Ratu kini menderita sesak napas. Sialnya, tak ada kompensasi bagi mereka untuk memeriksakan kesehatan. Selama ini warga lebih banyak menerima bantuan sosial berupa renovasi rumah atau sekolah.

Jika digambarkan, rumah Lusi terkepung pabrik-pabrik besar. Di samping rumah ada pabrik gula PT Sentra Usahatama Jaya (SUJ) yang menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Di depan rumahnya, selain ada PT KP, berjajar pula perusahaan terigu PT Bungasari Flour Mills, PT Nutrindo Bogarasa (Mayora Group), dan pabrik pengolahan pipil jagung PT Tereos FKS Indonesia. Semuanya berada di Kawasan Industri Krakatau, Tegal Ratu, Ciwandan, Cilegon, Banten.

Pabrik-pabrik itulah yang menjadi biang keladi masalah kesehatan di Ciwandan. Memuntahkan debu, asap, bau menyengat, dan suara bising setiap hari.

“Mau pindah rumah juga bingung, sudah dari bayi di sini. Saudara tidak punya, tanah juga mahal,” sesal Lusi.

Data Puskesmas Ciwandan tahun 2023 (pdf, hlm.76) menguatkan kisah Lusi yang sering bolak-balik mengantar saudara sepuhnya berobat sesak napas. Tentu dengan upaya sendiri, menggunakan surat keterangan tidak mampu atau BPJS.

Kasus penyakit paling banyak di Kecamatan Ciwandan adalah infeksi akut lain pada saluran napas atas, jumlahnya hampir 27% dari total kasus di sana. Jika ditambah kasus nasofaringitis akut (radang pada saluran pernapasan bagian atas), jumlahnya meningkat jadi 39% dari total kasus penyakit di Ciwandan.

Deduktif lalu mendatangi Kepala Puskesmas Ciwandan, Arif Dharma Hartana untuk meminta penjelasan langsung terkait penyakit umum yang dialami warga. Ia membenarkan ISPA, batuk, pilek, dan penyakit pernapasan lain menjadi masalah yang banyak dikeluhkan warga. Tapi ia menolak menghubungkan dengan aktivitas pabrik di sekitar Ciwandan.

“Kalau mau spesifik ‘ini karena perusahaan X’ takut kena saya. Bukan ranah kami karena harus lewat pemeriksaan tambahan, misal ke laboratorium,” ujar Arif, Selasa, (25/2/2025).

Masyarakat Ciwandan bukan pasrah saja ketika mendapati tragedi kesehatan mengurangi masa hidup mereka. Berkali-kali mereka coba angkat suara. Pada 2024 lalu ratusan warga menggelar demonstrasi di depan PT KP untuk menagih hak-hak mereka akan udara yang sehat. Tapi jelas diabaikan.

“Jadi sudahlah, kami sekarang menganggap mungkin debu itu teman saya,” ungkap Lusi yang mulai menyerah.

 

Tak Ada Baja Hijau Hari Ini

PT KRAS membangun Kawasan Industri Krakatau Cilegon (KIEC) di atas daerah perbukitan dan laut Cilegon pada 1982. Di dalamnya kini berdiri 37 pabrik milik BUMN dan swasta yang memproduksi baja, bahan kimia, gas, pelumas, tepung, bergerak di bidang kontraktor mesin, teknologi, dll. Kawasan Industri I berada di Kecamatan Citangkil, sementara Kawasan Industri II berada di Kecamatan Ciwandan. 

Bustomi Daud (61) adalah saksi sejarah pembangunan KIEC yang merenggut hak-hak masyarakat setempat lebih dari setengah abad lamanya. Circa 1970, PT KRAS berdiri dengan membebaskan 19 desa. Desa Warnasari dan Kotasari jadi target pembebasan lahan utuh, semua warganya harus bedol desa. 

“Rumah saya dulu di Warnasari, sekarang sudah berubah jadi pabrik,” Bustomi memulai obrolan dengan Deduktif pada Senin, (24/2/2025). 

Keluarga besar Bustomi bekerja sebagai petani, mereka punya beberapa petak tanah garapan. PT KRAS membeli enam petak tanah keluarga Bustomi. Satu petak sawah punya luas sekitar 350 meter persegi, hampir sebesar lapangan futsal. Saat tanah mereka dijual ke PT KRAS, pembayarannya hanya dihargai dua petak tanah. 

Sebagian lahan milik keluarga Bustomi sudah dijual oleh PT KRAS kepada PT Lotte Chemical Indonesia (LCI). Bustomi kecil akhirnya ikut bedol desa bersama keluarga ke Rawa Arum pada 1976. Mereka bertahan sekitar sewindu di wilayah Ring I kawasan PT KRAS itu. Tapi akhirnya, mereka angkat kaki juga.

“Sejak itu tanaman kami mulai terdampak, pisang segala macam mati karena limbah kimia Lotte. Kena debu juga dari kawasan industri krakatau, efeknya sih batuk doang, itu juga karena terlalu dekat,” terang Bustomi.

Tak mau penderitaannya berlanjut hingga ke anak-cucu, Keluarga Bustomi memutuskan pindah ke Merak pada 1984. Namun hingga kini traumanya belum hilang. Akibat menuntut hak pembayaran atas tanah, Bustomi sempat dilaporkan PT KRAS ke Polda Banten dengan tuduhan mafia tanah dan hukuman 6 (enam) bulan penjara. Namun ia dinyatakan bebas murni oleh Pengadilan Negeri Serang dan dikuatkan oleh putusan banding di Mahkamah Agung.

“Pengalaman itu sangat menyedihkan, ditambah anak cucu jadi tak dapat hak tanah garapan.”

PT KRAS berdiri pada tanggal 23 Oktober 1971. Perusahaan ini dibangun sebagai kelanjutan Proyek Besi Baja Trikora inisiasi Presiden Sukarno. Pada tahun 2010, mereka menandatangani perjanjian dengan produsen baja Korea Posco untuk mendirikan Krakatau Posco sebagai perusahaan patungan, persentase kepemilikannya 30% untuk PT KRAS dan 70% untuk Posco.

Kedua perusahaan baja tersebut memimpin produksi baja di Indonesia. Bahkan baja milik mereka dipakai untuk menyokong beragam Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti pembangunan tol, kereta cepat, jembatan, smelter, termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN).  

“Proyek pemerintah itu sangat mendongkrak target produksi kita, karena jika bergantung pada perjanjian jual dari komoditas lain, targetnya tidak tercapai. Bahkan ekspor ke luar negeri tidak sampai 20%,” ungkap Fatkhur Rahman, Senior Engineer Energy Development Department PT KRAS kepada Deduktif, Senin, (10/3/2024).

Sayangnya, meski industri baja merupakan salah satu sektor penting di Indonesia. Proses pembuatan baja, terutama baja yang digunakan dalam konstruksi, membutuhkan banyak energi dan menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang besar. Total konsumsi energi pada industri baja mencapai 8% dari energi global, terbesar kedua setelah sektor kimia. 

Total emisi CO2 pada industri baja berkisar antara 7-9%, sekitar 25% dari total emisi industri. Jumlah CO2 dari industri baja ini melebihi residu CO2 yang dihasilkan oleh semua transportasi darat seluruh dunia. Fatkhur menyebut PT KRAS memiliki emisi tahunan mencapai 0.3 Gigaton CO2 (2022). Emisi tinggi pada industri baja bersumber dari proses produksi yang bergantung terhadap batubara, sumber energi fosil yang sangat merusak lingkungan.

Contoh nyatanya sudah dirasakan oleh Lusi, Bustomi, dan keluarga lain di kawasan industri Krakatau Steel, Cilegon, Banten. Ruang hidup mereka terenggut karena polusi udara, suara, air, dan tanah yang dihasilkan pabrik baja sekitar rumah. 

Jika benar komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca, salah satunya dengan mencapai puncak emisi pada 2035, maka dekarbonisasi (mengurangi emisi gas rumah kaca) industri baja adalah tugas utama. 

Uni Eropa sebagai salah satu pasar baja Indonesia pun akan memberlakukan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) pada 2026 mendatang. CBAM merupakan pengenaan tarif barang impor yang masuk ke negara-negara eropa berdasarkan emisi gas rumah kaca yang “menempel” pada komoditas tersebut. Aturan ini mensyaratkan negara pengekspor untuk menurunkan emisi karbon dalam produk mereka. 

“Untuk mempersiapkan CBAM, pemerintah masih memetakan sistem informasi yang  menampung data karbon industri. Kami mengacu pada kebijakan yang sama di beberapa negara seperti Taiwan dan Singapura,” kata Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian (Kemenperin),  Apit Pria Nugraha dalam acara Beyond Zero: Carbon Neutrality (CN) Mobility Event di Kemayoran Jakarta, Kamis, (13/2/2025).

Kebijakan single threshold (pemerataan ambang batas karbon) kedua negara tersebut tampaknya bakal diadopsi Indonesia, dengan batas emisi sebesar 25 ribu ton CO2 ekuivalen per tahun. Kebijakan mandatori pasar karbon ini nantinya akan berlaku bertahap, dengan empat sub sektor industri pertama yakni semen, pupuk, kertas dan pulp, serta besi baja.

"Empat sub sektor tadi emisi aktualnya di atas 25 ribu ton CO2 equivalent. Tahap selanjutnya (industri lain) akan dilakukan selama dua tahun berkelanjutan,”  tegas Apit.

Deduktif menemui peneliti dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), organisasi nonprofit yang mengadvokasi isu lingkungan dan energi di Indonesia, Timotius Rafael untuk mengetahui gambaran emisi di industri baja dan cara melakukan dekarbonisasi. Timo mengatakan produksi baja berbanding lurus dengan keluaran emisi karbonnya. 

Perkiraan emisi dari industri baja pada 2024 mencapai 21,6 juta ton CO2 dari total produksi 15,9 juta ton baja. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya (2023) sebesar 20,6 juta ton CO2 dari total produksi 15,2 juta ton baja.

“Untuk arah dekarbonisasi, perusahaan baja diarahkan beralih ke teknologi proses rendah karbon, kemudian secara bertahap menjadi teknologi berbasis listrik dan gas hidrogen,” ungkap Timotius. 

Ia menjelaskan, proses industri baja secara umum terbagi menjadi dua: Blast Furnace-Blast Oxygen Furnace (BF-BOF) dan electric arc furnace (EAF). Blast furnace memiliki emisi lebih tinggi karena prosesnya menggunakan batubara kokas (coke). Saat ini sekitar 80% industri di Indonesia masih menggunakan BF-BOF yang prosesnya menghasilkan 1,7 ton CO2/ton baja. Sementara EAF memang lebih rendah emisi meski menggunakan listrik yang tinggi. 

“Tapi penggunaan EAF tetap akan jadi masalah jika listriknya masih dari gas alam atau batubara, karena tetap memperpanjang energi fosil,” lanjutnya.

Dari penjelasan PT KRAS lewat Fatkhur, diketahui total konsumsi energi pabrik mereka selama setahun setara dengan konsumsi listrik Kota Denpasar, yakni sekitar 200-300 GWh (2024). Pabrik baja ini memiliki total konsumsi energi sebesar 749 teraJoule per tahun dengan 76% sumber energi dipasok gas alam dan 24% oleh listrik (2022). 

Dengan energi sebesar itu, PT KRAS per September 2024 mampu memproduksi 401,3 ribu ton baja. Sementara pada periode yang sama total produksi PT KP untuk produk plate dan Hot Rolled Coil (HRC) atau baja canai panas adalah 645 ribu ton.

Fatkhur mengakui meski PT KRAS sudah memasang PLTS atap, menghemat pemakaian pendingin udara, menggunakan atap skotlet, dan mereduksi kadar CO2 untuk dijual kembali ke industri pengolahan makanan, tetap sulit membuat ‘baja hijau’ sesuai spesifikasi Uni Eropa.

“Siapa yang mau beli produk baja yang secara fisik sama, tapi harganya mahal, produksinya mahal. Cuma bersih doang,” kata Fatkhur realistis.

Menurutnya pemerintah perlu memberikan bantuan kepada pelaku industri baja jika benar berkomitmen menurunkan emisi di sektor ini. “Perlu insentif atau reward ke industri yang sudah mampu menekan emisinya. Jangan semua dibebankan ke kita.”

Namun saat ditanya soal dampak lingkungan akibat pabrik belum melakukan dekarbonisasi, Fatkhur mengelak. Ia menyebut PT KRAS telah memiliki sistem terpadu untuk mengelola limbah dan pertanggungjawaban sosial (CSR). 

“Itu selalu kita laporkan ke kementerian terkait,” terang Fatkhur.

Ya, singkatnya, Lusi dan masyarakat Ciwandan lain bakal tetap menelan polusi bulat-bulat. Sebab langkah mengurangi emisi dari pabrik baja di sekitar mereka masih jalan di tempat.