TL;DR
Setahun sudah, Elizabeth Gomarga (22) bekerja sebagai manajer di salah satu restoran di Arkansas, Amerika Serikat setelah lulus dari University of Arkansas, Pulaski Technical College pada 2023 lalu. Kesempatan kerja yang berseliweran, gaji yang cukup baik, dan lingkungan kerja setara adalah alasannya memilih berkarier di negeri Paman Sam.
Pertimbangan lain, sulit mencari pekerjaan di Indonesia sesuai dengan jurusan yang ia tekuni di kampus, seni kuliner. Baginya, persaingan kerja di Indonesia juga sangat ketat—pencari kerja membludak tapi lapangan kerjanya sedikit.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2022 (PDF, hal 59) dan tahun 2023 (PDF, hal 60) menunjukkan ketidakseimbangan antara jumlah pencari kerja dengan lowongan pekerjaan yang tersedia.
Pada tahun 2022, terdapat sekitar 939 ribu pencari kerja, dengan lebih dari 72 ribu lowongan kerja, tetapi hanya sekitar 57 ribu orang yang mendapat penempatan kerja.
Lalu, di tahun 2023 perbandingan pencari kerja dengan jumlah penempatan kerja juga masih jomplang. Pencari kerja ada sekitar 551,7 ribu orang, sementara lowongan kerja yang tersedia hanya untuk 236,5 ribu orang. Namun, hanya 627 orang yang mendapat penempatan kerja.
Elizabeth juga merasa jengah melihat info loker di Indonesia yang masih mencantumkan banyak kriteria.
“Menurut aku kalau di US, skill-nya itu untuk pekerjaan yang dibutuhkan aja. Aku ngerasa kalau di Indonesia harus serba bisa, padahal itu udah nggak masuk ke ranah pekerjaannya,” kata Elizabeth kepada Deduktif, Jumat, (28/6/2024).
Sudah bukan rahasia umum, lowongan kerja di Indonesia sering memberi syarat bagi pelamar untuk memiliki banyak kemampuan. Selain itu, perekrut juga meminimalisir anggaran dengan memilih kandidat yang mau menerima upah lebih kecil.
Maka dari itu, setelah lulus dari program studi Associate of Applied Science in Culinary Arts, Elizabeth langsung mengikuti Optional Practical Training (OPT). OPT merupakan program pemerintah Amerika Serikat untuk mahasiswa internasional dengan visa F-1 (visa non-imigran untuk pelajar internasional).
Pemegang visa F-1 dapat bekerja di bidang sesuai jurusan mereka selama setahun. Saat masa OPT, Elizabeth menerima gaji bersih sebanyak USD3.000 atau sekitar Rp49 juta. Sebagai perbandingan, gaji manajer restoran di Indonesia hanya berkisar Rp7-Rp10 juta per bulan.
“Banyak orang bilang kehidupan di sini (Amerika Serikat) mahal. Tapi menurutku seimbang dengan pemasukan yang didapat. Bahkan, jadi pelayan aja bisa minimal dapat USD50 per hari. Kalau restorannya ramai pengunjung, pelayan bisa dapat uang tip sekitar USD100-200,” ungkap Elizabeth.
Ada juga cerita Rhenald Louwos (22) yang bekerja di Hong Kong sebagai pemrogram. Ia memutuskan bekerja di Hong Kong karena gaji sejumlah HKD10 ribu, setara dengan Rp20 juta per bulan. Di Indonesia, pekerjaan yang sama hanya bergaji sekitar Rp5,3-7,5 juta saja.
“Di negara sendiri, beban kerja tinggi, tapi gaji rendah. Kalau gaji di Hong Kong setara dengan beban kerja, badan remuk tapi bahagia ” kata Rhenald kepada Deduktif, Minggu, (30/6/2024).
Kisah serupa datang dari Ilmah Fadilah (22) yang memutuskan bekerja di Taiwan setelah tamat bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Ilmah bekerja sebagai perawat lansia. Ia menuturkan, gajinya berada di atas gaji minimum perawat lansia di Taiwan yang berkisar NTD20.000 atau setara dengan Rp9 juta per bulan. Sedangkan, gaji perawat lansia di Indonesia hanya berkisar Rp2-3 juta.
Ilmah tak hanya mendapatkan gaji pokok. Ia juga mendapatkan biaya makan dan tempat tinggal, cuti tahunan, sampai tunjangan kesehatan dari pemerintah Taiwan. Dari gaji tersebut, Ilmah bisa menyisihkan sebanyak Rp3 juta untuk ditabung.
Kisah-kisah Generasi Z yang mengadu nasib ke luar negeri turut direpresentasikan dalam pengamatan media sosial X bertajuk “Mengungkap Preferensi Karir Gen Z” oleh perusahaan riset digital Jangkara Data Lab (Jangkara) bersama Jakpat. Data media sosial X diambil pada periode 1 April-31 Mei 2024.
Sebanyak 74% responden Generasi Z (<16-29 tahun) tertarik untuk bekerja ke luar negeri. Bahkan 4% responden sudah mengajukan lamaran ke luar negeri. Hanya 20% responden yang mengaku tidak tertarik.
“Soal kerja di Luar Negeri (LN), aku rasa bukan Gen Z aja. Karena di Indonesia, usia kerja itu terbatas, sulit berharap gaji besar di usia yang udah nggak masuk kriteria, makanya lebih milih kerja ke LN,” kata Ilmah kepada Deduktif, Minggu (30/6/2024).
Sialnya, apa yang Ilmah katakan benar adanya. Diskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan atau dikenal dengan istilah ageism marak tercantum dalam loker-loker di Indonesia. Padahal, praktik ageism telah dilarang diberbagai negara. Contoh negara yang telah menghapus praktik ini adalah Amerika Serikat dan Australia.
Di Amerika Serikat, Age Discrimination in Employment Act 1967 (ADEA) melindungi pelamar kerja dan karyawan yang berusia 40 tahun ke atas dari diskriminasi. ADEA melarang diskriminasi berdasarkan usia dalam perekrutan, pemecatan, promosi, kompensasi, atau ketentuan, syarat, atau hak istimewa pekerjaan.
Sementara, Australia juga menerapkan kebijakan yang sama lewat The Age Discrimination Act 2004 (ADA). Undang-undang tersebut berlaku untuk pekerja muda maupun tua, serta warga Australia secara umum dari diskriminasi di ruang publik, termasuk pendidikan dan akses mendapatkan atau menggunakan layanan publik.
Bagi Ilmah, bekerja di luar negeri adalah pilihan tepat untuk memperbaiki hidup.
“Gelar sarjana di Indonesia, kadang cuma jadi admin, kerja nonstop, paling gaji kisaran Rp5 juta aja,” imbuh Ilmah.
Gaji memang jadi pertimbangan utama untuk memilih pekerjaan. Masih berdasar riset Jangkara dan Jakpat, ditemukan 65% dari 1.185 responden yang sudah bekerja menilai besaran gaji menjadi pertimbangan terbesar memilih pekerjaan.
Sebanyak 85% responden menyebut sulit mencari pekerjaan ideal di Indonesia. Hasil monitoring di media sosial X ikut menangkap adanya sentimen negatif mayoritas, sebanyak 40% mengeluhkan rendahnya gaji dan sulitnya mendapat pekerjaan ideal di Indonesia.
Isu “Gaji di Bawah UMR (Upah Minimum Regional)”, “Keluhan Terhadap Gaji”, dan “Ekspektasi Gaji UMR” jadi Top 5 topik percakapan di X. Mayoritas (40%) responden mendefinisikan gaji ideal berada di angka Rp5-10 juta.
Namun sayang, mayoritas (34%) juga menyebut gaji mereka belum mendekati ekspektasi upah yang diharapkan. Sementara, berbeda tipis, 33% responden menyebut gaji mereka berada di angka moderat, alias tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah dari ekspektasi gaji yang diharapkan.
Ketertarikan Gen Z untuk bekerja di luar negeri ditanggapi oleh Guru Besar Studi Kependudukan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Tadjudin Nur Effendi yang menilai fenomena tersebut adalah hal yang logis untuk dilakukan, mengingat peluang gaji di luar negeri lebih baik ketimbang di Indonesia.
“Kalau mereka (Gen Z) punya kesempatan untuk bekerja di luar negeri dengan gaji yang baik, saya setuju pilihan bekerja di luar negeri adalah keputusan yang tepat,” ungkap Tajudin kepada Deduktif, Jumat, (28/6/2024).
Tajudin menilai, pemerintah seharusnya membuat program pelatihan kerja. Baik untuk para sarjana anyar, maupun masyarakat luas.
“Apakah pemerintah membuat program (kerja) yang cukup baik untuk anak-anak Gen Z? Saya belum pernah mendengar ada program agar lulusan baru bisa menambah pengetahuan selama enam bulan atau satu tahun, untuk mendapatkan kerja,” ujarnya.
Tajudin turut menyinggung risiko bonus demografi yang didapatkan Indonesia pada 2045 nanti. “ Jangan sampai menjadi malapetaka, tapi yang kita lihat sekarang, pengangguran makin merajalela. Bagaimana mau menyongsong bonus demografi?” tanya Tajudin, sangsi.
Kekhawatiran terhadap peluang kerja dan masa depan membuat tak hanya Gen Z yang mempersiapkan diri untuk migrasi dari Indonesia. Generasi milenial sudah menyadarinya, dan mempersiapkan anak mereka, generasi alpha, untuk bisa bersekolah dan berkarier ke luar negeri, sedari dini.
“Anak saya yang pertama setelah kuliah di Amerika Serikat, cara berpikir dia beda banget. Jadi saya punya keinginan agar adiknya juga kuliah ke luar negeri,” ungkap Asrijani Asrin (50) kepada Deduktif, Rabu, (31/7/2024).
Menurut Asrijani, lantaran menempuh pendidikan di luar negeri, anak pertamanya jadi unggul menganalisis dan mengurai masalah. Kualitas pendidikan dan peluang karier di luar negeri pun ia anggap lebih mumpuni.
Saat ini, anak kedua Asrijani, tengah duduk di kelas enam Sekolah Dasar (SD) Labschool Cibubur, Jakarta Timur. Ia sengaja memilih pendidikan sang anak di sekolah bertaraf internasional. Harapannya, agar enam tahun lagi, si anak dapat berkuliah di salah satu universitas di Prancis.
Ia bakal menyekolahkan anaknya di Labschool sampai SMA, sebab sekolah tersebut punya program France Track. Lewat program tersebut, siswa berpeluang kuliah di Prancis tanpa perlu jeda atau menunda satu tahun.
“Syukur-syukur bisa berkarier juga di luar negeri. Boleh juga membangun bisnis di Indonesia, tapi tetap kuliahnya tetap di Prancis,” ujar Asrijani.
Pada tahun 2045, piramida penduduk Indonesia diproyeksikan akan menunjukkan proporsi lebih besar pada kelompok usia produktif (15-64 tahun) dibandingkan kelompok usia muda (0-14 tahun) dan lansia (65 tahun ke atas). Kelompok usia produktif ini, nantinya akan diisi oleh Gen Z dan Gen Alpha.
Bonus demografi ibarat dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi Indonesia berpeluang mendapat suplai sumber daya manusia (SDM) produktif. Namun bonus demografi juga bisa jadi malapetaka bagi bangsa.
Jika negara terus angkat tangan dalam menyediakan fasilitas pendidikan dan pekerjaan yang baik bagi rakyatnya, pada 2045 nanti kita bakal menyongsong “Indonesia (C)emas” karena generasi potensial “kabur” ke luar negeri.