TL;DR
Kehidupan pasien Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO) bagai jatuh tertimpa tangga. Selain harus melawan sakit berkepanjangan, banyak dari mereka dipecat, atau hilang mata pencaharian karena tidak kuat lagi bekerja. Parahnya lagi, negara tidak hadir untuk memberi bantuan perlindungan sosial untuk mereka.
Saat ini, pemerintah hanya memberikan pengobatan gratis melalui puskesmas dan rumah sakit. Padahal pasien TBC RO juga butuh bantuan ekonomi untuk modal transportasi berobat hingga memenuhi kebutuhan hidup akibat pemasukan yang menurun, bahkan nihil.
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut menular melalui droplet pasien positif TBC. Berdasar jangka waktu pengobatannya, TBC terdiri dari dua jenis yaitu TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat (RO).
TBC SO merupakan jenis infeksi yang dapat ditangani dengan obat-obatan lini pertama dalam jangka waktu pengobatan 6-12 bulan. Sementara TBC RO sudah resisten (kebal) terhadap obat pada lini pertama akibat pengobatan tidak tepat, dan lama pengobatannya mencapai 6-24 bulan.
Kondisi tubuh yang lemah dan stigma penularan tersebut membuat orang dengan TBC berisiko kehilangan pekerjaan.
Sebenarnya pada tahun 2020, Kementerian Sosial (Kemensos) pernah memberi perlindungan sosial melalui program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp3 juta per tahun untuk 570 pasien TBC di Indonesia. Namun baru 3 bulan berjalan, bantuan tersebut dicabut. Saat ini, pemerintah saling lempar tanggung jawab atas kelanjutan program tersebut.
Pukul 11 siang, di bawa terik sinar matahari, Andri (33 tahun, bukan nama sebenarnya) mengenakan jaket hitam dan masker mulut sedang duduk di halaman Rumah Sakit Unit Daerah (RSUD) Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Wajahnya pucat dan kelelahan. Ia baru saja selesai diskusi tentang penanganan TBC-nya dengan petugas kesehatan.
Pria berusia 33 tahun itu menceritakan awal terkena TBC SO pada tahun 2009 lalu. Setelah menjalani satu tahun pengobatan, ia dinyatakan sembuh. Namun pada 25 November 2023, ia batuk darah. Seketika Andri dilarikan ke RSUD Pasar Minggu. Dokter menyatakan Andri kembali terkena Tuberkulosis, namun dengan status TBC RO.
Kenyataan pahit yang diterima Andri tak berhenti sampai di situ. Pada 31 Desember 2023, ia diberhentikan dari pekerjaan sebagai pengangkut makanan di gudang, setelah atasannya tahu status kondisi kesehatan yang dialami oleh Andri.
“Pas kerja saya sering batuk dan pakai masker. Saya diminta periksa sama atasan dan hasilnya dia lihat. Pas dia tahu saya TBC, saya kena pemutusan hubungan kerja (PHK),” kata Andri saat ditemui Deduktif di halaman RSUD Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa, (23/7/2024).
Karena mengalami PHK, Andri harus kehilangan penghasilan per bulan sebesar Rp5 juta. Pesangon sebesar Rp1,5 juta yang ia kantongi pun tak cukup. Sebab, ia harus membayar kontrakan, dan menanggung istri beserta kedua anak yang berusia 4 tahun dan 7 bulan. Dalam sebulan total pengeluarannya mencapai Rp2 juta.
Itu belum terhitung biaya operasional berobat ke fasilitas kesehatan. Pada minggu pertama menjadi pasien TBC RO, Andri harus menjalani berobat setiap hari ke RSUD Pasar Minggu. Meski biaya pengobatan ditanggung BPJS Kesehatan, Andri masih harus mengeluarkan kocek pribadi untuk ongkos perjalanan.
Dari kediamannya di daerah Tegal Parang, Jakarta Selatan ke RSUD Pasar Minggu memiliki jarak tempuh sekitar 7 kilometer (km), ia harus membayar ongkos ojek online (ojol) pulang-pergi sebesar Rp50.000. Artinya dalam seminggu biaya transportasi saja mencapai Rp350.000.
Andri mengaku lebih memilih ojol dibanding angkutan umum karena jarak kediamannya ke rute angkutan umum cukup jauh, dan kondisi tubuhnya tak kuat untuk menempuh perjalanan tersebut
Setelah intensitas berobat ke fasilitas kesehatan dikurangi. Andri diminta periksa dan mengambil obat di Puskesmas Mampang Prapatan seminggu sekali. Untuk ke lokasi tersebut, Andri menempuh jarak sekitar 3 km dengan waktu tempuh 15 menit. Ongkos yang dibutuhkan untuk pulang-pergi naik ojol sebesar Rp40.000.
Namun selama pengobatan lanjutan itu, sebulan sekali ia harus ke RSUD Mampang untuk cek dahak dan tes darah. Jarak rumah ke RSUD Mampang sekitar 1 km dengan waktu tempuh 5 menit. Biaya yang dikeluarkan untuk pulang-pergi naik ojek online sebesar Rp30.000. Jadi, Andri harus menanggung biaya transportasi mencapai sekitar Rp200.000 per bulan.
Andri pernah menerima bantuan dana dari Global Fund sebesar Rp600.000 per bulan. Akan tetapi, bantuan tersebut tidak diterima setiap bulan, melainkan dirapel 3-4 bulan.
“Kalau bagi saya bantuan itu belum cukup karena sudah berkeluarga. Apalagi kalau dibandingkan dengan gaji saya sewaktu kerja. Sedangkan saya harus mondar-mandir ambil obat. Belum lagi buat sehari-hari, susu dan pampers anak” ucapnya.
Untuk menutupi kekurangan itu, perekonomian Andri dibantu oleh orang tuanya. Jika dirasa masih kurang, ia terpaksa meminjam ke saudara hingga tetangga.
Seiring berjalannya waktu, tabungan Andri kian menipis. Akhirnya ia terpaksa menjual sepeda motornya seharga Rp4 juta pada 13 Januari 2024 untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Nggak ada pilihan lain, ya sudah jual saja. Kami buat hidup dan kebutuhan anak-anak. Apalagi berobat perlu ongkos,” ucapnya.
Andri berharap pemerintah memberi bantuan perlindungan sosial agar pasien TBC RO dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk ongkos ke rumah sakit dan puskesmas.
“Saya juga ingin buka usaha makanan anak-anak. Karena sebagai kepala keluarga, saya harus menafkahi anak istri saya,” pungkasnya.
Andri, sudah tak mampu bekerja lagi. Setiap hari ia harus meminum obat hingga 12 butir. Efek sampingnya kulit menghitam, pikiran linglung, pandangan kabur, pendengaran kurang, kondisi tubuh lemas berat badan turun dari 42 kilogram (kg) menjadi 38 kg, hingga muntah-muntah.
“Kondisi saya kaya gini, boro-boro buat kerja, untuk kegiatan sehari-hari saja saya harus menguatkan tubuh saya. Karena untuk napas saja dada saya sesak,” tuturnya.
Pasien TBC RO yang memiliki kondisi serupa dengan Andri yaitu Dina (39 tahun, bukan nama sebenarnya). Tak hanya menjadi pasien TBC RO, sebelumnya, Desember 2012 ia dinyatakan dokter sebagai orang dengan HIV/AIDS (ODHA/ADIV). Kemudian menjadi pasien TBC kelenjar sejak tahun 2013.
Karena penyakitnya diketahui oleh tetangga, Dina sempat mendapat diskriminasi oleh lingkungan sekitar.
“Memang tidak ada yang ngomong langsung, tapi saya terasa, tetangga pada sinis,” kata Dina.
Kondisi tersebut membuat Dina merasa tak nyaman, ia sampai memutuskan pindah kontrakan hingga 3 kali, sampai sekarang mengontrak di daerah Sukmajaya, Depok.
“Kalau saya sih tidak mau terlalu menanggapi, tapi yang saya pikirkan keluarga saya,” kata Dina kepada Deduktif melalui saluran telepon, Jumat (19/7/2024).
Setelah pengobatan TBC hampir setahun, Dina dinyatakan sembuh. Waktu 10 tahun berlalu, Dina mengalami batuk-batuk dan langsung cek ke Rumah Sakit Pasar Rebo. Dokter pun mengatakan Dina kembali terkena TBC dengan status Resisten Obat pada Februari 2023.
Selama dua minggu Dina harus menjalani pengobatan intensif ke RS Pasar Rebo. Dari kediamannya di daerah Sukmajaya Depok, Jawa Barat, Dina menempuh jarak sekitar 14 km.
Jika diantar oleh sang suami atau menggunakan kendaraan pribadi, Dina harus membeli bahan bakar Rp20.000-Rp50.000 untuk sekali kunjungan. Namun jika menggunakan ojek online, ongkos yang dikeluarkan mencapai Rp100.000.
Setelah berobat intens dua minggu, ia hanya diminta sebulan sekali untuk cek kesehatan di RS Pasar Rebo yang berjarak sekitar 1 km dari rumah. Namun, Dina diminta untuk mengambil obat setiap hari di Puskesmas Abadi Jaya Depok. Jika ditotal untuk ongkos ke RS Pasar Rebo dan Puskesmas Abadi Jaya, biaya yang dibutuhkan sekitar Rp200.000 perbulan.
Dina juga diminta untuk meningkatkan makanan bernutrisi selama pengobatan, sebab berat badannya turun dari 50 kg menjadi 27 kg saat menjalani pengobatan. Dalam sebulan, kebutuhan nutrisi itu bisa mencapai Rp1 juta.
Bantuan sebesar Rp600.000 dari Global Fund jelas kurang, bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya sendiri. Pada kasus Dina, kebutuhan harian dan satu anak masih ditanggung oleh sang suami yang bekerja.
“Kalau memang tidak cukup, ya terima saja. Memang dapatnya segitu,” tuturnya.
Dulu, sebelum terkena TBC, Dina sempat bekerja sebagai sales promotion girl (SPG) dengan penghasilan sebesar Rp5 juta per bulan. Namun ia terpaksa harus berhenti bekerja karena kondisi tubuhnya semakin melemah.
Setiap hari Dina harus mengkonsumsi obat sebanyak 16 butir, meski seiring berjalannya waktu kini obat yang Dina konsumsi menjadi 10 butir. Efek samping obat tetap membuat kondisi tubuhnya lemas, sakit kepala berat, kulit menghitam, tubuh kebas, sesak napas, hingga muntah-muntah.
“Saya sempat nggak bisa jalan. Itu pas pengobatan (TBC RO) setengah tahun awal,” pungkasnya.
Dina berharap, pemerintahan baru Prabowo-Gibran dapat kembali mengadakan program PKH atau program bantuan sosial lain untuk pasien TBC RO.
“Ya buat tambah-tambah ongkos berobat, membeli makanan bernutrisi sama vitamin,” tuturnya.
Direktur Stop TB Partnership Indonesia (STPI), Henry Diatmo mengatakan pasien TBC RO sangat membutuhkan perlindungan sosial dari pemerintah karena pasien kondisinya lebih parah dan pengobatannya lebih lama. Bisa memakan waktu sampai 2 tahun dibandingkan TBC SO selama 6-8 bulan, sehingga butuh banyak biaya.
STPI adalah organisasi masyarakat non profit yang bertujuan untuk mendukung upaya eliminasi TBC di Indonesia melalui penguatan kemitraan dan kolaborasi multi sektor.
Henry menjelaskan, TBC RO juga merupakan penyakit katastropik, alias penyakit yang mengancam nyawa dan membutuhkan biaya pengobatan yang besar serta proses yang lama, sehingga berisiko ”memiskinkan” orang.
“Apalagi kalau pasien kepala rumah tangga yang harus menafkahi keluarganya. Karena dia butuh biaya untuk hidup kan,” kata Henry saat dihubungi Deduktif, Kamis (18/7/2024).
Henry mengatakan, TBC masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Berdasarkan data STPI , jumlah orang dengan TBC di Indonesia sebanyak 821.200 kasus pada tahun 2023. Sebanyak 12.482 diantaranya merupakan TBC RO.
Dari jumlah orang dengan TBC RO, sebanyak 81% orang mengalami pengeluaran katastropik. Pengeluaran katastropik dihitung ketika jumlah pengeluaran selama menangani penyakit TBC RO lebih besar dari 20% dari pendapatan tahunan rumah tangga.
Dari 81% yang mengeluarkan pengeluaran katastropik, kelompok sangat miskin dan miskin dengan pengeluaran Rp2-3,5 juta paling banyak memiliki pengeluaran tambahan. Masing-masing sebanyak 86% dan 85%.
1.Kelompok kaya dengan pengeluaran Rp6.514.626, Sebanyak 70% orang mengalami pengeluaran katastropik dan 30% tidak
2.Kelompok menengah pengeluaran Rp4.754.425; 71% orang mengalami pengeluaran katastropik dan 29% tidak
3.kelompok miskin pengeluaran Rp3.494.858; 85% orang mengalami pengeluaran katastropik dan 15% tidak;
4.kelompok sangat miskin pengeluaran Rp2,099,723. 86% orang mengalami pengeluaran katastropik dan 14% tidak.
Sementara itu Technical Officer STOP Project STPI, Eka Saptiningrum mengatakan terdapat empat landasan kebijakan terkait perlindungan sosial bagi pasien TBC RO:
Misalnya dalam Perpres 67/2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis pada Bab IV Pasal 24 Ayat 1 poin d: “Pemerintah Pusat bertanggung jawab untuk melakukan mitigasi dampak psikososial dan ekonomi yang dihadapi orang terdampak TBC dan keluarganya”. Mitigasi yang dimaksud yaitu memberikan jaminan kesehatan dan perlindungan sosial.
Lalu pada poin e: “Melakukan upaya perlindungan sosial dan pemberdayaan kepada orang terdampak TBC dan masyarakat terdampak TBC”.
Namun sejauh ini, kata Eka, pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) baru memberikan perlindungan sosial melalui Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp3 juta per tahun kepada 570 pasien TBC.
Pada tahun 2022, STPI melakukan penelitian terhadap 332 orang dengan TBC RO di Indonesia. Namun hanya 23% responden atau 75 pasien saja yang mendapatkan program PKH. Dari 75 pasien itu, paling banyak berpendapatan Rp1-2 juta per bulan sebanyak 21 orang (25%), pendapatan kurang dari Rp500.000 sebanyak 18 orang (24%), dan pendapatan Rp500.000-Rp1 juta sebanyak 16 orang (21%).
(Kemudian pendapatan Rp2-3 juta sebanyak 13 orang (17%); pendapatan Rp3-4 juta sebanyak 5 orang (7%); dan pendapatan Rp4-5 juta sebanyak 2 orang (3%))
“Banyak responden yang layak mendapatkan bantuan program PKH, namun tidak terlayani oleh program ini,” kata Eka saat dihubungi Deduktif, Kamis (18/7/2024).
Eka juga menyayangkan program PKH hanya berjalan 3 bulan saja pada Oktober-Desember 2020. Sejauh ini, lanjut Eka, STPI telah melakukan diskusi dengan Kemensos selaku pemilik program PKH. Namun Kemensos berkilah, pihaknya hanya unit teknis/pelaksana, perihal anggaran harus mengikuti kebijakan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Selain PKH, STPI mengusulkan kepada pemerintah tiga program yang berpotensi dapat mendukung pemenuhan kebutuhan pengobatan pasien TBC RO, yakni Bantuan Sembako/Bantuan Pangan NonTunai (BPNT) dari Kemensos karena pasien membutuhkan bantuan makanan bernutrisi untuk menunjang pengobatan.
Kemudian Program Kewirausahaan Sosial (ProKUS) dari Kementerian Koperasi dan UMKM karena mereka kehilangan pekerjaan dan Program Rumah Tinggal Layak Huni (RTLH) untuk mencegah penularan di dalam keluarga atau lingkungan sekitar.
Eka menjelaskan, berdasarkan riset oleh Ukwaja pada tahun 2018, kejadian tuberkulosis global diperkirakan akan berkurang 84,3% jika kemiskinan dihilangkan dan semua individu terdaftar dalam program perlindungan sosial.
Selain itu, dia juga mencontohkan skema perlindungan sosial untuk pasien TBC di dua negara dengan bantuan uang tunai. Misalnya negara Brazil yang berhasil membuat peluang sembuh 10.58% lebih tinggi. Kemudian negara Argentina yang membuat pengendalian TBC meningkat.
“Masih diperlukan berbagai skema dukungan kepada orang dengan TBC RO,” pungkasnya.
Sementara itu Anggota Komisi VIII DPR RI, Iskan Qolba Lubis mendorong pemerintah memberi perlindungan sosial kepada pasien TBC RO untuk menunjang kebutuhan selama pengobatan.
“Jadi bantuan atau subsidi yang tidak tepat sasaran, seperti kepada korban judi online, lebih baik dialihkan untuk bantuan sosial (TBC),” ucap Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu kepada Deduktif, Rabu (17/7/2024).
Pemerintah Saling Lempar Tanggung Jawab
Direktur Jaminan Sosial Kemensos, Faisal mengatakan alasan program PKH dihentikan karena terdapat pertanyaan dari pihak pengawas eksternal perihal dasar regulasi dan perhitungan kompensasi untuk memberikan bantuan kepada pasien TBC.
Faisal mengatakan beberapa waktu lalu Kemensos pernah diundang oleh Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) untuk membahas wacana pasien TBC diberikan bantuan PKH.
“Kelanjutan dari pertemuan itu, kalau kami sih fine-fine aja (pasien TBC dapat PKH). Dalam arti kalau memang amanat undang-undangnya ataupun aturannya atau regulasinya mengatur dan seperti itu, ya kami jalankan,” kata Faisal kepada Deduktif saat ditemui ruangannya di Kantor Kemensos, Rabu, (17/7/2024).
Namun kata Faisal, perihal anggaran program PKH untuk pasien TBC merupakan kewenangan Bappenas. Saat ini, Kemensos melalui Biro Perencanaan telah melakukan komunikasi dengan Bappenas mengenai tindak lanjut program PKH untuk pasien TBC.
Selain itu, lanjut Faisal, dari hasil rapat terbatas (Ratas) Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) (Kemenko PMK) dengan Presiden Jokowi tahun 2023, pasien TBC akan diberikan tambahan insentif, tetapi bukan melalui program PKH.
Namun untuk program dan anggarannya, masih didiskusikan dengan Bappenas, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), hingga Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Termasuk perlindungan sosial tersebut masih diberikan melalui Kemensos ataupun sekaligus disalurkan melalui Kemenkes.
“Meski tidak diberikan bansos melalui PKH, Faisal mengatakan Kemensos tetap memberikan bantuan sanatorium seperti pengobatan, hingga bantuan psikososial (pendampingan dan rumah singgah) di sentra-sentra milik Kemensos,” ucapnya.
Sementara itu Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi mendukung jika pemerintah memberikan dana perlindungan sosial kepada para pasien TBC RO. Apalagi pada mereka yang sampai kehilangan pekerjaan.
Ia mengatakan, perlindungan sosial dibutuhkan oleh pasien TBC RO untuk keperluan operasional saat berobat hingga kebutuhan sehari-hari. Sebab, perlindungan sosial merupakan tumpuan mereka agar tetap bisa menyambung hidup.
Apabila pasien TBC RO tidak mempunyai uang untuk transportasi saat berobat, mereka bisa putus obat, sehingga dampak kesehatannya bisa lebih buruk lagi.
“Jadi dia butuh obat-obat yang lebih ampuh lagi. Padahal kan obat yang sekarang saja sudah susah tuh dapetnya,” kata Imran kepada Deduktif melalui sambungan telepon, Rabu (17/7/2024).
Imran menjelaskan, dana perlindungan sosial untuk pasien TBC sudah diamanatkan di dalam Perpres 67/2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Dan Kemensos bertugas untuk mendistribusikan dana tersebut.
Namun berdasarkan Pasal 24 Ayat 1 Perpres 67/2021, tidak hanya Kemensos, tetapi tertulis pemerintah pusat lah yang bertanggung jawab melaksanakan penanggulangan TBC seperti perlindungan sosial untuk pasien.
Imran mengatakan Kemenkes telah mengomunikasikan dengan Kemenko PMK agar bisa berdiskusi dengan Kemensos terkait perlindungan sosial untuk pasien TBC RO untuk akses pengobatan yang terbaik. Namun, ia tidak menjelaskan lebih lanjut meski hal tersebut berhubungan dengan Kemenkes.
“Ini (anggaran perlindungan sosial) kan urusan dapurnya orang (Kemensos), kita nggak bisa intervensi,” tuturnya.
Kemenko PMK membenarkan jika pada hasil rapat terbatas (Ratas) pada 18 Juli 2023, Presiden Jokowi telah membuat arahan supaya memberikan insentif untuk pasien TBC di luar program PKH. Namun hanya untuk pasien yang berpenghasilan rendah. Lembaga yang ditugaskan menyalurkan program tersebut yaitu Kemensos.
Hal tersebut dikatakan oleh Analis Kebijakan Ahli Madya Koordinator Negara dan Penyakit, Asdep Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kemenko PMK, Nani Rohani di acara “Diseminasi Advokasi Public-Private Mix (PPM): Lika liku pelayanan TBC di Indonesia” di Jakarta Selatan, Rabu, (24/7/2024).
“Mungkin nanti kemungkinan akan ada program baru. Karena bagaimanapun yang namanya arahan Bapak Presiden, kan harus dilaksanakan (Program perlindungan sosial),” kata Nani.
Setelah ratas, Nani mengatakan Kemenko PMK melakukan rapat koordinasi teknis dengan kementerian-kementerian terkait untuk membahas tentang perlindungan sosial untuk pasien TBC.
Kemenko PMK meminta kepada Kemenkes untuk mengidentifikasi kebutuhan serta dukungan untuk pasien TBC di luar pengobatan beserta nominalnya. Nantinya, nominal tersebut menjadi acuan Kemensos dalam memberikan bantuan perlindungan sosial kepada pasien TBC.
Sementara itu untuk anggaran, kata Nani, pada ratas yang digelar 18 Juli 2023 Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih menunggu usulan program dan anggaran dari Kemensos. Saat ini, Kemenko PMK masih menunggu Kemensos untuk melakukan konsolidasi di internal perihal besaran anggaran, program, dan mekanisme yang sesuai untuk dana perlindungan sosial bagi pasien TBC RO.
“Rapat terakhir kami, kita sudah memberikan waktu (ke Kemensos), silakan untuk dibahas internal terlebih dahulu. Nanti kami akan melakukan rapat koordinasi kembali untuk membahas hal itu,” ucapnya
Lebih lanjut, Nani mengatakan pada Perpres 67/2021, tidak hanya pemerintah pusat saja yang bertanggung jawab menangani TBC, tetapi juga pemerintah daerah bertugas untuk memberikan dukungan pengobatan komplementer.
Misalnya menyediakan fasilitas transportasi kepada pasien TBC ke fasilitas kesehatan dan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi mereka. Untuk memenuhi hal tersebut, Nani mengatakan para pasien TBC yang memiliki penghasilan rendah dan tempat tinggal yang tidak layak perlu difasilitasi rumah singgah, agar mereka tidak menularkan ke keluarga dekat atau orang di sekitar.
“Bantuan itu (psikososial dan ekonomi) bisa membantu orang dengan TBC yang kehilangan pekerjaan, yang semakin terpuruk karena TBC,” pungkas Nani.
Deduktif telah mengirimkan surat permohonan wawancara perihal anggaran perlindungan sosial untuk pasien TBC RO kepada Bappenas pada Senin, (22/7/2024) lalu. Namun, hingga artikel ini ditayangkan, pihak Bappenas belum juga memberikan respons.