Sekitar 3.300 warga terpaksa mengungsi dan tinggal di Pos Koordinasi (posko) terdekat. Salah satunya, posko utama yang dibangun tepat di belakang Rumah Sakit Agung Manggarai. Di setiap langkah kaki menyusuri posko dan sisa kebakaran, tampak lanskap yang serba kekurangan.
Beberapa tenda pengungsi, tenda konsumsi dari beberapa donatur, dan tenda keamanan dari personel militer terpasang di lahan kosong Rumah Sakit Agung Manggarai. Di tenda pengungsi berwarna oranye, puluhan kepala keluarga harus berbagi ruang sempit untuk tidur dan menyimpan sisa barang bawaan. Mereka harus merelakan kenyamanan dan privasi yang dulu dimiliki.
Deduktif menemui Yuli (38), penyintas kebakaran, ibu, sekaligus kepala keluarga bagi dua anaknya, di tengah hiruk-pikuk keriuhan. Sambil mengobrol, Yuli menahan air mata dengan terus menyekanya.
“Makanan kak, seringnya isi tahu,” ungkap Yuliani pada Deduktif, Kamis, (22/8/2024).
Pihak Dinas Sosial Jakarta memang sudah memberikan konsumsi rutin kepada pengungsi. Namun, menurut Yuli, menu makanan perlu ditingkatkan lagi variasinya.
Selain masalah makanan, sanitasi jadi persoalan umum di setiap posko darurat. Meski telah memiliki 11 toilet portabel, beberapa di antaranya terpampang tulisan “Rusak Tidak Bisa Dipakai”. Toilet-toilet tersebut juga cuma bisa dipakai untuk buang air kecil saja, sehingga para pengungsi lebih memilih berjalan ke mushola-mushola terdekat yang berjarak sekitar 100 meter - 1 kilometer dari tenda pengungsian.
Bantuan-bantuan untuk para pengungsi juga masih kena sunat. Sumbangan pakaian bekas layak pakai misalnya, kerap disortir terlebih dahulu oleh kelompok tertentu sebelum dibagikan kepada pengungsi, sehingga mereka hanya menerima pakaian sisa seadanya.
“Pakaian dalam, misalnya, dari pusatnya dapat setengah lusin per orang, tapi yang dibagi hanya satu per orang, makanya banyak yang protes,” tambah pengungsi Manggarai lain, Isma (41) kepada Deduktif, Kamis, (22/8/2024).
Yuli, belum memutuskan salah satunya. Sebagai seorang perantauan yang datang jauh dari tanah Lampung untuk berniaga, Yuli sudah kehabisan modal. Semua barang dagangannya ludes terbakar api.
“Lagi nyari gimana caranya. Barang saya tidak ada yang tersisa, padahal banyak yang baru dibeli, mie, kopi, minyak goreng, beras, habis. Seribu pun, saya nggak ada.”
Dari lubuk hati, Yuli masih mengharap bantuan dari pemerintah untuk menopang, setidaknya kehidupan untuk kedua anaknya yang masih panjang. “Keduanya masih sekolah dasar.”