Iklan Rokok di Sekolah, Upaya Perusahaan Rokok Menjerat Konsumen Anak

Masih dengan seragam putih-biru, Arif (15) bukan nama sebenarnya membeli sebatang rokok filter di sebuah toko kelontong yang berjarak sekitar 50 meter dari sekolahnya di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan. Setelah membayar sebesar Rp2.500, Arif buru-buru memasukkan rokok tersebut ke dalam ransel. 

 

Arif bersama seorang temannya yang sudah menunggu di depan warung bergegas pergi ke lapangan belakang sekolah. Di sanalah mereka biasa menghabiskan puntung tembakau itu.

 

“Sudah ngerokok dari kelas 4 SD. Ayah merokok, Ibu juga merokok, jadi biasa saja” celetuk Arif saat berbincang dengan Deduktif, Kamis, (19/9/2024).

 

Setiap hari Arif rutin menghisap sebatang rokok. Ia menyisihkan sekitar seperempat uang jajannya untuk “sebat”, istilah yang biasa dipakai para perokok untuk aktivitas menghisap tembakau. Arif dan teman-temannya punya waktu “sebat” khusus, yakni pada jam pulang sekolah.

 

Seakan tak takut kena geledah guru, mereka berstrategi, membeli rokok secara ketengan saat jam “sebat” saja. Arif sengaja tidak menyimpan cadangan rokok saat jam sekolah masih berlangsung. Ia mudah saja mendapat rokok lantaran warung di samping sekolahnya masih menjual rokok secara ketengan, bahkan turut mempromosikan aktivitas merokok dengan menempel spanduk iklan rokok. Spanduk dan iklan-iklan promosi rokok lain juga terpampang di sekitar Jalan Pendidikan, nama tempat sekitar sekolah Arif. 

 

“Tukang warung juga biasa aja,” tutur Arif saat ditanya tentang larangan merokok pada anak di bawah umur.

 

Perusahaan rokok memang punya muslihat untuk menggaet perokok muda. Salah satunya dengan memasang iklan rokok di area sekolah dan menempatkan produk rokok sejajar dengan pandangan mata anak di area kasir pasar swalayan. 

 

Tak ayal jumlah perokok anak di Indonesia selalu naik dari tahun ke tahun. Data Kementerian Kesehatan menyebut prevalensi perokok anak mencapai 7,20% (2013), kemudian naik menjadi 8,80% (2016), lalu meningkat jadi 9,10% pada tahun 2018, data terakhir pada tahun 2019, jumlah perokok anak sudah mencapai 10,70%.

 

Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan jumlah perokok aktif di Indonesia diperkirakan mencapai 70 juta orang, sebanyak 7,4% di antaranya merupakan perokok berusia 10-18 tahun.

 

Perokok muda seperti Arif, tak lagi takut efek rokok bagi kesehatan. Aktivitas merokok yang ia lakukan sekitar enam tahun lalu, meski membikin batuk dan sesak dada, tapi kalah oleh efek candu dan rasa pahit di lidah. 

 

Selain Arif, Deduktif menemui perokok anak lain di wilayah Cengkareng, Jakarta Barat. Di sebuah pangkal gang Kapuk Pulo, lima anak tengah berkumpul, ada yang bermain sepeda, duduk mengobrol di tanah dan di atas motor.

 

“Dia tuh, dia!” mereka saling tunjuk saat Deduktif bertanya soal siapa yang telah menjadi perokok aktif.

 

Sambil malu-malu, dua di antara anak-anak itu, Deni (12) dan Aji (11), bukan nama sebenarnya, mengaku sudah mulai menjajal rokok sejak duduk di bangku sekolah dasar. Deni, mencicipi rokok sejak di bangku 3 SD, sedangkan Aji mulai merokok di tahun ini, di bangku kelas 6 SD. 

 

“Diajak temen, abang-abangan,” aku Deni kepada Deduktif, Rabu, (25/9/2024) saat bercerita soal awal mula ia menjajal rokok. “Biasanya kita patungan buat beli rokok,” ujar Aji menimpali. Rokok hasil patungan itu nantinya dihisap bersama-sama. 

 

Hingga sekarang Deni dan Aji masih main kucing-kucingan dengan orang tua mereka jika ingin merokok. Orang tua Deni dan Aji, masih melarang anak-anaknya untuk merokok. 

 

“Pernah kepergok dan diomelin,” kata Deni. “Orangtua saya kalau tahu, juga pasti marah sih,” tambah Aji. 

 

Sejatinya pada tanggal 26 Juli 2024 Presiden Joko Widodo telah menandatangani larangan penjualan rokok eceran per batang (ketengan). Aturan tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang tentang Kesehatan. Rokok dilarang dijual pada orang di bawah usia 21 tahun dan perempuan hamil.

 

Tujuan pelarangan ini untuk mengurangi akses dan konsumsi rokok di kalangan anak-anak dan remaja serta mengurangi jumlah perokok baru. Tapi kenyataan di lapangan tak berbanding lurus dengan aturan yang ada. Warung-warung kecil masih bebas menjual rokok eceran dan dapat dibeli oleh anak-anak–yang bahkan belum genap berumur 17 tahun dan memiliki kartu tanda penduduk.