Imbas Proyek Geothermal Ormat Technologies di Jawa dan Maluku

Alih-alih membawa manfaat, proyek geothermal Ormat Technologies di Jawa dan Maluku justru meninggalkan jejak bencana. Di Bondowoso, Jawa Timur, warga Dusun Curah Macan kehilangan sumber air bersih akibat operasi PLTP Ijen. Debit air menyusut, kualitasnya tercemar, bahkan memicu penyakit. Ledakan sumur panas bumi dan semburan gas beracun menambah trauma, sementara kebisingan mesin dan bau menyengat menjadi teror harian.

Tak hanya itu, lahan pertanian kopi, kubis, kentang, dan jagung rusak parah. Ribuan pohon kopi musnah, namun kompensasi minim atau bahkan nihil. Infrastruktur desa, termasuk jalan dan akses menuju sekolah serta Puskesmas, hancur karena lalu lintas alat berat. Meski dampaknya masif, serapan tenaga kerja lokal hanya 0,85% dari penduduk usia produktif.

Di Maluku, proyek geothermal Wapsalit juga memicu gelombang pengungsian. Warga Desa Wapsalit terpaksa tinggal di hutan karena pengeboran dekat pemukiman memicu getaran hebat dan ancaman gas beracun. Tanah sakral masyarakat adat dirampas, akses kebun dibatasi, dan intimidasi terhadap tokoh adat terjadi. Aktivitas pendidikan lumpuh, guru takut mengajar, sekolah tutup.

Kedua proyek ini memperlihatkan bagaimana label “energi hijau” dapat menutupi praktik yang merusak lingkungan, menghilangkan sumber penghidupan, dan mengkriminalisasi masyarakat adat.

 

Alih-alih menjadi proyek energi yang ramah lingkungan dan memberi dampak baik bagi masyarakat yang tinggal di dekat area operasi, sejumlah proyek geothermal Ormat Technologies di Indonesia justru menuai berbagai masalah.

“Air tanah kami tercemar [...] seperti mengandung racun. Beberapa warga sini sakit perut setelah meminum air tanah di rumahnya,” kisah Ghassan (tentu bukan nama sebenarnya) di sambungan telepon kepada Deduktif, Kamis, 24 April 2025 silam.

Ghassan adalah salah satu warga yang tinggal di Dusun Curah Macan, Kabupaten Bondowoso. Rumahnya hanya berjarak 400 meter dari sumur panas bumi PLTP Ijen. Sejak tahun 2018, pria yang kini berusia 63 tahun itu telah menyaksikan langsung bagaimana proyek geothermal Ormat Technologies, hanya mendatangkan bencana untuk keluarga serta warga lain di desa.

Mengacu kembali pada laporan “Menambang Solusi Palsu: Polemik JETP dalam Kasus Proyek Geothermal Ijen” dari CELIOS, debit air yang berkurang dan tercemar di Dusun Curah Macan, terjadi karena eksplorasi panas bumi di desa itu. Eksplorasi panas bumi mengganggu keseimbangan hidrologi, menyebabkan penurunan debit air yang selama ini digunakan warga untuk kebutuhan harian seperti mandi, mencuci, dan konsumsi.

“Sudah lebih dari tiga hari warga sini [Dusun Curah Macan] membeli air mineral untuk dipakai minum dan mandi,” imbuh Ghassan.

Tidak hanya mengontaminasi air bersih atau air tanah warga Dusun Curah Macan, aktivitas operasional PLTP Ijen juga mencemari desa lain seperti di mata air Watu Capil, Margahayu, dan Kebun Jeruk.

“Pada Maret 2024, air yang dulunya jernih berubah menjadi keruh dan getir, diduga akibat pembuangan limbah dari pengeboran IJN 2 [salah satu unit PLTP Ijen]. Lebih dari 200 kepala keluarga terdampak, dengan kesulitan air bersih selama hampir 6 bulan setelah pipa pembuangan limbah ditutup. Hasil uji laboratorium tidak disampaikan secara transparan kepada warga,” tulis CELIOS dalam laporannya.

Dari data CELIOS, proyek PLTP Ijen membutuhkan hampir 6,6 juta liter air per hari, setara dengan kebutuhan hampir 44 ribu orang. Jumlah itu menunjukkan hampir 4 kali jumlah total penduduk Kecamatan Ijen, yang berpotensi bakal memperburuk kelangkaan air di wilayah itu.

Selain permasalahan air tanah atau mata air yang tercemar, ledakan dan semburan gas dari sumur panas bumi PLTP Ijen sudah karib menahun bagi warga yang tinggal di sekitar.

Ledakan di bulan ramadhan tahun 2018, misalnya, yang selalu kekal di ingatan Ghassan. Ketika pihak perusahaan melakukan pengeboran awal, ledakan besar terjadi di sumur panas bumi. Bau sangit menguar di udara. Tembok-tembok rumah di desa tempat Ghassan tinggal juga bergetar kencang.

Ledakan dari sumur panas bumi PLTP Ijen terulang kembali di 2020. Bahkan di insiden ledakan kedua itu muncul juga semburan uap. CELIOS menganggap bahwa insiden di 2020 itu menyebabkan kepanikan massal dan kerugian ekonomi, terutama bagi warga Dusun Curah Macan. Bahkan menurut pengakuan warga kepada CELIOS, banyak warga yang melaporkan kehilangan anggota keluarganya serta mengalami ketakutan yang mendalam pasca ledakan.

Tidak hanya mencemari air tanah dan menimbulkan trauma massal ketika ada peristiwa ledakan di sumur panas bumi, aktivitas eksplorasi PLTP Ijen juga menghancurkan pertanian warga. Bagi Dusun Curah Macan–yang mayoritas petani–tentu secara tidak langsung telah membunuh mata pencaharian mereka.

“Proyek ini [PLTP Ijen] memperlihatkan ketimpangan spasial yang terjadi di kawasan Blawan-Ijen, di mana masyarakat lokal, terutama petani yang mengolah lahan untuk perkebunan kopi, terpinggirkan oleh keputusan yang tidak melibatkan mereka, sementara perusahaan besar seperti Medco semakin menguasai sumber daya alam,” ungkap CELIOS.

Wishnu Try Utomo selaku Direktur Advokasi Pertambangan CELIOS, mengurai berbagai dampak buruk yang muncul dari aktivitas PLTP Ijen. Dalam wawancaranya dengan Deduktif pada SEnin, 24 Maret 2025, Wishnu menjelaskan dampak PLTP Ijen ke hutan produksi maupun pertanian warga, bermula dari perbedaan antara dokumen AMDAL dengan realitas di lapangan.

“Temuan yang paling mencolok berasal dari dokumen AMDAL terkait pembebasan lahan [...] proyek PLTP ini dijaga oleh peraturan nasional dan internasional yang fokus pada kompensasi terhadap warga terdampak. Namun di dokumen AMDAL PLTP Ijen menyebut tidak ada warga terdampak proyek mereka,” urai Wishnu.

Proyek PLTP Ijen yang mendapat sokongan dana dari DFC mestinya mengikuti nilai prinsip DFC. Perbedaan isi dokumen AMDAL PLTP Ijen dengan nilai prinsip DFC terletak pada cara perusahaan memberi kompensasi material bagi warga yang terdampak. Seharusnya, kompensasi dilakukan sesuai dengan Performance Standard No.5 tentang pembebasan lahan dan pemukiman secara paksa, dari International Finance Corporation (IFC).

Temuan lain CELIOS terkait AMDAL terletak pada sosialisasi kepada warga. Jika dalam dokumen AMDAL disebutkan bahwa sosialisasi telah dilakukan dengan transparan dan melibatkan warga lokal. Sedangkan di lapangan sosialisasi proyek PLTP Ijen dilakukan hanya kepada Forum Kepala Desa yang dihadiri oleh Camat, Polsek, Koramil, dan jajaran Kepala Desa di Kecamatan Ijen.Temuan kunci keempat dari laporan CELIOS terkait PLTP Ijen adalah ketimpangan penguasaan lahan. Mayoritas lahan proyek PLTP Ijen dikuasai olehPerhutani (63,57%) dan PTPN XII (36,43%). Penguasaan itu menyebabkan masyarakat lokal kehilangan hak garap tanpa kompensasi yang layak. Menurut laporan CELIOS, alih fungsi lahan untuk proyek PLTP semakin mempersempit ruang hidup warga yang selama ini bergantung pada lahan pertanian produktif untuk mata pencaharian.

Wishnu mengungkap bahwa dampak proyek PLTP Ijen ke pertanian warga memang begitu masif. Sekitar 20 hektar lahan warga yang berada di Dusun Curah Macan tak bisa ditanami. Sebagian besar lahan itu adalah lahan pertanian kubis dan kopi yang terdampak pembangunan menara transmisi PLTP Ijen.

“Ada petani Dusun Curah Macan yang menemukan tanaman-tanaman kopinya sudah rusak. Di sana, ada pekerja yang sedang memasang bambu-bambu tangga untuk memasang sutet. Sekitar 800 pohon kopi rusak. Yang diberi kompensasi hanya untuk 200 pohon saja,” imbuh Wishnu.

Selain itu, menurut Wihsnu ada petani dari Desa Sempol yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari PLTP Ijen, mengalami kerugian serupa. Semua pohon-pohon kopi di lahannya rusak juga akibat pemasangan sutet. Jika petani Dusun Curah Macan sebelumnya masih diberi kompensasi—meski nilai kompensasinya tak sepadan—petani Desa Sempol yang pohon kopinya rusak itu, sama sekali tidak mendapat ganti rugi.

Apa yang petani-petani korban PLTP Ijen itu alami, dialami Ghassan juga. Sebagai seorang yang menggantungkan hidup keluarganya dari pertanian, Ghassan menganggap bahwa semakin hari, PLTP Ijen kian menghancurkan sumber penghidupan banyak keluarga petani lain di Dusun Curah Macan.

“Tanaman kentang, kubis, jagung, dan kopi kami habis oleh proyek PLTP Ijen. Jagung misalnya, sebelum tua dan berbuah, daunnya sudah merah dan mengering. Seperti kena belerang. Kubis dan kentang juga berkurang drastis hasil panennya,” timpal Ghassan.

Tidak hanya menghancurkan lahan pertanian produktif saja, pembangunan PLTP Ijen juga merusak jalan dan infrastruktur lokal. Menurut laporan CELIOS, mobilisasi alat berat PT MCG selama pembangunan PLTP Ijen, telah memperparah kerusakan jalan dan menyulitkan akses warga. Para petani yang biasa mengangkut hasil panen jadi terkendala. Beban ekonomi warga akhirnya membengkak akibat biaya transportasi yang mahal.

Kondisi jalanan desa yang rusak itu tidak hanya mengganggu mobilitas keseharian warga dalam jalannya distribusi hasil pertanian. Rusaknya jalan-jalan itu turut menghambat akses ke fasilitas penting seperti sekolah dan Puskesmas. Dalam laporan CELIOS, warga menduga bahwa kerusakan jalan itu disebabkan oleh truk-truk besar yang digunakan oleh perusahaan untuk mengangkut material dan peralatan proyek.

Lagi-lagi, Masyarakat Adat Dikriminalisasi

Meski menuai berbagai dampak lingkungan–yang membuat warga mati-matian memperjuangkan hajat hidupnya–serapan tenaga lokal pada pembangunan PLTP Ijen juga berbanding terbalik dengan wacana PT MCG.

Berdasarkan data dari Indeks Desa Mandiri Kecamatan Ijen pada tahun 2024, total penduduk mencapai 12.205 jiwa, dengan 7.402 orang berada dalam usia produktif (15–64 tahun). Namun menurut data yang dihimpun CELIOS, serapan tenaga kerja lokal oleh perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam proyek PLTP Ijen—termasuk PT Medco Cahaya Geothermal (MCG) dan mitra-mitranya—hanya mencakup 63 orang di seluruh kecamatan. Jumlah itu terbilang sangat kecil dibanding potensi angkatan kerja yang tersedia, yakni hanya 0,85% dari total usia produktif.

Permasalahan tentang serapan tenaga kerja lokal untuk proyek pembangunan PLTP Ijen juga dirasakan langsung oleh Ghassan. Kendati awalnya anak kandung Ghassan bisa bekerja untuk proyek PLTP Ijen, namun selang beberapa waktu kemudian anaknya harus berhenti bekerja karena dugaan manipulasi hasil tes kesehatan.

“Dia kerja sebagai sopir catering di PLTP Ijen. Dari awal sudah lolos MCU [medical check-up]. Setelah bekerja selama 7 hari, dokter perusahaan malah bilang kalau anak saya menderita penyakit menular,” keluh Ghassan, masih dalam sambungan telepon bersama Deduktif.

Setelah mendapat diagnosa sepihak, anak kandung Ghassan dipecat. Padahal sebelumnya sudah tanda tangan kontrak kerja selama 6 bulan ke depan. Hasil MCU anaknya pun disembunyikan oleh pihak perusahaan.

Ghassan tidak tinggal diam. Ia menanyakan tentang penyakit menular apa yang anaknya alami. Namun hingga berhari-hari hingga berganti bulan setelah anaknya dipecat, Ghassan tak pernah mendapat jawaban dari pihak perusahaan.

“Kalau memang anak saya punya penyakit menular, kasih tahu saya. Namanya anak, saya akan berusaha buat obatin berapa pun itu. Wong namanya juga anak sendiri. Tapi perusahaan tidak menjelaskan sama sekali anak saya menderita penyakit apa,” imbuh Ghassan yang kemudian tahu bahwa posisi anaknya digantikan orang lain.

Menurut CELIOS, proyek PLTP Ijen begitu akurat mencerminkan dinamika perluasan pasar energi global dengan mengikuti logika kapitalistik. Kendati berlabel 'energi hijau', proyek ini tetap berorientasi pada keuntungan finansial dan perluasan pasar, yang didukung oleh dana melimpah dari JETP dan DFC. Lebih jauh lagi, CELIOS menyebut bahwa proyek PLTP Ijen juga memperlihatkan bagaimana kapitalisme berkedok transisi energi dapat menghasilkan reproduksi ketidaksetaraan sosial-ekonomi.

Eksplorasi dan pembangunan PLTP Ijen sudah berakhir. Kini proyek pembangkit listrik bertenagakan geothermal itu sudah beroperasi secara komersial. Dampak buruknya jelas terus berlangsung, menjadi masalah akut bagi warga yang tinggal di dekat proyek.

“Kan sekarang sudah operasi, [mesin-mesin] di PLTP terdengar sangat berisik. Menakutkan seperti angin besar. Ada baunya juga. Pokoknya kalau lagi enak-enak makan, trus anginnya berhembus ke sini [ke arah rumah], pasti langsung tidak enak. Baunya seperti telur busuk,” tutup Ghassan tentang kondisi terkini sejak PLTP Ijen yang mulai beroperasi secara komersial pada Februari 2025.

Wishnu mengungkap informasi lebih lanjut tentang situasi terkini warga di Kecamatan Ijen. Menurutnya, pada 24 Januari 2025, tiga orang petani dari Lereng Ijen—Jumari, Fajriyanto, dan Ahmad Yudi Purwanto—ditangkap oleh aparat penegak hukum atas laporan dari PT Perkebunan Nusantara I Regional 5 (PTPN I Regional 5).

Menurut laporan Mongabay Indonesia pada 17 Maret 2025, ketiganya ditangkap setelah memperjuangkan hak mereka atas tanah yang sudah mereka kelola turun-temurun. Lahan yang berkonflik ini jadi Program Java Coffee Estate (JCE)—perkebunan kopi yang dikelola melalui kerja sama antara PTPN IV PalmCo dan PTPN I–yang mendukung program Bondowoso Republik Kopi.

Ketiga petani tersebut dianggap menguasai lahan milik negara, padahal lahan pertanian mereka menyempit akibat proyek PLTP Ijen. Dipakainya lahan PTPN untuk PLTP Ijen, mengurangi lahan PTPN yang pada akhirnya meningkatkan tekanan ke petani-petani untuk membayar sewa.

“Sebagai catatan, lahan yang dikenai sewa oleh PTPN ini dipaksakan juga ke lahan petani bekas rawa yang diuruk oleh leluhur ketiga petani ini sejak zaman Belanda,” ujar Wishnu.

Wishnu menyebut bahwa ketiga petani Ijen yang ditangkap merupakan warga terdampak dari proyek PLTP Ijen. Air bersih di desa mereka terkontaminasi, warga harus berebut air untuk kebutuhan bertani dan rumah tangga dengan kebutuhan air PLTP.

“Karena air yang dipakai PLTP Ijen bersumber dari sungai yang ada di kampung mereka,” kata Wishnu.

Penangkapan ketiga petani itu menambah catatan panjang kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan tanahnya. Penangkapan ini mengindikasikan bahwa ancaman kriminalisasi terhadap warga Ijen itu sedekat nadi.

Guru Takut Mengajar, Sekolah Tutup akibat Eksplorasi Geothermal

Proyek geothermal Wapsalit—di mana Ormat Technologies juga menjadi bagian—turut menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat adat seperti halnya PLTP Ijen. Dari siaran pers Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang terbit pada 23 Agustus 2023, warga di Desa Wapsalit, Kecamatan Lolong Guba, Kabupaten Buru, Maluku, dipaksa mengungsi dari desa tempat mereka tinggal.

Warga meninggalkan kampung untuk menjauhi aktivitas tiga lokasi sumur eksplorasi panas bumi PT Ormat Geothermal, yang sangat dekat dengan pemukiman mereka. Mereka menggungsi ke hutan yang berjarak 10 kilometer dari desa sejak 2 Agustus 2023 silam.

“Saat aktivitas pengeboran masyarakat Wapsalit merasakan getaran luar biasa seperti tanah bergoyang keras. Terutama saat malam hari, warga sangat ketakutan dan khawatir dampak gas beracun yang dihasilkan dari aktivitas pengeboran,” tulis JATAM dalam siaran persnya.

Habash (bukan nama sebenarnya), seorang remaja 16 tahun yang tinggal di Desa Wapsalit, menjadi saksi bagaimana proyek PLTP Wapsalit telah menjadi ancaman bagi kehidupan banyak orang di desanya. Ia menyebut, bahwa sejak awal eksplorasi sumur panas bumi di desanya, PT Ormat Geothermal Indonesia telah banyak merugikan warga Desa Wapsalit.

“Ledakannya sangat kencang. Tanah dan tembok-tembok rumah bergetar. Kami semua ketakutan. Kami juga takut sekali dengan asap beracun dari proyek itu,” kenang Habash kepada Deduktif di sambungan telepon pada Senin, 7 April 2025.

Habash menjelaskan alasan lain mengapa warga di desanya memprotes aktivitas pengeboran untuk eksplorasi geothermal PT Ormat Geothermal Indonesia. “Pengeboran dilakukan perusahaan di tanah yang dianggap sakral oleh masyarakat adat Soar Pito Soar Pa atau 7 Soa,” katanya.

Mengacu kembali pada siaran pers JATAM, penolakan warga Desa Wapsalit dimentahkan oleh pihak PT Ormat Geothermal Indonesia. Lantaran hal itu, warga Desa Wapsalit malah mendapat intimidasi dari perusahaan.

Bahkan pada tanggal 17 Agustus 2023, Kaksodin (panggilan buat sosok tetua adat dari suku Wael untuk dataran tinggi), yakni Gebamkeda Wahidi, mendapat intimidasi dari anggota TNI yang JATAM duga dari KODIM Namlea.

“TNI mendatangi Rumah Kaksodim dengan satu unit mobil tronton dan berpakaian segaram lengkap. Para TNI kemudian berteriak-teriak dengan suara keras sambil dan mendobrak pintu rumah warga dengan cara menendang, masuk tanpa izin serta mencaci maki sambil menunjuk-nunjuk wajah Bapak Kaksodim,” urai JATAM lebih lanjut dalam siaran persnya.

Nyaris sepekan setelah upaya intimidasi terhadap tetua adat suku Wael itu, masyarakat adat Soar pito, Soar Pa yang tergabung dalam aksi solidariats untuk masyarakat adat Wapsalit, melakukan aksi. Ada 6 poin tuntutan dalam aksi itu di mana salah satunya yaitu massa solidaritas menolak keras PT Ormat Geothermal beroperasi di wilayah Titar Pito.

Laporan Edison Waas dan Christ Belseran untuk Mongabay Indonesia pada 30 April 2024, mengungkap lebih lanjut dampak proyek eksplorasi geothermal dari PT Ormat Geothermal Indonesia terhadap warga Desa Wapsalit. Dalam laporan itu, sekitar 37 orang warga Desa Wapsalit mengalami ketakutan akibat eksplorasi geothermal di desa mereka.

“Orang tua, bahkan lansia, pemuda, anak dan balita terpaksa mendiami tenda-tenda beralas tikar. Kebanyakan mereka yang mengungsi memiliki ikatan darah, atau punya hubungan kekerabatan satu dan lain,” tulis Waas dan Belseran dalam laporannya.

Selain merenggut tanah sakral milik masyarakat adat setempat, eksplorasi geothermal dari PT Ormat Geothermal Indonesia juga melakukan penggusuran tanah warga untuk akses jalan kendaran proyek. Tak hanya itu, Waas dan Belseran juga menuliskan bahwa akses warga berkebun untuk memenuhi kebutuhan pangan pun dibatasi. Bahkan di beberapa titik lokasi kebun, terdapat pos penjagaan, di mana sebelumnya warga bisa bebas beraktivitas.

Aktivitas eksplorasi geothermal di Wapsalit turut memengaruhi aktivitas pendidikan anak-anak di sana. Waas dan Belseran menemukan sebagian anak ikut mengungsi ke hutan bersama orang tua mereka. Para guru pun takut mengajar di tengah eksplorasi geothermal, yang terpaksa membuat sekolah tutup.

Seperti halnya warga-warga Desa Wapsalit lain dalam laporan Mongabay Indonesia, Habash juga mengutarakan keinginan serupa kepada Deduktif. Ia ingin agar proyek geothermal dari PT Ormat Geothermal Indonesia enyah dari desanya. Ia tak ingin apabila semua warga di desanya kehilangan ruang hidup dan sumber daya alam, yang selama ini menjadi penopang hidup Habash dan warga lain.

“Kami ingin Ormat [PT Ormat Geothermal Indonesia] angkat kaki dari desa kami segera!” tutup Habash.