IPK Selangit Jangan Sombong! Sekarang Cum Laude cuma Pepesan Kosong
TL;DR:
-Fenomena cum laude mendominasi lulusan di perguruan tinggi. Bahkan persentasenya bisa mencapai 70%, dibanding total wisudawan.
-Rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) naik secara nasional di semua daerah dan bidang ilmu.
-Kiwari, mahasiswa lebih ambisius untuk mendapat nilai tinggi, sehingga tak sungkan meminta perbaikan nilai jika dianggap tak memuaskan.
-Nilai tinggi mahasiswa jadi salah satu syarat agar kampus memperoleh akreditasi bagus.
Cum laude, gelar kehormatan untuk mahasiswa dengan tingkat keunggulan akademik spesial kini seperti diobral. Satu dekade belakang, penghargaan cum laude mendominasi lulusan di perguruan tinggi, menjadikan pemiliknya tak lagi istimewa. Ketika terjadi inflasi, cum laude seperti tak berarti.
Ini bukan cerita Haya Nadhira (24) seorang, yang mendapat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas 3,5 hingga dinobatkan sebagai lulusan cum laude. Haya hanya satu dari 749 mahasiswa yang mendapat predikat cum laude dari selebrasi wisuda Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ke-131, Februari 2024 lalu.
Haya lulus dengan IPK cum laude 3,74 di Program Studi Ilmu Pengetahuan Sosial dalam waktu 4 tahun. Sedari awal kuliah, ia sudah menargetkan predikat tersebut demi prestise dan privilase mencari kerja.
“Sejak semester awal, aku punya target nilai. Pokoknya engga boleh di bawah 3,6 supaya saat semester akhir, aku bisa dapat cum laude,” katanya kepada Deduktif, Sabtu (30/12/2023) lalu.
cum laude diberikan kepada mahasiswa dengan nilai IPK di atas 3,5. Lumrahnya gelar “pujian” ini hanya bisa diraih oleh segelintir mahasiswa saja. Ibarat piramida prestasi, mereka yang cakap, yang terpilih, yang berada di puncak segitiga.
Tapi belakangan struktur piramida prestasi ini jadi terbalik, kami menemukan fenomena cum laude mendominasi lulusan di perguruan tinggi. Bahkan persentasenya bisa mencapai 70%, dibanding lulusan yang tidak mendapat cum laude.
“Angkatan aku banyak yang cum laude, bahkan ada yang IPK-nya sampai 4,” kata Haya membenarkan fenomena banjir cum laude di kampusnya.
Di angkatan kelulusan Haya, gelar cum laude memang diraih oleh 51,3% wisudawan. Mayoritas, dibanding akumulasi predikat lulusan “sangat memuaskan”, “memuaskan”, dan “baik”. Lima tahun belakangan, persentase gelar cum laude di UIN Jakarta paling tinggi berada di tahun 2022, yakni 66,8% dari total wisudawan sebanyak 1620 orang.
Sementara jumlah gelar cum laude terbanyak yang diberikan UIN Jakarta kepada wisudawannya berada di tahun 2023, sebesar 3.123 orang. Setengah dekade sebelumnya, tak lebih dari 1700 orang saja.
[Insert grafik UIN]
Kenaikan nilai mahasiswa beberapa dekade ke belakang bukan fenomena baru. Komite Harvard pernah mengajukan komplain bahwa para profesor terlalu gampang memberi nilai A dan B.
“Nilai A diberikan untuk karya yang sebetulnya tidak sebagus itu, sementara nilai B diberikan ke karya yang ‘sekadar layak’. Ini adalah permasalahan utama dalam meningkatkan kualitas pendidikan, karena mahasiswa yang kurang tekun bisa mendapat nilai baik dengan pekerjaan yang mengada-ada.”
Komplain tadi dibuat pada tahun 1883 dan sayangnya, tidak ada perubahan sampai sekarang. Justru yang terjadi adalah nilai IPK terus naik sampai ke titik jenuh. Kenaikan IPK Harvard juga tidak main-main, tahun 1990 rata-rata IPK adalah 3,30. Dua dekade setelahnya, rata-rata IPK naik menjadi 3,80.
Di Indonesia keadaannya jelas mengekor. Tengok saja prosesi wisuda Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Agustus 2014, hanya 35,7% mahasiswa program sarjana yang mendapat predikat cum laude. Bandingkan satu dekade kemudian, pada wisuda bulan Februari 2024 lalu, jumlah predikat cum laude program sarjana membengkak mencapai lebih dari 63%.
Rata-rata IPK lulusan kampus biru ini pun merangkak naik, dari semula hanya 3,33 pada tahun 2014 menjadi 3,57 (2024).
Meski data cum laude UGM menunjukkan peningkatan tren, Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, Wening Udasmoro menyebut, fenomena banjir cum laude di kampus biru bukan hal baru.
Ia mengatakan UGM telah lama membangun ekosistem pendidikan yang kuat. Tradisi mendapat nilai A dipertahankan dengan, salah satunya, menerima hanya mahasiswa berprestasi. Ketika ekosistem sudah terbangun, maka mahasiswa otomatis ikut alur tradisi belajar giat di sana.
“Mahasiswa berhak mendapat cum laude karena mereka bagus dari sisi pengetahuan dan lainnya, sesuai dengan jaminan mutu kampus. Buah dari ekosistem, yang malas biar tidak bisa malas," ungkap Wening dalam wawancara dengan Deduktif, Jumat (12/1/2024).
Di Indonesia, data nasional Pangkalan Data Pendidikan Tinggi menunjukkan praktik katrol nilai itu nyata. Rata-rata IPK tahun 2021 adalah 2,91 sementara tahun 2022 naik menjadi 3,15. Kenaikan IPK hampir pukul rata di semua daerah dan bidang ilmu. Namun rata-rata IPK Jurusan Ilmu Sosial dan Humaniora (Soshum) lebih tinggi dibanding rata-rata IPK Jurusan Sains dan Teknologi (Saintek).
[masukin data tulisan Ann, dari Tabel IPK Indonesia - Google Sheets. Ambil data per bidang ilmu sama rata-rata per daerah.]
Deduktif kemudian membandingkan fenomena kenaikan cum laude di beberapa perguruan tinggi lain. Hasilnya sama saja. Ada kecenderungan angka IPK meningkat beberapa tahun belakangan.
Data yang diambil dari humas Universitas Indonesia (UI) menyebut persentase cum laude program sarjana di kampus ini naik menjadi 74% pada Agustus 2023, dari semula hanya 16,8% pada angkatan kelulusan sewindu lalu, Februari 2015.
Kemudian Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memiliki total lulusan cum laude di semua program pendidikan sebanyak 381 mahasiswa, setara 30,4% dibanding dengan jumlah seluruh lulusan. Satu windu kemudian, jumlahnya naik menjadi 1.206 orang, atau setara 57,3% lulusan cum laude pada Desember 2023.
Wisuda periode VIII 2023, Sabtu (28/10/2023), di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta punya gambaran inflasi cum laude yang lebih epik. UNS mewisuda sebanyak 1.449 mahasiswa mulai dari jenjang sarjana, magister, dan doktor. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.054 lulusan atau 72,7% meraih predikat cum laude.
Jumlah ini naik drastis dibanding lulusan cum laude UNS setengah dekade lalu (2013) yang cuma 37,5%. Kenaikan lulusan cum laude UNS hampir mencapai 124% persen, padahal jumlah wisudawan hanya bertambah sekitar 57% saja.
[Insert grafis UNS]
Di Institut Pertanian Bogor (IPB) jumlah lulusan cum laude program sarjana naik dari 867 pada tahun 2019, menjadi 1.743 pada tahun 2023, persentasenya mencapai 44% dibanding total seluruh wisudawan pada tahun 2023 sebanyak 3.937 orang.
Sementara di Institut Teknologi Bandung (ITB) lulusan cum laude program sarjana naik satu dekade terakhir. Pada tahun 2013, besarannya hanya 568 orang, atau setara 14% dari total wisudawan. Jumlahnya membengkak jadi 1.631 atau setara 34% dari total wisudawan. Padahal jumlah total wisudawan relatif stabil, berada di angka 4.000 per tahun.
Data yang sedikit berbeda kami temukan pada perguruan tinggi di luar Jawa dan perguruan tinggi swasta. Untuk sampel kampus swasta, kami mengambil data dari Universitas Pamulang (UNPAM).
Lulusan cum laude UNPAM relatif naik dalam periode empat tahun terakhir–meski tak sesignifikan sampel kampus lain. Jika di tahun 2019 jumlah cum laude program sarjana hanya 409 orang, sekitar 5% dari total wisudawan, maka di tahun 2022 jumlahnya naik empat kali lipat, menjadi 1.583, sekitar 14% dari total 11.219 wisudawan.
[insert grafis 3 kampus IPB, ITB, UNPAM]
Di Universitas Islam Riau (UIR), jumlah cum laude tetap meningkat, meski tidak sampai mendominasi--seperti lulusan di kebanyakan universitas di Pulau Jawa.
Setengah dekade terakhir, lulusan cum laude di semua program UIR naik: pada tahun 2019 hanya 358 mahasiswa; lalu menjadi 512 orang pada tahun 2020; bertambah menjadi 555 mahasiswa di tahun selanjutnya (2021); dan relatif stabil pada tahun 2022-2023 sebanyak masing-masing 4910 dan 4903 mahasiswa lulusan cum laude.
Kenaikan jumlah lulusan cum laude di UIR dari tahun 2019-2023 mencapai lebih dari dua kali lipat, atau sekitar 115%. Sementara persentasenya naik dari 9% pada 2019, menjadi 13,5% pada tahun 2023.
Kampus Butuh Akreditasi. Jadi, Cum Laude itu Mudah Saja
Setiap hari Haya berangkat mengikuti perkuliahan di UIN Jakarta dengan menempuh jarak dua jam dari rumahnya. Meski terbilang jauh, sedari awal kuliah, ia bertekad mempertahankan presensi kehadiran sebagai salah satu strategi mendapat nilai cum laude.
Jika telat masuk, Haya berusaha lebih aktif bertanya atau merespons diskusi kelas sebagai upaya mendapat nilai tambah. Ia juga rajin mengumpulkan tugas tepat waktu dan membuat rangkuman materi saat mendekati waktu ujian. Yah, tipikal mahasiswa ambis masa kini.
“Siasatnya, sih, aktif di kelas. Dosen bakal nilai effort kita,” katanya yakin.
Neng Sri, salah satu dosen Haya yang mengampu mata kuliah Kewirausahaan mengamini fenomena banjir cum laude satu dekade ke belakang. Ia bahkan menyebut mahasiswa era kiwari lebih ambisius, namun lebih mudah juga mendapat IPK tinggi.
“Kalau mahasiswa bimbingan saya rata-rata nilai akhirnya 3,8-3,9. Lalu, per semester biasanya di atas 3,6. Meskipun ada yang dapat nilai kecil, tapi sembilan banding satu,” ucapnya kepada Deduktif, Kamis, (4/1/2024).
Di kelas perkuliahan Neng Sri, mahasiswa diberi kesempatan menentukan format penilaian akhir. Ia termasuk dosen yang transparan memperlihatkan portofolio penilaian. Mahasiswanya juga diberi waktu dua hari jika ingin mengajukan komplain nilai. Tak jarang Neng Sri kena rongrong mahasiswa yang ingin mendapat nilai A, meski sudah mendapat predikat B.
Biasanya ia akan memberi tugas tambahan untuk mengatrol nilai. Sistem ini disebut Neng Sri sebagai “nilai belas kasihan” yang ia lihat dari proses dan sikap peserta didik selama masa belajar. Bentuk welas hati kepada usaha, motivasi, dan ambisi mahasiswa.
“Mahasiswa memang punya alasan kenapa kekeuh dapat predikat A. Ada yang karena tuntutan beasiswa, ada juga yang tuntutan orang tua,” kata Neng Sri.
Tapi, selain karena faktor ambisi yang lebih tinggi, lebih mudah mendapatkan fasilitas belajar seperti buku dan jurnal di kampus, inflasi cum laude juga dipengaruhi oleh nama baik kampus. Jejen Musfah, pengamat pendidikan, cum dosen di Fakultas Keguruan UIN Jakarta menyebut IPK cum laude dapat meningkatkan nilai akreditasi kampus. Singkatnya, nilai bagus mahasiswa merupakan refleksi keberhasilan dosen.
Akreditasi kampus yang menjadikan IPK sebagai indikator penilaian, akhirnya memicu fenomena “katrol nilai” di kampus.
“Sistem tersebut dapat memunculkan penilaian yang tidak objektif,” kata Jejen kepada Deduktif pada Senin (22/1/2024).
Di UIN Jakarta, penilaian dosen kepada mahasiswa bahkan secara tidak langsung berpengaruh terhadap besaran tunjangan yang diterima dosen. UIN Jakarta memiliki sistem Evaluasi Dosen oleh Mahasiswa (EDOM) yang menjadi salah satu penentu besaran tunjangan dosen.
Dalam sistem ini, mahasiswa berpotensi memberi nilai baik pada dosen berdasar predikat nilai yang mereka terima. Walhasil EDOM membikin penilaian akademik tak lebih dari sekadar ajang “tawar-menawar” belaka.
Opini Jejen menyoal katrol nilai demi akreditasi diperkuat oleh Geger Riyanto, Dosen Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Ia mengaku kesulitan memberi nilai rendah karena perguruan tinggi membuat standar nilai minimum untuk mahasiswanya.
“Beberapa perguruan tinggi sekarang menetapkan B- sebagai nilai minimum untuk lulus ujian akhir, sehingga dosen merasa punya kewajiban meluluskan mahasiswa,” tuturnya. “Nilai juga berpengaruh ke peringkat program studi, standar nilainya pun jadi terkerek.”
Selama ini penilaian akreditasi kampus dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Dulu, standar penilaian akreditasi dibagi menjadi empat: akreditasi A, menunjukkan bahwa lembaga pendidikan tersebut memiliki kualitas sangat baik, nilainya antara 361-400; akreditasi B berada di nilai sekitar 301-360; akreditasi C dengan nilai antara 201-300; terakhir NA, ketika nilai kurang dari 201.
Namun sejak keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023, akreditasi perguruan tinggi kini hanya terdiri dari Terakreditasi dan Tidak Terakreditasi saja. Salah satu poin yang dinilai BAN-PT dalam memberikan akreditasi adalah rata-rata IPK mahasiswa dalam 3 tahun terakhir.
Sementara di sisi lain, standarisasi nilai cum laude bergantung dari masing-masing kebijakan perguruan tinggi. Tak ayal kampus berlomba-lomba mempertahankan, bahkan meningkatkan nama baik dengan membuat lulusannya banjir cum laude.
“Perlu ada standarisasi penilaian baru yang meningkatkan objektivitas penilaian bagi kampus, dosen, dan mahasiswa,” pungkas Jejen.
Namun alih-alih melakukan perbaikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemenristekdikti) justru anteng–jika tak mau dibilang enggan–merespons fenomena inflasi cum laude. Mereka meyakini pihak perguruan tinggi muskil melakukan upaya buruk menaikkan IPK demi mendongkrak akreditasi kampus.
“Saya percaya perguruan tinggi sudah punya pedoman dan kriteria-kriteria yang ada. Untuk sampai ke sana, saya rasa tidak,” jawab Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, Sri Suning Kusumawardani atas pertanyaan Deduktif, Kamis (22/2/2024).
Sri justru menganggap kenaikan jumlah lulusan cum laude di berbagai perguruan tinggi sebagai sinyal kualitas pendidikan Indonesia yang meningkat. Meski begitu Kemenristekdikti berjanji bakal melakukan evaluasi untuk melihat faktor pemicu inflasi cum laude.
“Kemungkinannya ada dua, terjadi perbaikan kualitas, atau memang ada indikasi standar yang tidak terpenuhi.”
Dan jika lubang permasalahannya ada di jawaban kedua, sudah saatnya kampus menurunkan distribusi jumlah nilai, mengembalikan marwah universitas sebagai tempat belajar dan berpikir kritis. Bukan cuma gara-gara gengsi akreditasi, akhirnya cum laude jadi tak berarti.
Reporter:
Febria Adha Larasati
M. Naufal
Ken Devina
Anggita Raissa
Penulis dan Editor: Aditya Widya Putri