Jadi Tumbal Efisiensi, Pemerintah Abai Nasib PNS
TL;DR
Segera setelah menjabat menjadi presiden Republik Indonesia (RI), Presiden Prabowo Subianto langsung melakukan penghematan pos-pos pengeluaran tahun 2025. Aparatur Sipil Negara (ASN) yang selalu jadi “garda terdepan” penghematan negara, kembali terdampak.
Akibat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 semua jajaran pemerintahan menghemat pos-pos pengeluaran tahun 2025. Belanja pegawai ikut terimbas—ini termasuk pengurangan perjalanan dinas dalam dan luar negeri, efisiensi penggunaan energi, dan koordinasi via medium daring.
“Ini kayak kemoterapi. Enggak peduli mana sel baik dan buruk, semuanya kena,” ungkap Ina, salah satu PNS yang diwawancarai oleh BBC terkait imbas efisiensi.
Pemangkasan budget berimbas ke beberapa pos pengeluaran, seperti alat tulis kantor, kegiatan seremonial, rapat dan seminar, kajian dan analisis, serta diklat dan bimtek. Tak cuma itu, pemangkasan anggaran juga dilakukan untuk honor output kegiatan dan jasa profesi, percetakan dan suvenir, sewa gedung, kendaraan dan peralatan, lisensi aplikasi, jasa konsultan, bantuan pemerintah, pemeliharaan perawatan, perjalanan dinas, peralatan dan mesin, serta infrastruktur. Bahkan operasional lift serta alat penyejuk ruangan (AC) ikut terdampak.
Namun, meski terjadi pemotongan anggaran di sana-sini, target kerja para ASN ini tak ikut berkurang. Walhasil kerja atau lembur mereka harus ditanggung dengan fasilitas pribadi. Fasilitas kantor hanya beroperasi sebagian dan sudah dimatikan saat jam kerja usai. Wajar saja Ina menyebut efisiensi ini bak kemoterapi.
Salah satu departemen yang mengalami pemotongan dana besar adalah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebesar Rp2,074 triliun dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebesar Rp1,423 triliun. Sementara itu kementerian yang mendapat efisiensi paling besar adalah Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang dipangkas Rp81,38 triliun atau 73,34% dari total pagu tahun ini sebesar Rp 110,95 triliun.
Tak cuma itu, pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) juga ikut mundur. Ada asumsi bahwa pemunduran pengangkatan pegawai pemerintah diakibatkan oleh efisiensi anggaran, tapi hal ini dibantah oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Rini Widyantini.
Ini bukan pertama kalinya pemerintah memangkas dana PNS. Saat pandemi Covid-19 melanda tahun 2020 lalu, pemerintah mengalihkan anggaran PNS untuk program bantuan kesehatan dan kemiskinan. Salah satu komponen yang dipangkas adalah tunjangan hari raya (THR) dan tunjangan kinerja yang terjadi sampai 2023.
Jadi Korban Pemangkasan
Meski telah merelakan sebagian ‘bayarannya’ untuk kebutuhan ekonomi negara, para PNS hingga sekarang masih menjadi sasaran empuk hujatan masyarakat terkait kinerja mereka. Ya, PNS-PNS ini diasosiasikan sebagai pegawai “gabut” yang menghabiskan waktu kerja dengan bermain solitaire tapi tetap dapat bayaran yang oke.
Sentimen ketidakpuasan kinerja PNS sudah berlangsung lama dan terekam media. Komplain masyarakat biasanya tak jauh dari administrasi berbelit dan masalah profesionalisme sikap. Pemerintah bukan berbenah, tapi malah memperuncing tombak sentimen masyarakat, dengan mengatakan pensiunan PNS sebagai beban ekonomi negara.
Padahal berbagai upaya pemerintah untuk reformasi birokrasi sudah dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. Pada tahun 2015, gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memberikan gaji besar serta pelatihan bagi para guru PNS yang bertugas di Jakarta. Sebagai gantinya, ia mengancam akan memecat para PNS yang terbukti nakal.
Kebijakan pemecatan ini didasarkan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 yang menyatakan PNS bisa dipecat apabila tidak bekerja secara semestinya. Peraturan yang mengatur pemecatan PNS saat ini tertuang di Pasal 52 ayat 3 huruf f Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Peraturan ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan BKN Nomor 6 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021.
Aturan dan upaya memperbaiki imej PNS beberapa tahun terakhir nampaknya mulai berhasil. Survei berjudul “Indeks Perspektif Masyarakat Tentang Profesionalitas ASN (2023)” oleh Universitas Indonesia menunjukkan 77,4% responden memiliki persepsi positif tentang profesionalisme ASN. Sebanyak 65,6% responden menilai keterampilan ASN baik. Pada dimensi keterampilan sebanyak 65,6% responden sudah berpersepsi positif, sementara pada dimensi sikap sebesar 56% responden berpersepsi positif.
“Hasil (total) indeks profesionalitas ASN berada di kategori profesionalitas sedang,” tulis peneliti. Mereka merekomendasikan perlunya penggalakan reformasi ASN dan strategi rebranding ASN yang lebih gencar.
Persepsi positif publik soal ASN mungkin akan mundur lagi karena buruknya pemerintah dalam menangani persoalan efisiensi PNS dan pengangkatan CPNS. Salah satunya dengan memangkas fasilitas PNS, serta meminta pekerja yang lolos CPNS untuk bekerja kembali di kantor lama.
Bisa dibilang efisiensi yang dilakukan pemerintah sekarang sama seperti yang dilakukan Amerika Serikat (AS). Lewat Department of Government Efficiency (DOGE) yang dipimpin oleh Elon Musk, departemen ini memangkas anggaran pemerintah hampir USD 1 triliun. Langkah yang dilakukan secara terburu-buru ini membuat banyak pekerja federal kehilangan pekerjaan mereka. Angka pemecatan diproyeksikan terus naik seiring dengan penambahan petunjuk dari DOGE.
Sejauh ini setidaknya ada 15 pos yang terdampak, beberapa diantaranya meliputi program kesehatan Medicare dan Medicaid, Departemen Pertahanan, Departemen Pendidikan, dan Departemen Penerbangan Federal. Efeknya tidak hanya pemecatan masif, tapi disrupsi terhadap layanan esensial seperti Social Security. Indonesia bisa saja mengekor dampak kebijakan Amerika jika pemerintah tak segera membenahi persoalan efisiensi kementerian dengan lebih bijak.