“Salah satu koran terbesar Indonesia: Jawa Pos mulai ‘keropos’,” tulis wartawan senior Jawa Pos Abdul Muis di CoWasJP.
Dalam tulisan yang telah dihapus dari laman cowasjp.com itu, Muis menggambarkan betapa senyapnya gedung Graha Pena Surabaya. Lalu-lalang dan riuh rendah para jurnalis tak ada lagi.
Penyebabnya bukan hanya pandemi yang memaksa karyawan bekerja dari rumah, tapi juga turunnya oplah dan omzet iklan. SBO TV, anakan multimedia Jawa Pos, sampai angkat kaki dari Graha Pena karena tak mampu membayar biaya sewa.
Periode paceklik membuat Jawa Pos mengencangkan ikat pinggang. Karyawan yang berusia di atas 40 tahun diminta pensiun dini, dan permintaan ini datang setelah Jawa Pos merayakan ulang tahun ke 71 pada 2020. “Bagai disambar petir saja,” kata salah seorang karyawan.
Para wartawan senior mengeluhkan minimnya apresiasi perusahaan. Mereka merasa habis manis sepah dibuang. Sudah memberikan hidup untuk membesarkan Jawa Pos, apresiasi minim sekali–untuk tidak bilang tidak ada, malah diminta pensiun dini.
Awal Mula Jawa Pos
Jawa Pos lahir 26 Juni 1949, di bawah naungan Chinese Daily News (Hua Chiao Hsin Wen), koran berbahasa Mandarin buah tangan dingin The Chung Shen alias Suseno Tedjo, seorang pengusaha kelahiran Bangka.
Sebelum mendirikan Hua Chiao Hsin Wen, The merupakan pegawai bioskop yang bertugas memastikan iklan film yang akan tayang terpasang di koran tepat waktu. Interaksi ini membuatnya tertarik dengan dunia koran, dan kejeliannya melihat peluang pasar mendorongnya untuk mendirikan koran berbahasa Mandarin.
Meski memiliki populasi Tionghoa yang cukup banyak, saat itu Surabaya hanya memiliki satu koran yaitu Tsing Kwang Daily Press. The yakin korannya akan laris manis, dan dugaannya benar; Hua Chiao dibaca oleh penutur Mandarin seluruh Jawa Timur.
Kesuksesan Hua Chiao membulatkan tekad The untuk melebarkan sayap. Ia mendirikan koran berbahasa Indonesia dan dinamakan Java Post. The menggandeng Goh Tjing Hok (mantan wartawan Sin Min Semarang) dan Tan Boen An ke dalam timnya. The duduk di kursi direktur, Goh menjadi pemimpin redaksi, sedangkan Tan menjadi wartawan andalan.
The mengumumkan koran barunya di harian Sin Po pada 24 Juni 1949. Dua hari kemudian koran ini diresmikan dengan alamat Kembang Jepun 166. Peresmian dihadiri para tamu penting, antara lain A.M. van Lierre (Residen Surabaya), R.T. Djoewito (Pimpinan Sementara Parlemen Jawa Timur), Indra Kasoema (wali kota Surabaya), dan para wartawan seantero Jawa Timur.
Java Post berkembang menjadi koran terbesar Jawa Timur. Kesuksesan ini memberi mereka modal untuk mengakuisisi koran berbahasa Belanda terbesar di Surabaya, De Vrije Pers pada Februari 1954. Karena menguasai tiga koran dengan tiga bahasa di Surabaya, The dijuluki “Raja Surat Kabar Surabaya”.
Java Post terkenal sebagai koran yang kritis dan keras terhadap pemerintah, polisi, dan militer, sehingga kerap mendapat intimidasi. Puncaknya terjadi pada 2 Februari 1956, sekitar 30-an polisi mengobrak-abrik kantor Java Post karena tidak suka kritik soal kinerja polisi yang berantakan. Insiden ini melukai 4 jurnalis dan menghancurkan mesin-mesin produksi.
Pada 1 Juli 1958, De Vrije Pers harus berganti nama menjadi Indonesian Daily News dan mengubah bahasa pengantarnya ke bahasa Inggris. Perubahan dilakukan karena Sukarno melarang semua atribusi Belanda di saat konflik Irian Barat.
Pada 1965, buntut dari peristiwa besar 30 September, Koran Hua Chiao berhenti produksi. Dua dekade kemudian, pada 1981, Indonesian Daily News ikut tutup karena sepi iklan. Tinggal Java Post, yang telah dua kali ganti nama, Djawa Post dan kemudian Jawa Pos, yang masih berdiri, itu pun sedang dalam titik nadir.
Pada 1982 tiras Jawa Pos hanya 6.800 eksemplar per hari, 2.400-nya dari pelanggan setia; 2.000 dari dalam kota Surabaya, 350 pelanggan dari Malang. Sisanya dibagikan gratis ke instansi pemerintahan. Pamornya redup, kalah jauh dari Surabaya Post.
Perpindahan Tangan dan Perombakan
The Chung Shen yang sudah tua hanya bisa menatap miris kondisi koran kebanggaannya. Ia tak memiliki penerus; ketiga anaknya tak tertarik melanjutkan. Mereka lebih memilih menetap di London. Perkembangan teknologi cetak yang semakin maju pun semakin sulit diikutinya.
Satu-satunya cara agar koran ini tidak mati adalah dengan menjualnya. Saat itu ada dua perusahaan media yang tertarik: Tempo dan Kompas. Awalnya Kompas yang tertarik, tapi terus-terusan diulur. Belakangan diketahui, Jakob Oetama merasa tak enak membeli Jawa Pos karena kenal dekat dengan pemilik Surabaya Post.
Jadilah Jawa Pos dijual ke Eric Samola, Direktur Tempo. Proses akuisisi terjadi di tahun 1982. Eric kekeuh pimpinan Jawa Pos harus berasal dari Surabaya juga. Akhirnya ia menunjuk Dahlan Iskan–saat itu Kepala Biro Tempo Surabaya–sebagai pimpinan baru Jawa Pos.
Proses akuisisi selesai dan Dahlan diberi tanggung jawab baru sebagai Kepala Redaksi baru Jawa Pos. Oleh Tempo ia hanya diberi Rp 45 juta, plus beberapa karyawan boyongan dari Tempo Surabaya. Antara lain ada Slamet Oerip Prihadi, Oemiati, Dharma Dewangga (alm), dan Karni Ilyas. Modal tersebut tak hanya kecil, tapi juga tak serta merta diberikan ke Dahlan. Tempo hanya mengucurkan dana ketika dibutuhkan. Ini tak hanya memaksa Dahlan untuk irit, tapi juga untuk bekerja lebih keras membangkitkan kembali kejayaan Jawa Pos.
Dahlan langsung merombak habis sistem kerja dan arah redaksional Jawa Pos. Wartawan yang sebelumnya hanya menunggu berita, diwajibkan untuk mengejar berita. Evaluasi dilakukan setiap hari. Semua wartawan diharuskan hadir dari pukul 7 sampai 11 pagi untuk meneliti lead, kutipan, sampai judul berita yang telah terbit. Semuanya dibaca dan dikritik oleh Dahlan. Setelahnya ia akan menanyakan pendapat para wartawan tentang suatu masalah atau memberikan alternatif kata atau kalimat di berita.
Dahlan selalu menekankan gaya pemberitaan yang bertutur runut dan sederhana. Penekanan ini paling terlihat di rubrik olahraga, karena banyak fans Persebaya–yang mayoritas berasal dari kelas menengah-bawah–yang membaca untuk mengetahui kabar klub favorit mereka. Gaya pemberitaan ini mulanya merupakan aturan tak tertulis, belakangan jadi tertulis. Dhimam Abror menyebutnya sebagai “6 Rukun Iman” Jawa Pos:
Ketokohan.
Peristiwa yang melibatkan tokoh besar patut diberitakan.
Besaran peristiwa. Semua kejadian yang memiliki pengaruh besar harus diberitakan.
Kedekatan peristiwa. Peristiwa kecil yang terjadi di dekat kita punya kelayakan berita yang sama dengan peristiwa besar yang terjadi di tempat jauh.
Tren. Peristiwa yang melibatkan tren baru layak diberitakan.
Daya tarik manusia. Semua peristiwa yang menyentuh kemanusiaan patut diberitakan.
Bermisi. Setiap berita yang akan dimuat harus memiliki tujuan. Bisa berupa mencerdaskan, memotivasi, atau mengajak masyarakat.
Dahlan juga memutar otak agar oplah koran naik terus walaupun tak laku di agen. Diambillah jalan yang tidak umum: ia merekrut 30 istri pegawai sebagai agen. Setiap pagi, setiap orang diminta untuk membagikan 100 koran kepada 100 tetangga secara gratis selama lima hari. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan brand awareness, sekaligus menunjukkan bahwa isi Jawa Pos telah berubah. Setelah lima hari, agen akan mengumpulkan daftar orang-orang yang tertarik untuk lanjut berlangganan Jawa Pos. Usaha cukup membuahkan hasil. Konon Nafsiah, istri Dahlan, berhasil menggaet 3.500 pelanggan baru. Namun klaim ini ditampik sendiri oleh Nafsiah, mentok-mentok jumlah pelanggan yang ia pegang hanya 1.000.
Selain proses pemasaran yang jor-joran, Dahlan juga terus menyemangati karyawannya. Ia kerap berkata Jawa Pos tak hanya sebatas koran lokal Surabaya saja, tapi koran nasional dari Surabaya. Ia juga mendorong para wartawan untuk terus maju, salah satunya dengan mengirim mereka liputan ke luar negeri.
Nany Wijaya adalah wartawan Jawa Pos pertama yang dikirim ke luar negeri untuk meliput revolusi Filipina dan kejatuhan Ferdinand Marcos. Usaha ini berbuah manis: liputan Nany menaikkan oplah Jawa Pos dari 6.800 menjadi 40.000 eksemplar. Pamor Jawa Pos pun ikut naik.
Halaman Jawa Pos juga dipercantik dengan penambahan halaman berwarna pada 1986. Dan yang paling fenomenal, Jawa Pos mengadakan program “Tret tet tet ke Jakarta” yang memberangkatkan belasan ribu Bonek (fans Persebaya) untuk menonton laga-laga Perserikatan pada musim kompetisi 1986/1987.
Nama “Tret tet tet!!!” diambil dari bunyi klakson yang digunakan oleh para suporter Persebaya ketika bertandang ke kandang musuh. “Tret tet tet!!!” terus digaungkan di koran Jawa Pos, bahkan sampai menempati dua kolom bawah halaman utama Jawa Pos edisi 4 Maret 1987.
Program ini berbayar mulai Rp 12.500 sampai Rp 125.000. Pembeli bisa mendapatkan dari hanya tiket pertandingan dan bus, sampai ke makan dan pernak-pernik Persebaya. Ide pembuatan pernak-pernik ini didapatkan Dahlan setelah mempelajari kultur hooligan, fans sepakbola Inggris. Program ini berhasil mendekatkan Jawa Pos dan Persebaya dengan masyarakat Surabaya. Hubungan Jawa Pos dengan Persebaya juga menjadi sangat erat, sampai-sampai Dahlan diangkat menjadi Ketua Umum Persebaya.
Proses perbaikan dan perluasan pemasaran secara tekun digarap Dahlan dari tahun 1982-1987. Pasar pertama dan utama mereka di Surabaya, lalu dilanjutkan ke Malang, Jember, dan seterusnya ke timur. Perluasan pasar dilakukan dengan mengakuisisi koran-koran lokal yang secara bisnis tak lagi sehat dan membangun koran-koran baru di luar Jawa.
Memperbaiki Citra dan Melebarkan Sayap
Melejitnya oplah membuat Dahlan merasa perlu memperbaiki kinerja dan citra Jawa Pos. Di awal kepemimpinannya, Jawa Pos lekat dengan pembaca kelas menengah-bawah. Dahlan ingin melebarkan readership ke kalangan menengah-atas, head-to-head dengan Kompas.
Dahlan terus memutar otaknya, mengeluarkan berbagai jurus untuk menaikkan citra JP. Jurus pertama, Dahlan mengkampanyekan JP sebagai “koran nasional yang terbit dari Surabaya”. Jurus kedua, berkaca dari kesuksesan liputan Revolusi Filipina Nany Wijaya, ia mulai menempatkan wartawan-wartawan ke pos-pos luar negeri. Beberapa nama wartawan yang diberangkatkan antara lain Wing Wiryanto Soemarsono, Ramadhan Pohan, Zarmansyah, Aury Wijaya, Djoko Susilo, Dhimam Abror, dan masih banyak lagi. Laporan khusus (lapsus) menjadi komoditas utama Jawa Pos, terutama untuk kejuaraan sepakbola dan politik internasional. Jurus ketiga, membeli koran-koran sekarat dari daerah, terutama daerah timur Indonesia. Jurus keempat, mendekatkan diri dengan pengusaha-pengusaha Tionghoa Surabaya.
Inovasi ini membuahkan hasil: dalam satu dekade (1982-1992), Jawa Pos berhasil menaikkan tiras mereka ke 300 ribu eksemplar per hari dengan omset Rp38,6 miliar. Ekspansi pun sangat menguntungkan, ambil contoh Harian Fajar asal Makassar dan Riau Pos dari Riau. Kedua koran ini hampir sekarat ketika diakuisisi, tapi dengan tangan dingin Dahlan bisa sukses merajai daerah masing-masing.
Jaringan koran yang besar membutuhkan pasokan kertas yang banyak pula. Untuk memenuhinya, Dahlan memerintahkan pembangunan perusahaan percetakan PT Adiprima Suraprinta pada 1994 dan PT Temprina Media Grafika di Gresik pada 1996.
Pembangunan perusahaan percetakan baru bukanlah keputusan impulsif Dahlan. Menurut buku Jawa Pos Koran Kita, pada masa itu suplai kertas koran terhitung tidak stabil. Hanya ada dua percetakan yang bergumul di bidang ini, yaitu Pabrik Kertas Leces milik pemerintah dan PT Aspex yang dimiliki Bob Sadino.
Perusahaan-perusahaan percetakan swasta lainnya tidak mau masuk ke pasar ini karena harganya ditetapkan oleh pemerintah dan permintaan selalu dipengaruhi oleh kondisi politik. Oleh karena itu, pembangunan dua percetakan milik sendiri merupakan langkah tepat untuk memastikan percetakan koran berjalan lancar.
Pembangunan aset baru tidak berhenti meski negara saat itu dihantam krisis moneter. Dahlan merencanakan pembangunan Graha Pena di Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Proyek-proyek ini memakan uang yang tak sedikit. Tiga bangunan tadi membutuhkan dana sekitar Rp 80 miliar. Untuk mendapatkan pembiayaan, Dahlan mengutus Ratna Dewi untuk meminjam uang ke bank. Sindikasi Bank Bali–tutup pasca resesi ekonomi 1998–yang terpilih.
Selain meminjam dari bank, Dahlan menerapkan sistem gotong royong. Perusahaan yang mau mengantor di Graha Pena harus membayar Rp 5 miliar. Sisanya ia meminjam Rp 250 juta dari anak-anak Jawa Pos di seluruh Indonesia. Sistem ini juga yang digunakan oleh Dahlan untuk membangun stasiun TV dibawah Jawa Pos Multimedia Group.
Pada 1999, pemerintah membuka kembali pendaftaran perizinan pendirian televisi swasta. Jawa Pos gagal mendapat izin. Tapi semangatnya tidak berhenti di situ. Setelah melewati berbagai rintangan, Jawa Pos resmi mendirikan JTV, sebuah stasiun televisi regional yang berbasis di Surabaya pada 2001. Selang beberapa waktu, Riau TV resmi mengudara di Riau dan sekitarnya. Baru pada 2005, stasiun TV Jawa Pos secara resmi merekah di berbagai daerah.
Diversifikasi portofolio aset dari perusahaan multimedia berupa stasiun TV hingga real estate merupakan cara Dahlan untuk memajukan Jawa Pos. Ini dilakukan karena Dahlan menyadari perkembangan perusahaan media sudah memasuki masa stagnan. Apalagi kalau dibandingkan dengan Kompas yang sudah menyemenkan diri sebagai raja media Indonesia. Meski penetrasi pasarnya tidak sebesar Jawa Pos, pendapatan iklannya jauh melampaui Jawa Pos.
Masuknya Putra Mahkota
Salah satu aturan Dahlan yang paling kontroversial adalah keluarga tidak boleh masuk ke dalam imperium Jawa Pos. Kakak Dhimam Abror, Husnun Djuraid yang dulunya bertugas di Jawa Pos Semarang harus pindah agar tidak ada konflik kepentingan. Namun aturan ini dilangkahi sendiri oleh Dahlan dengan menempatkan anaknya, Azrul Ananda, ke dalam perusahaan pada tahun 2000.
Azrul masuk Jawa Pos dengan penugasan di rubrik DetEksi, dibawah bimbingan Imron Mawardi. Sebagai kolom remaja, mayoritas konten DetEksi diisi oleh anak-anak SMP dan SMA. Tujuannya agar anak-anak ini terbiasa untuk membaca JP hingga dewasa nanti. Rubriknya pun lumayan panjang, 8 halaman dan berisi survei serta polling tentang kehidupan anak muda. Dua hal ini kerap digunakan oleh pihak pendidik dan penegak hukum untuk mengkampanyekan hidup bersih dari narkoba ke anak-anak muda.
DetEksi berkembang cepat di tangan Azrul. Setelah puas dengan rubrik ini, ia menjajal rubrik-rubrik lain. Dua rubrik yang berubah paling drastis adalah Metropolis dan Olahraga. Metropolis yang sebelumnya serius berubah menjadi lebih santa, berkat penambahan kolom Lifestyle, For Her yang dikhususkan untuk pembaca perempuan, dan liputan acara fesyen serta kegiatan anak muda lainnya. Rubrik Olahraga awalnya rubrik lebih berfokus pada liputan pertandingan sepakbola, ditambahi sportainment; gosip olahragawan terkenal beserta pacar dan istrinya, gaya hidup mereka, dan masih banyak lagi.
Komitmen Azrul di olahraga begitu besar sampai ia turun tangan dalam penciptaan liga basket SMA yang diberi nama DetEksi League Basketball (sekarang bernama Developmental League Basketball) sampai meramaikan IBL di tingkat nasional. Ia juga yang memelopori event tur sepeda tahunan Jawa Pos Cycling. Semua ini dilakukan untuk satu tujuan: memudakan citra Jawa Pos. Azrul ingin citra Jawa Pos berubah menjadi koran nasional bergaya anak muda, agar kontras dengan koran kompetitor yang berbasis di Jakarta.
Namun harus diakui kemampuan Azrul untuk mengobrak-abrik rubrik-rubrik klasik Jawa Pos dan menciptakan liga olahraga tahunan bisa terjadi karena otoritas dan predikatnya sebagai anak bos. Hal ini juga ikut dicerminkan dalam kecepatannya menaiki tangga karir Jawa Pos. Hanya dalam waktu lima tahun ia berhasil menjabat sebagai pemred, posisi tertinggi dalam redaksi.
Tentu kenaikannya yang begitu cepat ini menggeser kader-kader yang lebih senior dan melahirkan banyak konflik. Di satu sisi, pekerja-pekerja Jawa Pos merasa kehadirannya melanggar aturan buku saku yang dipegang teguh perusahaan selama bertahun-tahun. Namun di sisi lain, mereka segan dan merasa berhutang budi banyak kepada ayahnya sehingga tak bisa melawan.
Salah satu konflik terbesar Azrul terjadi dengan Dhimam Abror. Konflik ini bermuara dari perbedaan pandangan soal apa itu jurnalisme. Azrul menginginkan jurnalisme Jawa Pos memusatkan kepentingan dan selera anak muda yang terhitung baru, sedangkan Abror dan senior-senior lainnya masih terpaku pada pakem jurnalistik arus utama.
Berhubung Abror sebagai pemred memegang otoritas lebih besar, Abror kerap tidak mengakomodasi ide-ide Azrul. Salah satunya terjadi pada bulan Ramadan. Azrul menulis, seharusnya warung dan tempat hiburan tidak ditutup selama bulan Ramadan. Azrul menginginkan tulisan ini dimuat di laman Metropolis atau halaman 1. Imron Mawardi, pengampu kolom Metropolis keberatan memuat tulisan ini karena topiknya kelewat sensitif dan bisa menyinggung perasaan umat Islam. Tulisan ini juga ditolak oleh Abror karena alasan yang sama.
Tulisan Azrul berakhir di halaman opini. Keesokannya, Azrul marah besar. Ia membentak dan memaki Abror dengan umpatan bahasa Inggris, yang dibalas Abror dengan mencengkram kerah bajunya.
Tak lama kemudian, Abror didepak dari Jawa Pos.
Azrul juga pernah bergesekan dengan Nany Wijaya, pada saat Pilihan Walikota Surabaya tahun 2015. Azrul merupakan pendukung keras Tri Rismaharini. Di tengah euforia kemenangan Risma, Azrul membagikan HP Blackberry yang dibelinya dari kantong sendiri kepada para jurnalis Metropolis yang meliput Pilwali Surabaya. Kegiatan ini dihardik oleh Nany yang menganggap pembagian HP tidak etis.
Merosotnya Pamor Jawa Pos
Ada yang beranggapan pamor dan kualitas Jawa Pos menurun sejak Dahlan lebih fokus mengurus PLN di tahun 2009. Ada pula yang beranggapan penurunan terjadi ketika Dahlan membiarkan Azrul “mengobrak-abrik” rubrik-rubrik Jawa Pos. Padahal pada medio 2000-an, bisnis Jawa Pos terlihat menjanjikan dengan meluasnya jaringan TV, PLTU di Kalimantan dan Jawa Timur, serta pendirian bisnis telekomunikasi Fabian Iskandar Corporindo (FIC).
Namun apabila ditilik dari bisnis utama mereka, Jawa Pos terhitung terlambat. Kala Republika, Kompas, dan Detikcom mulai merambah dunia digital di tahun ‘90an, Jawa Pos masih setia dengan strategi pembangunan koran-koran daerah. Koran ini tidak pernah menaruh perhatian khusus ke media daring. Ketika sudah memiliki pun situsnya hanya di-update setiap jam 9 pagi setelah pembaca setia mendapatkan korannya.
Kepada BBC pada 2010, Leak Kustiya pemred saat itu mengatakan, Jawa Pos enggan memulai situs berita daring karena ketidakpastian biaya dan keuntungan. Bisnis memberikan berita gratis kepada pembaca dianggap tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk membuat berita.
Baru enam tahun setelahnya jawapos.com terbit sebagai versi digital dari Jawa Pos. Start yang terlambat ini menjadi bumerang bagi Jawa Pos. Kala Detikcom dan situs-situs media daring lainnya sudah matang dan pembaca telah bermigrasi ke media digital, Jawa Pos harus mengejar ketinggalan yang cukup jauh.
Sementara, koran cetak yang menjadi kebanggaan Jawa Pos oplahnya kian turun. Penyebabnya ada tiga: pertama, kegagalan manajerial di mana perusahaan gagal mengelola sumber daya manusia yang berupa kenaikan gaji, tunjangan, serta bentuk apresiasi lainnya. Persoalan ini begitu sensitif karena beberapa karyawan Jawa Pos mengeluhkan besarnya jurang bayaran; kedua, menurunnya kualitas liputan yang merupakan imbas dari penyebab pertama; ketiga, naiknya harga kertas yang memberatkan industri cetak dan menaikkan harga koran.
Penurunan kualitas reportase juga bisa ditilik dari gaya kepemimpinan Azrul yang lebih fokus pada pengembangan bisnis. Kalau bapaknya dulu setiap hari fokus meneliti dan mengkritik berita para jurnalisnya, Azrul tidak melakukannya. Akibatnya kualitas berita jurnalis-jurnalis baru menurun, terlihat dari judul berita yang panjang dan sub-judul yang dijadikan penyambung judul utama alih-alih menceritakan sudut lain dari pemberitaan.
Azrul menerima kritik ini. Namun ia berkilah produk Jawa Pos dulu yang betul-betul hebat hanyalah 10 persen, sisanya biasa saja. Karena Jawa Pos di bawah kepemimpinan ayahnya tidak punya standar dan sistem yang menurunkan pelajaran dari generasi sebelumnya.
Namun, perbedaan gaya ini juga bisa ditelusuri dari perbedaan watak dan latar belakang mereka. Dahlan memulai karir jurnalistiknya dari bawah dan merupakan jurnalis kawakan pada masanya. Secara alamiah, matanya akan lebih berfokus pada kualitas jurnalisme. Sedangkan Azrul yang berlatar belakang bisnis dan pemasaran, lebih berminat untuk meningkatkan penjualan dan branding Jawa Pos.
Perbedaan lainnya dari duo bapak-anak ini adalah bagaimana mereka memperlakukan para “raja-raja kecil koran” di daerah. Dahlan kerap mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi, sekaligus memastikan kualitas reportase koran mereka tak kalah dengan koran pusat. Sementara Azrul terhitung jarang melakukannya. Karena menurutnya kurang penting dan bisa didelegasikan.
Walau berbeda jauh, Dahlan tetap saja memberikan posisi strategis ke anaknya. Ini dibuktikan lewat pengangkatan Azrul sebagai Dirut PT Jawa Pos Koran pada 2011. Leak Kustiya yang memulai karirnya sebagai desainer grafis Jawa Pos dilantik menjadi wakil Azrul. Keputusan ini mengundang kontroversi, tapi diterima dengan berat hati oleh para karyawan. Alasannya sama: rasa segan dan berhutang budi kepada Dahlan.
Namun masa kepemimpinan Azrul tidaklah lama. Para pemilik saham mendesak Azrul mundur pada RUPS LB 24 November 2017. Alasannya pendapatan Jawa Pos di bawah Azrul terus menurun. Pada tahun 2013, pendapatan Jawa Pos tercatat di angka Rp 686,56 miliar. Angka ini terus menurun di tahun berikutnya yaitu Rp 520,40 miliar. Bahkan pendapatan di Oktober 2017 semakin merosot ke angka Rp 345,57 miliar.
Para pemegang saham memutuskan untuk melantik Leak sebagai direktur selanjutnya. Namun keputusan ini disanggah keras oleh Yohannes Hengky Wijaya, wakil Grafiti Pers sekaligus pemegang saham terbesar Jawa Pos. Ia mengusulkan Hidayat Jati, anak laki-laki Goenawan Mohamad untuk menjadi Dirut Jawa Pos, tapi usulan ini ditolak oleh Tirza Samola. Alasannya, Jati harus memulai karir dari nol di anak cabang Jawa Pos dulu. Azrul saja mulai dari posisi jurnalis di Jawa Pos, kenapa Jati tidak?
Hengky tetap memaksa agar Jati tetap diangkat sebagai Dirut Jawa Pos. sebagai pemegang saham mayoritas (49%), tak ada yang bisa mengkontestasi permintaan Hengky. Akhirnya diangkatlah Jati sebagai salah satu direktur di JP Holding.
2017 terasa berat untuk Dahlan. Laba perusahaan terus menurun, ia dilanda rentetan kasus korupsi, dan anaknya dicopot dari jabatan Dirut di perusahaan yang ia bangun dari nol. Kemungkinan hal-hal ini membuatnya tersiar kabar Dahlan melego sahamnya ke Ciputra Group. Namun hal ini kemudian dibantah oleh Dahlan dan Ciputra.
Setahun setelahnya, pada RUPS LB Juli 2018, giliran Dahlan didesak mudur dari posisi CEO JP Holding.
Awal dari Akhir?
Banyak orang yang sulit membayangkan Jawa Pos tanpa Dahlan Iskan. Kepemimpinannya mungkin tidak sempurna, tapi ia adalah pemegang kunci kesuksesan Jawa Pos, baik dari segi jurnalistik maupun bisnis. Ketika kunci itu hilang, bisnis yang sudah dibangun selama bertahun-tahun bisa “keropos”.
Cukup sulit mencari sumber yang bisa dan bersedia menceritakan secara detail berlangsungnya RUPS LB di Graha Pena Surabaya, Juni 2018 silam itu. Dahlan sebagai tokoh kunci dan pihak yang “kalah” pun enggan membicarakannya. Deduktif menghubunginya melalui pesan WhatsApp pada 6 Januari 2022, meminta kesediaannya untuk bercerita.
“Rasanya tidak [bersedia]. Itu menyangkut guru-guru saya …. Maafkan,” kata Dahlan.
Ihwal perjalanannya mengelola dan membesarkan Jawa Pos, ia hanya mengatakan, “masa lalu bagi saya. Hahaha …. Kesannya kok [kayak] tidak ikhlas meninggalkan.”
Jika pada 2001 Majalah Pantau merilis laporan berjudul Jawa Pos adalah Dahlan Iskan, kini Jawa Pos bukan lagi Dahlan Iskan.