Jejak Korupsi Internasional Ormat Technologies

Ormat Technologies, raksasa energi panas bumi asal Israel yang beroperasi di 25 negara, kembali menjadi sorotan internasional. Investigasi mendalam Hindenburg Research bertajuk "Ormat: Dirty Dealings in ‘Clean’ Energy" mengungkap skandal korupsi lintas negara yang melibatkan pejabat tinggi di Guatemala, Kenya, dan Honduras.

Di Guatemala, Ormat diduga menyuap dua mantan pejabat senior Kementerian Pertambangan dan Energi untuk mendapatkan kontrak strategis. Kasus ini menyeret nama Alberto Pimentel Mata, mantan menteri yang kini buron dengan surat penangkapan internasional.

Kenya juga tak luput dari jejak korupsi Ormat. Perusahaan ini disebut “membuka jalan” lewat pengusaha berpengaruh yang memiliki koneksi dengan mantan Presiden Daniel Arap Moi. Kontrak miliaran dolar pun disepakati, diiringi dugaan suap besar-besaran kepada pejabat Kenya Power.

Honduras menjadi babak lain skandal ini. Kontrak proyek Geoplatanares yang diambil alih Ormat melanggar hukum lokal karena durasi 30 tahun, melebihi batas 20 tahun. Proyek tersebut berlokasi di Copán—wilayah yang dikenal dikuasai kartel narkoba—dan melibatkan kontraktor yang ditangkap atas dugaan afiliasi ke kartel.

Tak hanya di luar negeri, dua pemimpin senior Ormat Technologies, Yehezkiel Kattan dan Ravit Barniv, kini menghadapi pra-dakwaan di Israel terkait penyuapan dan pencucian uang. Bahkan CEO Ormat saat ini, Doron Blachar, pernah menjabat CFO di Shikun & Binui, perusahaan yang terlibat dalam skandal suap internasional.

Di Amerika Serikat, Ormat digugat oleh Departemen Kehakiman karena diduga memalsukan data proyek Nevada untuk mendapatkan hibah energi bersih federal.

Di Indonesia, keterlibatan Ormat di proyek PLTP Ijen memicu seruan boikot dari berbagai pihak, termasuk MUI dan gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions). Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 menegaskan larangan mendukung entitas yang terafiliasi Israel, baik langsung maupun tidak langsung.

Data BPS menunjukkan lonjakan nilai impor produk Israel ke Indonesia pada Januari–April 2024 sebesar 334,14% dibanding tahun sebelumnya. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Dukungan Kemanusiaan Palestina menuding ada upaya normalisasi hubungan dagang Indonesia–Israel yang mengkhianati semangat solidaritas untuk Palestina.

Keterlibatan DFC (U.S. International Development Finance Corporation) sebagai penyokong proyek Ormat di Indonesia menambah kontroversi. DFC juga menjadi pendiri “Abraham Fund” yang mendukung proyek di wilayah pendudukan Palestina, mengabaikan isu kemanusiaan demi kepentingan ekonomi dan geopolitik.

Hingga laporan ini terbit, upaya konfirmasi kepada pihak-pihak terkait, termasuk pejabat Indonesia dan perusahaan mitra Ormat, belum membuahkan hasil.

 

Jejak Korupsi Internasional Ormat Technologies

Oleh Fajar Nugraha

17 Agustus 2025

 

TL;DR

1. Tahun 2017, DPR RI mengunjungi proyek Ormat Technologies di AS untuk mempelajari regulasi energi terbarukan dan strategi pengelolaan geothermal.

2. Sejak 2022, Ormat Technologies aktif bekerja sama dengan ITB melalui webinar, sponsorship acara internasional, dan pengembangan SDM magister geothermal.

3. Tokoh-tokoh energi dan alumni ITB terlibat dalam memperkuat peran Ormat di proyek geothermal besar seperti PLTP Ijen dan Sarulla.

Sebagai raksasa geothermal Israel yang membangun kerajaan bisnis energi di 25 negara, Ormat Technologies memiliki beragam rekam kejahatan keuangan internasional. Hasil investigasi dari Hindenburg Research pada 1 Maret 2021 dengan judul “Ormat: Dirty Dealings in ‘Clean’ Energy”, mengungkap korupsi sistemik internasional Ormat Technologies di sejumlah negara.

Hindenburg merupakan firma riset serta investigasi keuangan forensik yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Hindenburg terkenal sering menerbitkan laporan investigatif perusahaan publik yang terlibat penipuan, kesalahan penyajian keuangan, praktik bisnis tidak etis, atau terlibat dalam kejahatan keuangan lintas negara. Di setiap laporannya, Hindenburg selalu menyertakan bukti berupa dokumen hukum, catatan keuangan, wawancara dengan mantan pekerja, dan sumber publik.

Dalam laporan investigasi Hindenburg terkait Ormat Technologies yang memakan waktu 9 bulan pengerjaan, mereka menuduh Ormat Technologies melakukan suap pada sejumlah pejabat publik di Kenya, Guatemala, dan Honduras, untuk memperoleh kontrak pengelolaan energi.

Ormat diduga menggunakan entitas terkait–yang tidak diungkapkan–untuk mengalihkan hak energi kepada pejabat pemerintah Guatemala. Entitas ini dibentuk oleh mantan karyawan Ormat yang kini menjadi konsultan independen, namun masih melapor langsung ke pimpinan Ormat. Dokumen resmi menunjukkan bahwa entitas ini menyalurkan hak energi kepada 2 pejabat tinggi yang menyetujui kesepakatan awal Ormat di negara tersebut.

“Catatan resmi perusahaan [Ormat Technologies] menunjukkan 2 pejabat senior pemerintah Guatemala adalah mantan kepala Kementerian Pertambangan dan Energi serta mantan kepala perusahaan utilitas negara,” ungkap Hindenburg dalam laporannya.

Catatan resmi perusahaan yang didapat Hindenburg adalah bukti langsung yang mengaitkan Ormat dengan pejabat senior pemerintah Guatemala.

Dalam temuan Hindenburg lebih lanjut, Menteri Pertambangan dan Energi Guatemala lainnya yakni Alberto Pimentel Mata–yang menjabat saat Ormat Technologies masuk Guatemala–dipecat dan didakwa melakukan korupsi oleh komisi antikorupsi Guatemala. Saat laporan Hindenburg terbit, Mata sedang dalam pelarian dengan surat perintah penangkapan internasional yang masih berlaku.

Tidak hanya di Guatemala, jejak korupsi Ormat Technologies yang melibatkan politically exposed persons di suatu negara juga merentang di Kenya. Dalam temuan investigasi Hindenburg, Ormat Technologies diduga kembali melakukan praktik koruptif dalam hal perizinan proyek pembangunan dan operasional mereka.

“Seorang pengusaha Kenya yang memiliki hubungan politik dengan pejabat publik, mengaku kepada kami bahwa dia lah yang 'membuka pintu' bagi Ormat di Kenya, dan memperoleh lampu hijau untuk proyek Ormat setelah pertemuan langsung dengan bos Kenya Power (yang kemudian didakwa melakukan korupsi) dan mantan Presiden Daniel Arap Moi, yang dianggap publik luas sebagai pemimpin Kenya paling korup,” tulis Hindenburg.

Mantan bos Kenya Power yang dimaksud adalah Samuel Gichuru. Ia menjabat sebagai Managing Director Kenya Power dari tahun 1984 hingga 2003. Selama masa jabatannya, Ormat Technologies menandatangani kontrak energi dengan Kenya Power pada tahun 1998.

Gichuru, bersama dengan Menteri Energi Kenya saat itu, Chris Okemo, kemudian dituduh oleh jaksa di Jersey, Inggris, melakukan pencucian uang hasil suap dan korupsi melalui front company atau perusahaan muka yang berbasis di Kepulauan Channel. Lebih lanjut dari laporan Hindenburg, Chris Okemo yang mengawasi kontrak awal dengan Ormat saat itu juga diketahui meminta suap jutaan dolar, untuk mengizinkan Ormat Technologies melakukan bisnis di Kenya.

Selain di Guatemala dan Kenya, rekam jejak korupsi Ormat Technologies kemudian mengular ke Honduras. Dari laporan Hindenburg, perjanjian pembelian listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) dengan Ormat Technologies di Honduras, ditandatangani oleh kepala perusahaan listrik negara Honduras saat itu, hanya selang beberapa hari dengan perjanjian jual-beli listrik lain yang merugikan negara. Saat laporan Hindenburg itu terbit, kepala perusahaan listrik negara Honduras, Roberto Martínez Lozano sedang diselidiki atas tuduhan korupsi yang berkaitan dengan perjanjian jual-beli listrik itu.

Lozano menjabat sebagai kepala Empresa Nacional de Energía Eléctrica (ENEE) dan pada tahun 2010 menandatangani kontrak perjanjian pembelian listrik untuk proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Geoplatanares, yang kemudian diambil alih oleh Ormat Technologies. Kontrak ini memiliki durasi 30 tahun, melebihi batas maksimum 20 tahun yang ditetapkan oleh hukum Honduras untuk proyek dengan kapasitas di bawah 50 MW, sehingga mencuatkan dugaan pelanggaran hukum.

Temuan menarik dari Hindenburg terkait aktivitas Ormat Technologies di Honduras adalah terkait lokasi proyek geothermal mereka yang berada di wilayah Copán. Kota yang terletak di bagian barat Honduras dan berbatasan langsung dengan Guatemala ini dikenal sebagai wilayah kartel narkoba.

Seorang anggota kongres Honduras memberi informasi pada Hindenburg bahwa “Anda tidak dapat beroperasi di Copán tanpa membayar kartel, geng, atau politisi korup—dan terkadang ketiganya.” Hindenburg juga menemukan bahwa kontraktor Ormat Technologies di Honduras ditangkap oleh pihak berwenang karena dicurigai menjadi front company atau perusahaan muka bagi kartel narkoba.

Rekam jejak korupsi Ormat Technologies tidak hanya menyeret para pejabat publik di Guatemala, Kenya, dan Honduras. Investigasi Hindenburg saat itu juga mengungkap adanya 2 pemimpin senior Ormat Technologies, menghadapi pra-dakwaan di Israel terkait tuduhan penyuapan, penipuan, dan pencucian uang dengan skala yang masif.

Pra-dakwaan merupakan tahap formal penuntutan pidana di Israel. Setelah jaksa membuat keputusan untuk mengajukan tuntutan pidana, terdakwa memiliki hak untuk sidang pendahuluan guna mencoba meyakinkan jaksa agar tidak mengajukan tuntutan.

Penuntutan kepada 2 orang pemimpin senior Ormat Technologies itu berkaitan dengan Shikun & Binui, sebuah firma konstruksi Israel yang menurut otoritas Israel telah menjalankan sistem yang rumit untuk menyuap pejabat pemerintah.

Jaksa dan pengadilan Israel menuduh Shikun & Binui terlibat dalam suap “sistematis” dan “besar-besaran” di Kenya dan negara-negara lain, termasuk “penyembunyian yang disengaja dari regulator dan penegak hukum”. Otoritas Israel telah secara resmi membuat keputusan mengenai pra-dakwaan, tetapi tidak mengungkapkan daftar nama lengkap.

Hindenburg kemudian menerima daftar lengkap tersangka dalam pra-dakwaan itu setelah menghubungi juru bicara Kementerian Kehakiman Israel, bersama dengan juru bicara Kantor Kejaksaan Negara Israel bidang Pajak dan Ekonomi. Daftar itu mengungkap 2 pemimpin senior Ormat Technologies menghadapi pra-dakwaan, tanpa sepengetahuan para investor.

Kedua pemimpin senior Ormat Technologies yang menghadapi pra-dakwaan itu adalah Yehezkiel (Hezi) Kattan dan Ravit Barniv.

Kattan menjadi Penasihat Umum dan Kepala Pejabat Kepatuhan Ormat Technologies pada tahun 2018. Sebelum bergabung dengan Ormat Technologies, Kattan menjabat sebagai Penasihat Umum untuk Shikun & Binui dari tahun 2006 hingga 2018. Sedangkan Ravit Barniv menjabat sebagai Direktur Ormat Technologies sejak tahun 2015. Dari tahun 2007 hingga 2012, Barniv juga bekerja untuk Shikun & Binui sebagai Direktur.

Polisi Israel dan Otoritas Sekuritas Israel memulai investigasi terhadap Yehezkiel Kattan dan Ravit Barniv pada Februari 2018. “Berdasarkan bukti yang dikumpulkan, di Kenya saja yang menjadi fokus investigasi, jumlah suapnya mencapai puluhan juta shekel telah ditransfer, menghasilkan proyek dan keuntungan senilai ratusan juta shekel,” kata Polisi Israel dan Otoritas Sekuritas Israel yang dikutip dari laporan Reuters.

Doron Blachar yang merupakan CEO Ormat Technologies sejak Juli 2020 hingga saat ini, sebelumnya juga bekerja untuk Shikun & Binui sebagai CFO dari tahun 2009 hingga tahun 2013. “Tidak jelas apakah Blachar juga menghadapi risiko dakwaan pidana, mengingat pemimpin senior Shikun & Binui lainnya menghadapi pra-dakwaan,” tulis Hindenburg.

Dalam investigasi Hindenburg, catatan koruptif Ormat tidak terbatas pada pasar internasional seperti di Guatemala, Kenya, dan Honduras saja. Di Amerika Serikat–negara saudara perusahaan asal, Israel–Ormat Technologies menghadapi gugatan perdata yang diajukan oleh Departemen Kehakiman atau Department of Justice (DoJ).

Gugatan perdata itu terkait dengan tuduhan bahwa Ormat Technologies telah secara curang menaikkan biaya dan memutarbalikkan fakta mengenai kelayakan proyeknya di Nevada, demi mendapatkan pinjaman pemerintah.

Dalam siaran pers Departemen Kehakiman Amerika Serikat yang terbit pada 28 Oktober 2016, Ormat Technologies diduga melanggar False Claims Act atau Undang-Undang Klaim Palsu, dengan mengajukan permohonan palsu untuk hibah energi bersih federal yang bukan hak mereka.

“Kami yakin Ormat memiliki tradisi koruptif yang berasal dari atas, yang telah ada selama beberapa dekade ke belakang dan berlanjut hingga hari ini [...] Ormat seakan merampok negara-negara yang diklaim akan dibantunya,” tutup Hindenburg dalam investigasinya.

Seruan Boikot Ormat Technologies

“Ormat harusnya masuk daftar boikot BDS juga. Saya masih ingat betapa bencinya para pemateri Hasbara Fellowships sama gerakan BDS di seluruh dunia. Untuk itulah Hasbara Fellowships dan mungkin program serupa lain dibuat: untuk perangi BDS di berbagai negara,” urai Leila.

Gelombang boikot produk Israel muncul kian masif di berbagai penjuru dunia. BDS menyediakan daftar lengkap perusahaan mana saja yang masuk daftar boikot karena andil dalam pendudukan tanah Palestina, apartheid, hingga genosida. Bahkan Who Profits Research Center yang selama ini fokus mengungkap dan mendokumentasikan peran perusahaan Israel dan internasional dalam genosida, juga merilis laporan soal perusahaan-perusahaan EBT asal Israel yang terlibat dalam pendudukan tanah Palestina.

Nggak ada penyesalan sama sekali ikut Hasbara Fellowships. Karena sepulang dari program itu, saya makin yakin kalo ‘live-streamed genocide’ yang dilakuin Israel mesti dapet balasan setimpal. Saya jadi tahu juga bisnis Ormat di Indonesia. Upaya boikot produk atau perusahaan Israel setidaknya bisa jadi langkah paling dekat buat bantu perjuangan Palestina,” jelas Leila tanpa penyesalan.

Seruan boikot dan rekomendasi untuk tidak menggunakan produk terafiliasi Israel, bahkan sudah dikeluarkan oleh pemerintah melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lewat Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan Terhadap Perjuangan Palestina, MUI menetapkan fatwa dan sejumlah rekomendasi untuk turut mendukung perjuangan Palestina.

Di bagian pertama Fatwa, MUI memutuskan empat poin ketentuan hukum. Poin pertama, MUI memutuskan bahwa mendukung perjuangan Palestina atas agresi Israel hukumnya wajib. Poin kedua dan ketiga, punya tujuan sama: mendistribusikan zakat, infaq, dan sedekah untuk kepentingan perjuangan rakyat Palestina. Sedangkan poin keempat tertulis “mendukung agresi Israel terhadap Palestina atau pihak yang mendukung Israel baik langsung maupun tidak langsung hukumnya haram”.

Terkait seruan boikot produk Israel, Fatwa MUI memutuskannya di bagian Rekomendasi. Terdapat tiga poin rekomendasi MUI. Pada poin ketiga, MUI menghimbau umat islam untuk semaksimal mungkin menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel, serta produk yang mendukung penjajahan dan zionisme.

Seruan boikot tidak hanya datang dari gerakan BDS di Indonesia saja. Buntut dari masih masifnya produk Israel yang diimpor ke Indonesia, membuat Koalisi Masyarakat Sipil untuk Dukungan Kemanusiaan Palestina juga mengupayakan perjuangan serupa.

Dikutip dari siaran pers Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Dukungan Kemanusiaan Palestina mengirimkan surat permohonan keterbukaan informasi publik (KIP) kepada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendagri). Surat permohonan keterbukaan informasi itu koalisi kirim melalui Pusat Data dan Sistem Informasi (PDSI) Kemendagri, terkait dugaan aktivitas impor Israel ke Indonesia.

Nadine Sherani selaku Kepala Divisi Advokasi Internasional dari KontraS mengurai latar belakang bagaimana koalisi mengirimkan surat KIP itu. Sebelum fokus pada isu perdagangan antara Israel dan Indonesia, Nadine menyebut bahwa koalisi awalnya fokus pada isu kejahatan genosidanya saja.

“Waktu itu fokus kami pada kejahatan genosida yang terjadi di Oktober 2023 sampai 2024. Kok makin ekspansif dan it's very indiscriminate karena kejahatannya menyasar ke ibu hamil, anak kecil, jurnalis, dan lain sebagainya,” ungkap Nadine saat Deduktif hubungi pada Selasa, 25 Maret 2025.

Selain fokus pada kejahatan genosida Israel, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Dukungan Kemanusiaan Palestina juga menyoroti soal Indonesia yang menjadi Dewan HAM PBB. Menurut Nadine, pidato Retno Marsudi di Mahkamah Internasional (ICJ) juga mestinya memperkuat sikap Indonesia terhadap perjuangan Palestina. Alih-alih mengecam Israel seperti yang Retno sampaikan di internasional, koalisi justru menemukan bahwa kerja sama dagang antara Israel dan Indonesia terus berlangsung.

Selain laporan investigasi dari Amnesty International Security Lab, Haaretz, dan Tempo tentang empat perusahaan keamanan Israel yang mengimpor produk spyware ke lembaga negara seperti POLRI dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Nadine menyebut bahwa nilai impor produk Israel ke Indonesia dari rentang Januari - April 2024 juga menjadi alasan koalisi mengirim surat permohonan KIP.

Impor Senjata dari Israel ke Indonesia

2016

$298,687

2017

$427,925

2018

$9,168

2019

$247,445

2020

$1.329,681

2021

$42,412

2022

$88,622

2023

$14,821

2024

$19,053

2025

$16,376

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor produk Israel ke Indonesia pada periode Januari - April 2024 mencapai USD29,2 juta atau sekitar Rp475 miliar. Nadine melihat bahwa nilai impor itu melonjak jauh dibandingkan periode Januari - April tahun 2023 sebesar USD6,7 juta atau sekitar Rp109 miliar, dengan kenaikan sebesar 334,14%.

“Karena itulah kami mengirimkan KIP pertama pada 19 Juli 2024. Kami mempertanyakan beberapa hal, misalkan, apa yang menjadi landasan hukum hubungan dagang antara Indonesia dengan Israel karena kita nggak ada hubungan diplomatik,” ungkap Nadine lebih lanjut.

Koalisi juga mempertanyakan alasan ketiadaan landasan hukum untuk tetap melanjutkan hubungan dagang. Koalisi ingin mengetahui lembaga mana saja yang melakukan pengadaan terhadap produk-produk asal Israel. Sejalan dengan permohonan KIP itu, koalisi juga menduga adanya upaya normalisasi antara Israel dan Indonesia melalui hubungan dagang antar kedua negara.

“Menurut kami, itu [upaya normalisasi dengan Israel] akan membangkangi semangat masyarakat Indonesia yang sampai hari ini masih menyatakan solidaritas untuk Palestina. Dengan masih banyak yang memboikot produk fnb, pakaian, dan lain sebagainya, itu jadi bentuk solidaritas terhadap Palestina,” tambah Nadine.

Bahkan jika Indonesia terus mengimpor produk Israel, menurut Nadine, pemerintah juga telah mengkhianati pernyataannya sendiri yang disampaikan melalui Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Anis Matta di KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Arab pada 11 November 2024.

Dalam pidatonya yang memakai bahasa Arab di KTT OKI yang dilaksanakan di Riyadh, Arab Saudi itu, Anis menyebut bahwa Israel tidak memahami bahasa apapun kecuali kekuatan, penindasan, dan kekejaman. Sehingga Anis menganggap bahwa Israel membuat keputusan-keputusan PBB, Dewan Keamanan, dan Mahkamah Internasional sekadar tinta di atas kertas.

Anis juga menyebut bahwa Indonesia mengusulkan pengerahan dukungan dari masyarakat Arab dan muslim agar berpartisipasi dalam menyokong perjuangan rakyat Palestina meraih kemerdekaan. Ia bahkan mengusulkan pembukaan akses segala saluran resmi dan yang tersedia, untuk mengirim bantuan kemanusiaan ke Palestina.

Terakhir, Anis menyampaikan bahwa Indonesia turut mendesak semua lembaga internasional untuk mengisolasi Israel dan mencabut keanggotaannya dari PBB. Desakan itu ditunjukkan untuk tidak membiarkan kejahatan perang dan genosida yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, bisa bebas tanpa hukuman.

Berdasarkan pernyataan lebih lanjut dari Nadine, Kemendagri tidak memenuhi kewajiban mematuhi UU No.14 Tahun 2008. Di mana seharusnya surat permohonan KIP dijawab selambat-lambatnya 10 hari dari sejak pertama dikirim.

Lantaran hal itu, kecurigaan koalisi terhadap pemerintah Indonesia semakin besar. Terutama bagaimana pemerintahan Indonesia tidak serius dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Koalisi juga mengirimkan surat keberatan pada 8 Agustus 2024 atas tidak terpenuhinya permohonan KIP.

“Surat permohonan KIP pertama baru dibalas 20 agustus 2024. Dan suratnya itu sangat tidak sesuai harapan. Kita minta transparansi, tapi jawaban yang kita terima hanya permohonan tidak sesuai dengan legal standing. Nah ini kan nggak masuk akal ya. Kita minta transparansi, tapi kita malah dipertanyakan legal standing-nya,” urai Nadine soal kekecewaan koalisi terhadap balasan surat permohonan KIP pertama.

KontraS kemudian mengirim surat permohonan KIP kembali pada 5 Desember 2024. Desakan yang termuat dalam surat permohonan KIP ini kurang lebih sama dengan yang pertama. Koalisi mendesak Kemendagri membuka daftar kementerian/lembaga yang mengimpor produk Israel ke Indonesia, serta mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan semua bentuk hubungan perdagangan dengan Israel.

Meski di kedua surat permohonan KIP belum disebut secara spesifik sektor bisnis apa yang mesti dihentikan, Nadine menyebut koalisi tidak menutup kemungkinan adanya efek domino dari aksi pemboikotan produk Israel di Indonesia, termasuk sektor energi yang melibatkan Ormat Technologies. KontraS dan koalisi juga siap membuka kemungkinan advokasi di berbagai sektor bisnis antar Israel dan Indonesia.

“Masyarakat Indonesia pada akhirnya mesti mengkonsolidasi diri soal isu ini [pemboikotan terhadap produk Israel], sebagai salah satu upaya menekan Israel menghentikan genosida terhadap Palestina,” tutup Nadine tentang upaya pemboikotan produk Israel di semua sektor bisnis.

Seruan pemboikotan Ormat Technologies juga datang dari Wishnu Try Utomo CELIOS. Seperti halnya Nadine, Wishnu juga mengungkapkan bahwa gerakan BDS di Indonesia mesti memasukkan Ormat Technologies pada daftar produk atau entitas bisnis Israel yang mesti diboikot.

“Mungkin nggak sih memboikot raksasa ekstraktif Israel [Ormat Technologies] di Indonesia ini? Saya melihat BDS ini cukup berhasil di Indonesia [...] Kayaknya dengan keberhasilan itu, kita perlu mempelajari bagaimana memposisikan Ormat seperti halnya produk-produk lain yang terafiliasi Israel,” tegas Wishnu.

DFC yang menjadi salah satu penyokong Ormat Technologies di proyek PLTP Ijen, sebetulnya punya keterlibatan kuat dalam mendukung pendudukan wilayah Palestina oleh Israel. Dalam sebuah publikasi dari Departemen Perdagangan Amerika Serikat (U.S. Department of Commerce) pada Desember 2023, DFC diketahui mendanai proyek-proyek Israel, termasuk yang beroperasi di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Gaza.

Selain itu, pada 20 Oktober 2020, DFC bersama pemerintah Israel dan Uni Emirat Arab mengumumkan pembentukan “Abraham Fund”. Produk “Abraham Fund” adalah instrumen investasi trilateral senilai lebih dari USD3 miliar untuk proyek pembangunan, termasuk Israel dan Tepi Barat, sebagai bagian dari implementasi Abraham Accords.

Abraham Accords sendiri merupakan perjanjian normalisasi diplomatik yang dimediasi Amerika Serikat pada 2020 antara Israel dan sejumlah negara Arab seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Pada publikasi Foreign Affairs yang merupakan jurnal kebijakan luar negeri dan hubungan internasional yang diterbitkan Council on Foreign Relations (CFR) di Amerika Serikat, Abraham Accords dianggap mengabaikan isu pendudukan Palestina demi kepentingan ekonomi dan geopolitik regional.

Keterlibatan DFC yang mendanai proyek Ormat Technologies di Indonesia sekaligus membentuk Abraham Fund itu memunculkan indikasi: bahwa DFC mengesampingkan Palestina, meski wilayah Palestina menjadi bagian dari koridor atau kawasan ekonomi proyek mereka.

Deduktif berusaha menghubungi semua pihak yang terlibat dalam kerja sama bisnis Ormat Technologies dengan perusahaan Indonesia maupun pejabat pemerintahan. Upaya konfirmasi Deduktif dilakukan melalui surat elektronik resmi, layanan kontak di website resmi, serta menghubungi ke nomor telepon perusahaan pada 24 April, 8 Juli, dan 18 Juli 2025. Namun hingga laporan ini terbit, belum ada jawaban dari upaya konfirmasi kami.