Jejak Peretasan di LPM Teknokra Universitas Lampung

Jejak Peretasan dan Represi di Teknokra
Sekitar lima puluh orderan berupa makanan dipesan dari akun ojek daring Mitha Setiani Asih pada Rabu malam, 10 Juni 2020. Meski berasal dari akunnya, bukan Mitha yang memesan. 
“Saya pikir karena taruh HP sembarangan, mungkin kepencet sendiri,” kenang Mitha. 
Satu kesamaan dari semua pesanan: pada kolom note to driver, ada anjuran bagi pengemudi ojek daring untuk menghubungi nomor kontak WhatsApp Mitha. Alamat pengirimannya di sekretariat Teknokra, ada pula yang dikirim ke alamat lain yang tak jauh dari area kampus.
Ratusan pesan membanjiri WhatsApp Mitha. Beberapa panggilan telepon masuk. 
Mitha mencoba membatalkan pesanan dengan melaporkan kepada customer service penyedia layanan ojek daring. Nahas, gawainya kadung macet (hang) karena terlalu banyak orderan dan pesan yang masuk.

Muasal Intimidasi hingga Upaya Peretasan
Peristiwa yang menimpa perempuan kelahiran Tulang Bawang pada Agustus 1998 ini, terjadi satu hari sebelum acara diskusi Teknokra tentang diskriminasi rasial terhadap Papua. Diskusi itu digelar pada Kamis, 11 Juni 2020, pukul 19.00 WIB.
Pada sesi diskusi itu, Mitha bertugas memoderasi jalannya diskusi. Pembicaranya antara lain ada Surya Anta Ginting juru bicara Front Rakyat Indonesia for West Papua (FRI-WP), Jhon Gobai selaku Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), dan Tantowi Anwar dari Serikat Jurnalisme untuk Keberagaman (SEJUK).
Diskusi yang diadakan oleh Teknokra itu, digadang sebagai respons lanjutan atas tindakan pengepungan serta rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus 2019 silam. Diskusi itu menegaskan tentang sikap Teknokra sendiri sebagai pers mahasiswa, terutama dalam diskriminasi rasial terhadap Papua. Meski akhirnya Mitha dan rekan-rekannya di Teknokra diganjar intimidasi dan upaya peretasan.
Awalnya Mitha tidak tahu sama sekali apa penyebab ia bisa dibombardir orderan fiktif. Namun ketika tandem Mitha yakni Chairul Rahman Arif—biasa dipanggil Irul—yang menjabat sebagai Pemimpin Umum Teknokra, juga menerima ancaman, Mitha kemudian yakin bahwa peretasan akun ojek daring miliknya terjadi karena diskusi soal Papua yang diadakan oleh Teknokra. Sedangkan ancaman untuk Irul saat itu, berupa pesan dari seseorang yang mengaku telah mengantongi identitas lengkap Irul.
Ketika Mitha mangadu pada customer service penyedia layanan ojek daring soal apa yang dialaminya, ia diberitahu kalau setiap satu pesanan yang hendak dibatalkan, butuh waktu satu jam untuk pembekuan. Jelas hal itu tidak mengatasi masalah secara signifikan. Pesanan tetap masuk dan pengemudi ojek daring yang mengantar pesanan ke sekretariat Teknokra kian bertambah.
Perasaan Mitha tak karuan, ia takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ketika terus membatalkan pesanan makanan ojek daring. Lantas salah satu pengendara ojek daring menyarankan Mitha untuk pergi dari sekretariat Teknokra, posisi di mana Mitha berada saat itu.
“Aku matiin HP dan ambil barang-barang berharga, kamera, takut Sekre diobrak-abrik atau [barang-barang] hilang,” ungkap Mitha menirukan kepanikannya saat itu.
Mitha dan rekannya yang masih berada di Teknokra, dievakuasi ke rumah aman milik Sekretariat AJI Bandar Lampung. Di malam itu, sudah banyak alumni Teknokra dan anggota AJI yang menunggu. Meski sudah berada di rumah aman, Mitha masih merasa panik karena pesanan ojek daring tetap masuk.
Semua orang yang berada di sekretariat AJI berusaha menenangkan Mitha. Namun untuk alasan keamanan bagi Mitha dan teman-temannya, mereka kemudian dipindahkan lagi ke rumah aman lain. Di sana mereka berembuk apakah bakal tetap melanjutkan diskusinya atau tidak.
Mitha urung tugur pada keputusannya untuk melanjutkan diskusi. Pasalnya, ia khawatir teror peretasan tidak hanya berhenti di situ saja. Di benak Mitha, upaya peretasan itu bisa saja merembet pada orang tua Mitha, teman-teman lain, dan berdampak buruk pada Teknokra sebagai lembaga.
“Irul tetap yakinin untuk ngadain diskusi. Karena memang kalau kami hentikan diskusi itu, tandanya kami kalah dan mereka berhasil menghentikan pergerakan kami,” tegas Mitha.
Keputusan saat itu, esoknya diskusi tetap harus berjalan. Guna menghindari kemungkinan buruk lain, device berbeda dipakai Mitha pada saat diskusi. Seperti yang direncanakan sejak awal, diskusi disiarkan langsung lewat YouTube.
Meski diskusinya berjalan lancar, namun teror terhadap Mitha masih dilancarkan. Kolom komentar saat live di YouTube berlangsung, dibombardir oleh akun-akun yang menentang gagasan diskusi Teknokra. Selama diskusi berlangsung, panggilan masuk pun berkali-kali datang dari nomor Ayah dan Ibu Mitha. Panggilan dari keduanya Mitha abaikan karena fokus memoderasi jalannya diskusi.
Apa yang Mitha khawatirkan terkait dampak peretasan yang akan merembet ke orang-orang terdekat, akhirnya benar terjadi. Setelah diskusi usai, Mitha baru tahu kalau nomor milik Ayah dan Ibunya juga turut diretas. “Bapak dan Ibu dapat telepon dari nomor luar negeri berkali-kali. Bapak dan Ibu itu pisah. Dipikir nomor debt collector. Akhirnya mereka matiin nomor takutnya penipuan,” kata Mitha.
Ketika Mitha berupaya menghubungi kembali Ayah dan Ibunya, nomornya sudah tidak bisa dihubungi. Mitha enggan membuat panik kedua orang tuanya atas apa yang terjadi satu hari sebelum diskusi. Mitha yakin nomor mereka berdua diretas ketika tahu kalau akun WhatsApp Ibunya tiba-tiba berubah menjadi akun bisnis.
“Mungkin Ibu salah klik link,” kelakar Mitha pada Ibunya agar tidak panik saat itu. 
Tidak seperti kasus-kasus orderan fiktif yang menyasar korbannya lewat pesanan dari device atau akun lain. Di mana upaya untuk melakukan itu cukup mudah dan bisa dilakukan oleh siapapun asalkan mengetahui posisi serta kontak target. Sedangkan teror orderan fiktif yang diterima Mitha, nampaknya dilakukan oleh pihak yang punya akses serta kemampuan peretasan yang tidak biasa.
Kita bisa melihat bagaimana upaya peretasan yang dialami Mitha, tidak hanya pada akses akun ojek daring miliknya saja. Akun Facebook dan Instagram milik Mitha serta Teknokra, turut dibobol akses masuknya. Bahkan teman dan orang tuanya juga terkena peretasan.
Irul sebetulnya telah mendapat delapan kali panggilan telepon dari seseorang yang mengaku alumni Unila. Masih di Rabu siang, satu hari sebelum diskusi dimulai, Irul juga mendapat panggilan dari Wakil Rektor Kemahasiswaan dan Alumni, yakni Prof. Yulianto, untuk menghadap ke ruangannya.
“Waktu aku dipanggil ke WAREK III, aku ngajak salah satu kru Teknokra. Waktu itu jam 11.30 kalau nggak salah. Kami naik ke ruang WAREK III di lantai 3 Gedung Rektorat. Terus ke sana nemuin Prof. Yul [Yulianto],” urai Irul kepada Tim Kolaborasi Deduktif dan Tirto.id pada Kamis, 19 Januari 2023.
Menurut keterangan Mitha dan Irul, Prof. Yul meminta agar diskusi saat itu mesti seimbang pembahasannya dengan adanya penambahan pembicara. Arahan itu dikemukakan Prof. Yul karena pihak kampus telah dihubungi oleh Badan Intelijen Negara (BIN).
“Saya kurang paham di-WhatsApp atau ditelepon, yang saya ingat pak WAREK [Prof. Yul] bilang waktu itu dihubungi BIN,” tambah Irul.
Sama halnya seperti ketakutan Mitha, yang paling Irul takutkan dari momen sebelum diskusi atau bahkan ketika peretasan terjadi, adalah Teknokra kemudian dibekukan. Irul khawatir Teknokra tidak bisa jadi wadah belajar lagi buat mahasiswa-mahasiswa Unila yang punya minat di bidang jurnalistik.
Ketika Tim Kolaborasi Deduktif dan Tirto.id menghubungi Prof. Yulianto selaku WAREK Kemahasiswaan Unila pada 20 Januari 2021, dia enggan memberikan informasi lebih lanjut terkait intimidasi pada diskusi Teknokra soal Papua.
“Wah terkait itu sudah lupa lho, mas. Karena sudah lama [kejadiannya]. Maaf nih nggak bisa menjelaskan lebih lanjut ya, mas,” kata Prof. Yulianto lewat pesan singkat.
Lebih lanjut, ia pun menampik bahwa telah dihubungi pihak BIN sebelum acara diskusi dari Teknokra dimulai. “Nggak benar itu!” dalihnya. Padahal dari keterangan Mitha dan Irul, Prof. Yulianto mengaku telah mengaku dihubungi BIN dan meminta agar adanya penambahan pembicara dengan pembahasan yang lebih berimbang dan tak terlalu tendensius.
Jauh hari sebelum diskusi yang digelar oleh Teknokra soal Papua, pada tahun 2019 telah ada dua diskusi yang diselenggarakan oleh LPM dan mendapat intimidasi serta dibubarkan oleh aparat.
Pertama, pada Agustus 2019, diskusi “New York Agreement dan Situasi Nduga“ yang diinisiasi oleh LPM Daunjati dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, dibubarkan oleh kepolisian serta rektorat. Dalih kepolisian, diskusi luring itu tidak mengantongi izin. Diskusi publik itu sendiri bertujuan merespons isu internasional mengenai New York Agreement dan kekerasan aparat di Nduga.
Berselang dua bulan dari pembubaran diskusi LPM Daunjati, pada Oktober 2019, diskusi “Framing Media & Hoaks: Papua dalam Perspektif Media Arus Utama“ yang diadakan oleh LPM Teropong dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), dibubarkan oleh polisi dan pihak kampus.
Dalihnya persis dengan pembubaran diskusi LPM Daunjati, pihak Polsek Sukolilo Surabaya menganggap bahwa diskusi mesti dibubarkan karena tidak ada izin dari aparat. Padahal secara teknis, diskusi itu berada di lingkungan internal kampus. Di mana sebelum-sebelumnya, LPM Teropong tak perlu meminta izin kepolisian untuk menggelar kegiatan atau diskusi di kampus.
Riwayat Represi di Teknokra
Bukan kali pertama Mitha menghadapi represi selama aktif di Teknokra. Sebelum menjadi pemimpin redaksi, Mitha begitu karib dengan represi yang datang dari pihak kampus maupun dari pihak luar (aparat, buzzer pemerintah, dll.). Maka dari itu, upaya teror, doxxing, dan intimidasi, sudah tidak asing lagi bagi Mitha dan kawan-kawannya di Teknokra.
[INSERT INFOGRAFIS ATAU TIMELINE REPRESI YANG DIALAMI MITHA SELAMA DI TEKNOKRA]
Setiap merilis majalah atau tabloid misalnya, menurut Mitha, acapkali pihak kampus mempermasalahkan apabila ada laporan yang kelewat kritis. Imbasnya, permintaan penurunan atau penghapusan berita sudah lusinan kali dialamatkan pada redaksi Teknokra.
Kendati demikian, Mitha dan kawan-kawannya di Teknokra selalu punya kartu truf untuk menangani masalah komplain atau permintaan take down tulisan dari pihak kampus itu. Biasanya mereka mendengarkankan terlebih dahulu semua komplain dan permintaan itu. Baru di akhir pembicaraan, Mitha dan kawan-kawan selalu bilang bahwa laporannya tidak bisa diubah atau diturunkan karena sudah naik cetak.
“Nggak tahu ini intervensi atau bukan, anggaran kami setiap tahun dipangkas. Website seringkali down,” sambung Mitha.
Pernah pada November 2018, Mitha mengalami doxxing akun Instagram dan cyber-bullying. Kejadian itu berawal ketika BEM Unila menggagas acara Hari Pahlawan Nasional. Pada flyer yang dipublikasi, ada potret Habib Rizieq. Karena acara itu jadi bahan diskusi mahasiswa Unila, Mitha memutuskan untuk meliput masalah itu. Baru setelah Mitha melakukan wawancara, ia terkena doxxing bahkan menerima pelecehan seksual.
Akun Instagram Mitha di-screenshoot, fotonya diambil, lalu diunggah di akun Instagram buzzer Rizieq. “Ini cabe-cabean Pasar Inpres yang nggak suka dengan Habib Rizieq,” kata Mitha soal isi caption yang yang melakukan doxxing padanya.
Setelah itu, akun Instagram Mitha dibombardir komentar serta pesan langsung berisi hinaan. Temannya yang khawatir akan kondisi Mitha, kemudian mengambil gawainya. Akun Instagram Mitha kemudian dikunci dan postingannya dihapus. Meski demikian, kotak masuk pesan langsung Instagram Mitha tetap digempur pesan bernada hinaan bahkan melecehkan.
“Hampir digebukin mahasiswa juga pernah, waktu mau KKN,” timpal Mitha menyambung rentetan represi yang ia alami selama di Teknokra.
Kejadian itu bermula ketika ada pesan masuk ke bilik pesan langsung akun Instagram Teknokra. Isi pesan itu menyebutkan bahwa ada mobil partai politik masuk area kampus. Di mobil yang terparkir di depan Fakultas Hukum (FH) Unila itu, ada stiker Prabowo yang terpasang di body-nya.
Saat itu Mitha tengah mengisi posisi redaktur di Teknokra dan kebetulan sedang libur. Namun Mitha tetap mencari informasi tentang siapa pemilik mobil partai politik itu. Ia coba wawancara Satpam dan mahasiswa, namun tidak ada yang tahu persis mobil itu milik siapa. Mitha bergantian jaga dengan temannya bernama Alfani ketika ia hendak membeli makan.
Ketika Alfani berjaga menggantikan Mitha, di sana dia membuat breaking news untuk Teknokra dengan headline mobil partai politik masuk kampus. Berita sela itu dibaca juga oleh mahasiswa yang tergabung di UKM Mahasiswa Pengkaji Masalah Hukum (Mahkamah) Unila. Mereka sontak mendatangi Alfani. Di parkiran depan FH Unila, Alfani dicekik dan ditarik-tarik.
“Maksud kamu apa buat berita seperti itu? [Mobil] itu bukan punya mahasiswa. Hapus! Hapus!” kata Mitha sambil menirukan gertakan dari orang-orang UKM Mahkamah.
Menurut Mitha, saat itu Alfani diminta untuk menunjukkan kartu pers. Alfani juga diminta untuk menghapus dokumentasi mobil itu. Alfani menolak tegas untuk menghapusnya dan hal itu membuat mahasiswa di UKM Mahkamah kian berang.
Sekretariat Teknokra kemudian didatangi oleh sekelompok mahasiswa dari UKM Mahkamah itu. Mereka bersitegang dengan Mitha dan kawan-kawan dari Teknokra lainnya. Wakil dekan sampai turun tangan ketika Mitha dan yang lain sudah dikerubungi kelompok UKM Mahkamah.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, yang membawa mobil itu ke kampus adalah mahasiswa FH yang orang tuanya memang seorang politisi. Atas kejadian itu, UKM Mahkamah mendapat kecaman dari AJI Bandar Lampung. Namun akhirnya UKM Mahkamah meminta maaf atas intimidasi yang dilakukan pada Mitha dan temannya waktu itu.
Pengalaman Mitha direpresi ketika aktif di Teknokra, masih berlanjut di tahun 2019. Saat itu Mitha berangkat bersama sebelas kawan lainnya dari Lampung ke Jakarta untuk meliput gelombang aksi penentangan Omnibus Law. Sialnya, setelah di lokasi aksi, Mitha terpisah dari kelompok dan terpencar ke barisan mahasiswa.
“Aku hilang sinyal, dikejar-kejar [aparat], nggak ada teman-teman,” kenang Mitha dari perjalanannya meliput aksi Omnibus Law mewakili Teknokra.
Mitha sempat disangka kawan-kawannya telah ditangkap oleh aparat. Menurut Mitha, waktu itu ia sembunyi di kantor TVRI. Kemudian ia masuk mobil orang lain untuk numpang isi ulang baterai gawainya. Setelah itu baru bisa hubungi AJI Jakarta, lalu kemudian ditolong oleh kawan-kawan dari AJI Indonesia.
Pengalaman liputan itu masih belum seberapa bagi Mitha. Masih di tahun 2019, ada kasus kematian mahasiswa Mapala Unila yang meninggal karena kekerasan oleh senior. Mahasiswa itu tadinya tengah mengikuti kegiatan pendidikan dasar UKM Pecinta Alam Cakrawala di Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Lampung.
Menurut Mitha, pihak kampus mencoba untuk menutupi kabar itu. Namun dari pihak keluarga korban, sama sekali tidak terima kalau kasus itu ditutupi. Buntutnya, keluarga korban memberi informasi eksklusif pada redaksi Teknokra. Di malam harinya, berita itu langsung naik di website Teknokra.
Keesokan harinya, Teknokra diundang ikut konferensi pers. UKM itu kemudian dibekukan oleh kampus. Ketika konferensi berlangsung, banyak yang benci pada publikasi Teknokra terkait kasus itu. Teknokra diminta untuk tidak mengabarkan tentang kasus itu lagi setelahnya.
Yang terakhir, Mitha sempat andil di liputan Teknokra tentang kematian mahasiswa yang meninggal ketika tengah berenang apnea jarak 50 meter. Korban yang tenggelam saat itu adalah seorang asisten dosen pada mata kuliah Widya Selam.
Dalam tabloid Teknokra edisi 154, awak Teknokra mengkritisi fasilitas kolam renang Unila yang tidak layak dipakai karena tak memenuhi standar internasional. Beberapa fasilitas kolam seperti kamar bilas, kolam renang anak, hingga lantai kolam, sebagian rusak. Belum lagi jumlah life-guard yang tidak sesuai dengan panjang dan lebar kolam.
Selain itu, dalam tabloid Teknokra edisi 154 juga dimuat reportase khusus yang berjudul “Rambu Kuning Tragedi Apnea”. Reportase itu mempertanyakan tingkat pengawasan dari pihak dosen pengampu dan pengawas kolam renang. Terutama bagaimana mungkin seorang mahasiswa yang memiliki track record pernah menjadi peserta berenang melewati Selat Sunda dan menjabat sebagai asisten dosen mata kuliah Widya Selam ini, meninggal saat berenang.
Lantaran tulisan yang mengkritik fasilitas kolam renang Unila dan reportase khusus tentang tragedi apnea itu, sejumlah mahasiswa Unila jurusan Pertanian tidak terima.
“Datang ke sekretariat marah-marah. Mereka bilang buat apa berita seperti itu. Seperti biasa kami dengar mereka marah-marah. Beritanya sudah naik cetak. Sudah disebar,” kata Mitha menirukan kemarahan mahasiswa jurusan Pertanian itu ke awak Teknokra.
Penolakan Laporan dan Upaya Bangkit dari Trauma Menahun
Di hari yang sama ketika diskusi Teknokra soal Papua berlangsung, Mitha dan Irul yang difasilitasi oleh LBH Bandar Lampung, melaporkan tindakan peretasan serta doxxing yang dialaminya. Laporan itu ditembuskan pada Direktorat Reserse Khusus Polda Lampung yang memang biasa menangani kasus kejahatan siber.
Laporan itu kemudian ditolak mentah oleh kepolisian. Menurut Mitha, laporannya ditolak karena dianggap tidak ada pasal yang bisa menjerat pelaku. Padahal saat itu, diskusi di kepolisian sudah alot. Namun hanya berujung aduan dan tak ada tindakan lebih lanjut untuk menangani kejahatan siber yang dialami Mitha, Irul, dan orang tua Mitha.
Upaya peretasan kepada Mitha dan orang tua serta kawannya di Teknokra, telah diadukan juga pada Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Selain pendampingan, rekomendasi tindakan yang diminta saat itu oleh Mitha kepada SAFEnet adalah pengamanan terhadap akun media sosial dan nomor telepon Mitha sesegera mungkin.
Ketika itu, Mitha belum sempat menjalani uji digital forensik karena kadung panik dan trauma. Selain itu, SAFEnet juga terkendala situasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) ketika pandemi.
Tim Kolaborasi Deduktif dan Tirto.id menghubungi Damar Juniarto selaku Direktur Eksekutif dari SAFEnet pada Jumat, 14 Januari 2023, untuk mengetahui sejauh mana kasus peretasan terhadap jurnalis ini masih terjadi hingga hari ini. Wabil khusus terkait apa yang dialami Teknokra dan kaitannya dengan isu soal Papua.
Menurut Damar, dari angka serangan terhadap perusahan pers ataupun komite keselamatan jurnalis, trennya memang tengah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Termasuk peretasan terhadap Mitha oleh Orang Tak Dikenal (OTK) yang juga ditangani oleh SafeNet.
“Misalnya salah satunya ketika media atau jurnalis mengangkat isu Papua, maka mereka dapat serangan secara digital maupun intimidasi yang dilakukan oleh aparat intelijen. Ambil contoh apa yang terjadi pada Jubi dan Suara Papua, kita bisa melihat ini terjadi pada persma dalam hal ini Teknokra-Unila,” urai Damar.
Damar menerangkan bahwa ketika pelaku mengakses akun ojek daring dari Mitha untuk pemesanan fiktif, harusnya pasal itu yang digunakan polisi. Namun ternyata itu tidak dilakukan ketika mementahkan laporan.
Lebih lanjut menurut Damar, perlindungan terhadap persma itu terbatas. Dari situ sebetulnya ada beberapa hal yang mesti diwaspadai, mengingat persma tidak punya andil dalam iklim kebebasan pers di indonesia. Maka Damar menganjurkan memang sudah perlu sebuah mekanisme perlindungan baru bagi persma, terutama di bidang digital.
“Perlu ditekankan juga mekanisme perlindungan lebih pasti lagi dari mereka. Berani saja tidak cukup, perlu pelibatan Dewan Pers dalam memberi perlindungan. Jaminan juga dari banyak pihak, bisa dari kepolisian, komnas atau rektorat memberi jamin itu. Yang sering jadi pelaku juga pihak rektorat,” tambah Damar.
Dalam kasus peretasan terhadap jurnalis, menurut Damar belum ada sama sekali kasusnya yang berhasil diungkap oleh kepolisian. Misalnya dalam kasus Teknokra, Damar menyebut bahwa ada doxxing juga terhadap ketua AJI Bandar Lampung yang saat itu membantu advokasi kasus Teknokra.
Kasus doxxing itu menambah rentetan. Ketika hendak membantu advokasi kasus Teknokra, ketua AJI Bandar Lampung saat itu malah menjadi sasaran doxxing. Teman-teman di Lampung mencoba melaporkan ke polisi dan laporannya tidak diterima.
Bagi Damar, semua upaya peretasan atau intersepsi terhadap jurnalis ini punya pola yang serupa. Terutama jika mengacu pada isu maupun target yang kita bidik untuk dikritisi.
“Polanya jelas, semua ini masalah politik. Serangan ini sifatnya politis. Jadi dia tidaklah serangan random yang sifatnya iseng,” pungkas Damar.
Kini setelah lulus dari Unila dan demisioner dari Teknokra, Mitha telah bekerja sebagai staf komunikasi di sebuah Non-Governmental Organization (NGO) yang berfokus pada isu lingkungan.
Sulit bagi Mitha untuk membuang ingatan terkait rentetan represi—entah dari kampus, aparat, hingga sesama mahasiswa lain—yang dia alami selama aktif di Teknokra.
“Sekarang aku ada ketakutan sendiri. Terutama kalau ada orang naik motor berhenti, cuma laki-laki sendiri,” tutup Mitha soal apa yang dirasakan hingga hari ini dari pengalaman traumatiknya.
Meski demikian, pedal gas hidup mesti Mitha tancap terus. Semua luka dan trauma di waktu silam, ia jadikan bahan bakar untuk menjalani aktivitas harian di pekerjaan hari ini maupun pengabdiannya pada masyarakat.