Ketika Anak Jadi Tersangka, Di Mana Posisi Negara?
TL;DR
Selvi (18) dan Yuli (16)--bukan nama sebenarnya, kakak-beradik yang tengah berkonflik dengan hukum (ABH) karena dituduh membunuh ayahnya, S (55) asal Duren Sawit. Mereka baru selesai mengikuti “pelajaran” di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Tangerang, Banten.
Sebelumnya, Selvi dan Yuli menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh sang ayah, mereka sering diancam dibunuh. Bahkan, Selvi pernah diusir dari rumah oleh sang ayah sampai tinggal di jalanan dan mengalami pelecehan seksual. Selvi dan Yuli merasakan trauma mendalam.
“Sampai sekarang, rasa trauma itu (KDRT dari ayah) masih ada,” kata Selvi saat ditemui Deduktif di salah satu ruang kelas LPKA Kelas I Tangerang, Banten, Jumat, (24/1/2025).
Deduktif mewawancarai kuasa hukum mereka, Markus Lettang dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) secara terpisah. Markus mengatakan Selvi dan Yuli menerima kekerasan sejak kecil, saat Selvi berumur 4 tahun dan Yuli 2 tahun. Kekerasan itu dilakukan sejak mereka tinggal bersama ibu kandung dan ayahnya di daerah Citayam, Depok, Jawa Barat.
“Mereka sering dimarahi, bahkan dipukul oleh ayahnya,” kata Markus, Kamis, (28/11/2024).
S juga sering melakukan KDRT kepada ibu kandung mereka. Termasuk ketika sang ibu melerai suaminya saat menganiaya kedua anaknya itu. Ketika Selvi menginjak usia 8 tahun, ayahnya bercerai dengan sang ibu. S membawa kedua anaknya tinggal bersamanya dan ibu tiri mereka di Duren Sawit, Jakarta Timur.
Selama tinggal di Duren Sawit, kedua anaknya dihalang-halangi untuk bertemu atau sekadar berkomunikasi dengan ibu kandungnya di Citayam. Selvi dan Yuli masih mengalami KDRT dari sang ayah.
Mereka kerap menjadi sasaran kemarahan S apabila mabuk dan kalah judi. S pernah menyeret tubuh Selvi dari dalam hingga keluar rumah, menampar, memukul dengan ikat pinggang, menendang, tidak memberi makan, mengunci Selvi di gudang terbengkalai, hingga membenturkan kepala Selvi ke tembok.
“Mereka dianggap anak yang nggak berguna,” ucap Markus.
Tak hanya kekerasan fisik dan verbal, kedua anak tersebut juga tidak pernah diberi uang jajan selama sekolah. Saat Selvi masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia berinisiatif untuk berjualan makanan ringan di jalan demi memenuhi kebutuhannya dan sang adik agar bisa jajan.
Setelah masuk Kelas 2 SMK Perhotelan di Jakarta, Selvi terpaksa putus sekolah karena tidak dibiayai sang ayah. Ia jadi lebih sering menghabiskan waktu di rumah dan lebih sering mengalami KDRT dari ayahnya. Ia sempat menerima ancaman pembunuhan dan pengusiran dari rumah.
Selvi akhirnya hidup di jalanan, mengamen di lampu merah. Ia tidur berpindah-pindah, menumpang di kontrakan teman, emperan toko, hingga kolong jembatan. Ia pernah mengalami kekerasan seksual ketika tidur di emperan toko, saat usianya masih 15 tahun.
“Hal itu membuat kondisi jiwa Selvi terguncang,” ucap Markus.
Setelah dua tahun lebih hidup di jalan, Yuli meminta Selvi pulang. Selvi terus mendapat kekerasan, diancam menggunakan pisau, diperintah menjaga warung S hingga dini hari. Tak hanya anak, sang istri yang merupakan ibu tiri dari ABH juga kerap menerima kekerasan ketika membela kedua anaknya..
“Jadi mamanya nggak berani belain juga. Jangankan dia, masyarakat di sekitar saja kalau (S) ditegur, malah dilawan,” ucapnya.
Pada 22 Juni 2024 dini hari lalu, sang ayah menuduh Selvi mencuri kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) miliknya. Selvi mengelak. Tapi S malah membawa sebilah pisau yang diacungkan ke hadapan Selvi.
“Lama-lama gue bunuh lu. Gue enggak takut masuk penjara,” cerita Markus mengulang perkataan S kala itu.
Singkat cerita, Selvi merasa terancam, takut, dan was-was. Sekitar pukul 05.30 pagi, saat Selvi bangun tidur, ia melihat sang ayah tidur lelap di depan televisi. Khawatir akan keselamatan diri dan sang adik yang terus terancam, Selvi mengajak Yuli membunuh ayahnya.
Selvi menusuk ayahnya, sementara Yuli memukul dengan papan penggilasan. S pun tewas.
“Setelah peristiwa tersebut, mereka mengamankan diri ke Depok, ke rumah keluarganya,” Jelas Markus.
Pagi harinya, saudara jauh mereka datang. Lantaran masih dalam keadaan terkunci, pintu didobrak. Ia terkejut ketika melihat tubuh S terbujur kaku dengan luka tusukan di bagian tubuh. Saat itu juga ia langsung melaporkan peristiwa itu ke polisi.
Setelah jenazah S dikebumikan, Selvi dan Yuli pun pulang ke rumahnya di Duren Sawit. Polisi pun menghampiri kedua ABH tersebut untuk dimintai keterangan atas meninggalnya S.
Setelah dilakukan penelusuran dan sidik jari yang ada pada barang bukti, mereka berdua menjadi tersangka. Atas kasus tersebut, keduanya dijerat dengan Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Mengingat kasus tersebut pelakunya merupakan seorang anak, berdasarkan Pasal 81 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) , hukuman yang diberikan paling lama hanya setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Artinya, hukuman maksimum kepada Selvi dan Yuli menjadi 10 tahun penjara. Dalam kasus ini, mereka divonis 8 tahun penjara. Selama proses persidangan, kedua ABH ditahan di Sentra Mulya Jaya Jakarta milik Kementerian Sosial (Kemensos).
Namun melihat latar belakang ABH yang melakukan pembunuhan kepada S, LBH APIK selaku kuasa hukum tak terima dan melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Alhasil, kedua anak tersebut dijatuhi hukuman masing-masing selama dua tahun penjara.
“Meskipun ada pembunuhan, tapi latar belakangnya kayak gitu, mereka jadi korban KDRT dan pengancaman pembunuhan sejak kecil” ucap Markus.
Sayangnya jaksa melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Daerah Khusus Jakarta. Hakim PT Jakarta menolak banding. Pada Senin, 2 November 2024 lalu jaksa kembali melakukan kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA). Di tingkat kasasi, hakim memisahkan antara putusan Selvi dan Yuli. Hasilnya, Selvi divonis dua tahun penjara, sementara Yuli lima tahun penjara.
“Jaksanya menang di situ karena hakim membatalkan putusan sebelumnya (masing-masing dua tahun penjara),” tutur Markus.
Rencananya LBH APIK akan mengajukan peninjauan kembali (PK). Harapannya, vonis yang dijatuhkan kepada Yuli kembali seperti putusan yang diberikan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur yakni dua tahun masa tahanan.
“Argumentasi itu dari awal sudah kita dorong, baik saat sidang di pengadilan hingga nanti di LPKA,” tukasnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita menyatakan seharusnya negara tidak memberi hukuman pidana kepada kedua ABH tersebut. Sebab, penjara bukanlah sebuah solusi untuk menghukum anak-anak. Penjara juga, menurutnya, merupakan upaya terakhir untuk menghukum anak. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 3 UU SPPA 11/2012.
“Anak itu tidak bisa gunakan skema peradilan pidana seperti orang dewasa. Situasi anak dan orang dewasa berbeda. Makanya butuh pendekatan khusus,” kata Dian kepada Deduktif, Senin, (9/12/2024).
Pendekatan pidana, katanya, malah akan menambah banyak ABH yang ditahan di Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Pemasyarakatan. Bahkan, terdapat ABH yang terpaksa ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) maupun Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) orang dewasa.
Berdasarkan informasi dari Sistem Database Pemasyarakatan (DSP) Direktorat Jendral Pemasyarakatan per tanggal 24 Oktober 2024, terdapat 2.147 ABH yang ditahan di UPT Pemasyarakatan. Sebanyak 1.550 orang atau 72% ditahan di LPKA, terdiri dari 1.537 laki-laki dan 13 perempuan. Sementara itu yang ditahan di Rutan atau Lapas Dewasa sebanyak 597 orang atau 28%, terdiri dari 561 laki-laki dan 36 perempuan.
Dari ribuan kasus tersebut, lima kasus paling banyak yaitu: perlindungan anak 957 kasus; pencurian 387 kasus; narkotika 165 kasus; penganiayaan 119 kasus; menggunakan senjata api dan tajam 115 kasus; dan pembunuhan 44 kasus.
Dari kasus tersebut, lima LPKA yang paling banyak dihuni oleh ABH yaitu: LPKA Kelas II Bandung, Jawa Barat sebanyak 121 kasus; LPKA Kelas I Medan, Sumatera Utara 116 kasus; LPKA Kelas I Kutoarjo, Jawa Tengah 104 kasus; LPKA Kelas II Bandar Lampung, Lampung 92 kasus; dan LPKA Kelas I Blitar, Jawa Timur 89 kasus.
Sementara itu, lima Rutan atau Lapas orang dewasa yang paling banyak dihuni oleh ABH yaitu: Lapas Kelas IIA Lubuklinggau, Sumatera Selatan sebanyak 23 kasus; Lapas Kelas IIB Lubuk Pakam, Sumatera Utara dan Lapas Kelas IIA Labuhan Ruku masing-masing 19 kasus; Lapas Kelas IIA Warungkiara Sukabumi, Jawa Barat 14 kasus; dan Lapas Kelas IIA Sibolga, Sumatera Utara 12 kasus.
Melihat data dari banyaknya ABH yang dipidana, Dian menyarankan agar pemerintah menerapkan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif untuk kasus anak berhadapan dengan hukum.
Hukuman yang diberikan bisa berupa bekerja sosial di lingkungan masyarakat dengan dipantau oleh tokoh masyarakat hingga tokoh agama. Sementara itu untuk pemulihan mental ABH bisa melibatkan konselor.
“Kami menekankan kepada pemerintah adanya peran profesional yang bisa menjadi konseling mereka,” tuturnya.
Pulih dari Trauma
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) meminta kepada pemerintah melalui LPKA agar memberikan pemulihan kepada kedua ABH Duren Sawit yaitu Selvi dan Yuli. Penanganan yang dilakukan bisa dengan cara memberikan konseling agar memulihkan trauma KDRT dan kekerasan seksual yang selama ini dialami mereka.
“Pemulihan trauma bisa dengan cara berdiskusi dengan konselor atau psikolog dari LPKA yang difasilitasi oleh negara,” kata Tim Advokasi PKBI Nasional, Budhi Hermanto kepada Deduktif, Rabu, (11/12/2024).
Selain berdiskusi dengan konselor, Budhi mengatakan pemulihan juga bisa dilakukan melalui cara interaksi dengan teman sebaya selama di LPKA. Kemudian, memberikan waktu untuk belajar di luar LPKA untuk melakukan kerja-kerja sosial hingga gerakan lingkungan. Selain itu diberikan cuti untuk mengunjungi keluarga, dan diberi pengurangan masa tahanan atau pun pembebasan bersyarat.
Selain kesehatan mental, ia menyatakan kesehatan fisik ABH juga perlu diperhatikan. Seperti diarahkan untuk melakukan olahraga, diberi makanan yang bergizi, dan hingga diajarkan pola hidup sehat.
“Hal seperti ini perlu diperbanyak ya, bukan hanya diceramahi. Kalau anak-anak diceramahi itu sebel. Ajak mereka melihat situasi sosial supaya mereka belajar langsung,” tuturnya.
Tak hanya di LPKA saja, setelah ABH bebas, pria yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif PKBI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini menyarankan agar pemerintah tetap mendampingi ABH untuk melakukan pemulihan ke psikolog yang berada di puskesmas.
Sementara itu, Psikolog pendidikan dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Rose Mini Agoes Salim mengatakan kedua ABH memiliki trauma yang harus dipulihkan. Tujuannya agar ABH tidak memiliki trauma dan dendam kepada orang lain di kemudian hari.
Caranya dengan diberikan pendidikan yang inklusi selama di LPKA. Supaya setelah keluar dari masa tahanan, ABH bisa melanjutkan sekolahnya. Pemerintah pun berkewajiban untuk membantu masuk ke sekolah formal atau Sekolah Paket C. Selain itu, mereka juga perlu diberikan keterampilan lain.
“Tapi kalau hanya mengurung dia tanpa memberikan informasi, pendidikan, dan membantu mendampinginya, dia tidak akan berkembang,” kata Rose kepada Deduktif, Selasa, (10/12/2024).
Namun kenyataannya, saat ini masih banyak ABH yang belum mendapat hak pendidikan. Berdasarkan Laporan Kepala LPKA triwulan 3 tahun 2024, dari 1.440 ABH yang ditempatkan di LPKA, baru 799 anak saja yang menerima hak pendidikan. Sementara 641 ABH belum mendapatkan hak pendidikan sebagaimana mestinya.
Anak yang mendapatkan pendidikan formal dari 799 ABH yaitu: tingkat Sekolah Dasar (SD) enam anak; SMP 54 anak; SMA 178 anak; Paket A 111 anak; Paket B 224 anak; dan Paket C 226 anak.
Penanganan Negara Pulihkan ABH
Setelah ditahan pada Juni 2024 lalu, Selvi dan Yuli ditempatkan di Sentra Mulya Jaya Jakarta milik Kementerian Sosial (Kemensos). Selama di sana, mereka mengaku mendapat banyak kegiatan.
Selvi menjelaskan, selama di Sentra Mulya Jaya sejak Juni sampai Desember 2024, ia bersama sang adik mendapatkan penanganan psikososial dari psikiater. Kemudian, mereka juga diberi pelatihan pernapasan untuk mengontrol emosi, lalu jalan-jalan di sekitar sentra untuk melatih fokus dan sadar lingkungan. Mereka juga diajak ke Sea World Ancol, Jakarta Utara untuk melakukan menyegarkan pikiran.
“Kalau di sentra enak jalan-jalan. Kami tidak merasa seperti dikurung,” kata Selvi.
Mereka juga diberi fasilitas berolahraga, senam, mengoperasikan komputer, hingga membuat kerajinan tangan. Ditambah lagi dengan bermain bersama teman sebaya yang membuat kakak-beradik itu mulai membaik dari trauma yang dialami.
“Sekarang sudah mau ingat baiknya ayah saja, karena ingin fokus ke depan saja,” tuturnya.
Setelah selesai menerima pembinaan dari Sentra Mulya Jaya Jakarta, Selvi dan Yuli dipindahkan ke LPKA Kelas I Tangerang, Banten pada 4 Desember 2024. Selama kurang dari dua bulan di LPKA, keduanya melakukan aktivitas seperti sekolah, penyaluran minat bakat, hingga belajar agama.
Keduanya saat ini bersekolah di SMK Jurusan Teknik. Sebab, di LPKA Kelas I Tanggerang hanya ada satu jurusan saja. Jurusan tersebut berbeda dari jurusan Selvia sebelumnya yaitu SMK Perhotelan dan Yuli SMK Perkantoran di kawasan Jakarta.
Setiap hari Senin sampai Jumat, keduanya mengikuti pembelajaran di kelas seperti murid sekolah pada umumnya. Pada saat Deduktif menemui keduanya, Jumat, (24/1/2024), mereka baru mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah selama empat hari.
Mulai 4 Desember 2024, keduanya menjalani masa pengenalan di lingkungan LPKA. Selama itu mereka berkenalan dengan teman sebaya dan petugas LPKA, serta membaca buku di perpustakaan.
Sore hari mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler (ekskul), Selvi memilih futsal dan pramuka, sedangkan Yuli lebih menyukai kesenian. Di LPKA Kelas I Tangerang terdapat ekskul futsal, voli, pramuka, kesenian, hingga pembinaan keagamaan. Namun sejauh ini, keduanya belum mendapatkan pembinaan psikososial selama di LPKA Kelas I Tangerang.
“Kegiatan ngaji wajib, senang kalau diajarin ngaji. Perasaan kami tuh kaya lebih tenang,” kata Selvi.
Selain itu, LPKA juga mengadakan kegiatan kerja bakti. Bagi ABH perempuan diminta untuk membersihkan kamar, sementara ABH laki-laki membersihkan halaman.
Selama dilakukan pembinaan di LPKA Kelas I Tangerang, ibu kandungnya baru menjenguk satu kali. Berbeda ketika di Sentra Mulya Jaya Jakarta, sang ibu lebih sering menengok lantaran lebih dekat dari rumahnya di Citayam, Depok, Jawa Barat.
“Pesan dari mamah, kalau sudah pulang (selesai masa pembinaan), berubah. Karena ada empat adik yang tunggu di rumah,” tutur Selvi.
Kepala Seksi Pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Tangerang mengatakan, pihaknya memiliki penanganan dalam melakukan pemulihan trauma KDRT dan kekerasan seksual untuk kedua ABH Duren Sawit. Pembinaan yang diberikan sesuai dengan UU SPPA 11/2012 dan UU Nomor 22/2022 tentang Pemasyarakatan.
Dalam Pasal 3 UU SPPA 11/2012, disebutkan, terdapat 16 hak anak dalam proses peradilan, diantaranya: diperlakukan secara manusiawi; dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain; melakukan kegiatan rekreasional; bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam; memperoleh pendidikan dan kesehatan.
Sedangkan dalam Pasal 4 UU 22/2022 tentang Pemasyarakatan, fungsi pemasyarakatan meliputi: pelayanan; pembinaan; pembimbingan kemasyarakatan; perawatan; pengamanan; dan pengamatan.
Anjar menjelaskan, pihaknya telah menyiapkan orang tua asuh atau wali untuk Selvi dan Yuli selama dibina di LPKA Kelas I Tangerang. Kemudian karena Selvi dan Yuli baru masuk, mereka akan diberikan pendampingan dari psikolog dua kali dalam sebulan untuk menangani trauma.
Pendampingan yang dilakukan bisa secara kelompok, seperti kelas menggambar dan mewarnai, hingga bercerita. Selain itu ABH juga bisa diskusi secara personal dengan konselor untuk menceritakan keluh kesahnya, ketika mengalami kasus, maupun di dalam LPKA Kelas I Tangerang.
Konselor yang memberikan penanganan kepada mereka yaitu dari internal LPKA Kelas I Tangerang. Ada juga yang didatangkan dari Universitas Al-Azhar Jakarta, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk Dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Tangerang
“Kalau yang personal, ABH akan diminta cerita tentang permasalahannya, apa saja keluhan yang dirasakan di sini. Nanti psikolognya akan menyampaikan kepada kami,” kata Anjar saat ditemui Deduktif di LPKA Kelas I Tangerang, Banten, Jumat, (24/1/2025).
Selain psikolog, ABH di LPKA Kelas I Tangerang juga diberikan fasilitas pendidikan formal di tingkat SD, SMP, SMK, dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Total seluruh anak di LPKA Kelas I Tangerang sebanyak 123 orang. Setiap kelas diisi maksimal 15 anak.
Ia mengatakan, setelah ABH selesai masa pembinaan, mereka masih bisa melanjutkan pendidikannya di LPKA Kelas I Tangerang. Ia mencontohkan ABH berinisial AG, yang pernah terlibat kasus penganiayaan bersama Mario Dandy.
AG pernah dibina di LPKA Kelas I Tanggerang sejak Juni 2023. Setelah bebas pada 24 Agustus 2024 lalu, AG tetap melanjutkan pendidikannya di LPKA Kelas I Tangerang.
“Kalau pindah sekolah cukup sulit administrasinya. Kalau lanjut sekolah di sini bisa seminggu sekali datang, akan kami bantu permudah pendidikannya,” ucapnya.
Ia mengatakan saat ini LPKA Kelas I Tangerang juga telah bekerjasama dengan salah satu perusahaan otomotif untuk program magang dan penyaluran tenaga kerja. Apabila memiliki kemampuan, ABH dapat dipekerjakan di perusahaan tersebut.
Saat ini, kata Anjar, sudah ada empat siswa yang bekerja di perusahaan itu. Selain itu lulusan dari SMK LPKA Kelas I Tangerang juga banyak yang bekerja sebagai pelaut, Tenaga Kerja Wanita (TKW), hingga jasa keamanan.
“Jadi dengan bekal pendidikan dan keterampilan yang diberikan, bisa membuat ABH mendapatkan pekerjaan setelah selesai masa pembinaan di LPKA,” tuturnya.
Lebih lanjut, Anjar mengatakan apabila terdapat ABH seperti Yuli masih dalam proses persidangan di pengadilan, LPKA Kelas I Tangerang bisa memberikan izin untuk mengikuti persidangan tersebut. Hal tersebut juga berlaku bagi ABH lainnya yang ada di LPKA Kelas I Tangerang.
“Bisa kami bantu, kami fasilitasi jika ada surat dari pengadilan,” ujar Anjar.