TL;DR
Sore itu hujan tiba-tiba saja turun ketika Resti (31) tengah membeli lima jeriken air yang ia pesan dari penjual air pikulan di dekat rumahnya. Sejak air Sungai Kapuas di Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat tercemar akibat aktivitas tambang bauksit, keluarga Resti tak lagi mengandalkan sungai sebagai sumber air bersih.
Saban sore, ia membeli air dengan harga Rp5 ribu. Tak menentu berapa jeriken yang ia beli setiap hari, kadang tiga jeriken, lima jeriken , bahkan terkadang bisa beli hingga 8 jeriken air. Jika ditotal, Resti bisa menghabiskan Rp140-224 ribu dalam sebulan hanya untuk membeli air bersih.
“Pas menstruasi terasa sekali kalau saya lebih banyak pakai air,” tutur Resti kepada Deduktif, Minggu, (9/11/2024).
Resti merupakan perempuan asli Tayan Hilir. Rumahnya berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar. Untuk urusan minum, kini Resti mengandalkan air galon isi ulang yang ia beli seharga Rp7 ribu per galon. Namun, bila tak ada lagi uang, ia menyisihkan satu panci besar berisi air dari jeriken , kemudian ia masak sendiri untuk dikonsumsi.
Saat Sungai Kapuas di Tayan Hilir belum tercemar, Resti hanya cukup membeli 1-2 jeriken air untuk kebutuhan masak. Namun kondisi sungai berubah drastis sejak industri tambang bauksit mulai beroperasi di Tayan. Airnya berubah keruh dan penuh endapan lumpur.
“Dulu air sungai masih bisa diminum, sekarang kalau dipakai mencuci malah bikin baju jadi kuning. Sejak ada tambang kondisinya jadi susah,” ungkap Resti.
Perusahaan tambang bauksit yang mengepung Tayan di antaranya Unit Bisnis Pengelolaan (UBP) PT Aneka Tambang (Antam) yang telah melakukan eksplorasi di wilayah Tayan sejak tahun 2013. Kemudian PT Indonesia Chemical Alumina yang sejak 2010 melakukan kegiatan penambangan di bibir Sungai Kapuas, Tayan Hilir.
Perusahaan tambang lainnya yang mengeruk bauksit di Tayan adalah PT Bintang Tayan Mineral dan PT Kapuas Bara Mineral. Diketahui PT Bintang Tayan Mineral dan PT Kapuas Bara Mineral merupakan dua perusahaan yang memiliki konsesi tambang besar di kawasan ini.
Lewat publikasi Trend Asia, organisasi masyarakat sipil independen yang bergerak sebagai akselerator transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan di Asia, PT Bintang Tayan menguasai 1.028,87 hektare lahan, sedangkan PT Kapuas Bara memiliki konsesi seluas 9.245 hektare.
Hasil tambang dari PT Antam turut dikirimkan ke smelter PT Bintan Aluminium Indonesia (BAI) di Mempawah, yang baru-baru ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo untuk proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) fase 1.
Pertambangan dan smelter bauksit yang mengepung Sungai Kapuas, telah menjadi sumber pencemar sungai terpanjang di Indonesia itu. Kata Resti, sungai yang dahulu jadi tempat mencari ikan kini tak lagi produktif.
“Untuk kebutuhan makan sehari-hari, saya mencari ikan di sekitar Sungai Kapuas, Tayan Hilir. Sebelum tercemar bisa dapat 5-6 kilo ikan untuk sekali menyelam, sekarang buat dapat satu ikan ukuran sedang susah,” tutur Resti.
Tambang PT Indonesia Chemical Alumina (ICA) selain menyebabkan pencemaran, juga memicu gatal-gatal pada warga. Pada awal tahun 2024 tanggul PT ICA jebol dan mengakibatkan limpasan limbah kaustik yang termasuk ke dalam limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ke lingkungan sekitar.
Sebagai bentuk kompensasi, PT ICA hanya menyediakan air bersih dan layanan pengobatan gratis. Layanan terakhir dijanjikan dua kali setahun, namun sejauh ini baru dilaksanakan satu kali pada Januari 2024 lalu.
“Air bersih sebagai bentuk kompensasi cuma satu bulan sekali datangnya, sementara warga pakai air tiap hari,” keluh Resti.
Ahmad Syukri, pegiat lingkungan Link-Ar Borneo, lembaga riset dan advokasi lingkungan di Kalimantan Barat, bilang pencemaran ini bukan saja berdampak pada lingkungan tapi juga kesehatan warga.
“Ketika limbah kaustik mencemari sungai, dampaknya bukan hanya merusak ekosistem, tetapi langsung dirasakan warga, terutama mereka yang sehari-harinya bersentuhan langsung dengan air sungai,” ujar Ahmad kepada Deduktif, Minggu, (22/9/2024).
Ia menambahkan, kasus jebolnya tanggul limbah PT Indonesia Chemical Alumina (ICA) pada awal 2024 menjadi salah satu contoh nyata betapa buruknya pengelolaan limbah tambang di Tayan Hilir. Limbah yang mengalir ke Sungai Kapuas tak hanya memperburuk pencemaran, tetapi juga menciptakan krisis kesehatan bagi masyarakat setempat.
Resti sendiri mengaku keluarganya sering mengalami masalah kulit setelah menggunakan air sungai untuk mandi. “Kami sekeluarga gatal-gatal. Kulit anak-anak bahkan benjolan gatalnya sampe berair. Enggak selamanya bisa beli air bersih ke tukang air. Kadang enggak ada uang, ya, mandi di sungai,” tutur ibu dua anak itu.
Penelitian Ramdhani, dkk pada 2023 (Pdf, hlm 110) melakukan uji kualitas air di DAS Kapuas dengan mengobservasi lima titik daerah di Kalimantan Barat, yakni Landak, Sintang, Sanggau, Pontianak, dan Kapuas Hulu. Peneliti menentukan status mutu air dengan membandingkan data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya.
Hasilnya terjadi perubahan kualitas air karena ada pencemaran air yang diakibatkan oleh pelbagai jenis limbah domestik dan industri yang dibuang ke sungai. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kualitas air Sungai Kapuas dari hulu hingga hilir masuk dalam kategori “cemar sedang”, terhitung dari tahun 2020 hingga 2022.
Kondisi ini menunjukkan betapa krisis pencemaran air Sungai Kapuas telah menciptakan beban berat bagi masyarakat, terutama perempuan seperti Resti, yang harus berjuang keras memenuhi kebutuhan dasar keluarga mereka.
Kisah perempuan terdampak lain datang dari Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Adalah Remi (46) seorang petani yang tanahnya diserobot perusahaan sawit PT Kalimantan Lestari Mandiri (KLM) untuk jalur pembuangan limbah perusahaan.
PT KLM merupakan anak perusahaan dari usaha Group Tianjin Julong Trade Development Co Ltd asal China. Korporasi sawit itu punya konsensi seluas 5.101 hektare yang terbentang di Kecamatan Mantangai.
Limbah dari PT KLM dibuang langsung ke Sungai Mantangai, berdekatan dengan rumah Remi. Perempuan dua anak itu tak paham kenapa pihak perusahaan tega merusak tanah ladangnya untuk buangan limbah. Aktivitas itu bikin sawahnya tak subur.
“Mereka (PT KLM) bikin parit di sepanjang sawah milik saya untuk aliran limbah ke Sungai Mantangai,” ucap Remi kepada Deduktif, Rabu, (18/12/2024).
Parit-parit itu telah merusak tanaman di ladang Remi termasuk padi dan sayur-mayur yang ia tanam. Sejak 2015, Remi terpaksa gantung cangkul karena tanah pertaniannya tak subur lagi. Musababnya, limbah pupuk PT KLM mencemari lahan sawah dan ladang. Padahal, komoditas padi jadi sumber penghasilan utama untuk keluarga kecilnya. Dalam sekali panen, kata Remi, ia bisa mendapatkan 100 karung gabah. Jika ditotal ia bisa mendapatkan sekitar 50 kg beras. Sayur-sayur seperti sawi dan kol, juga ia jual ke pasar.
“Saya bisa simpan itu beras buat 3 bulan konsumsi sendiri, tidak perlu lagi beli. Sayur juga sama enggak perlu beli, saya bisa jual sayurnya, kalau ada lebih bisa dibagikan ke tetangga,” tungkas Remi.
Tak cuma dampak ekonomi yang Remi rasakan atas pengerusakan lingkungan yang dilakukan PT KLM, dari aktivitas perusahaan tersebut, ia juga didera masalah kesehatan. Pasalnya, warga Desa Mantangai Hulu masih menggunakan air dari Sungai Mantangai untuk kebutuhan sehari-hari mereka seperti masak dan mandi.
Kini, Remi dan warga Desa Mantangai lainnya tak lagi menggunakan air sungai untuk kebutuhan masak. Sebab dari tahun ke tahun, air sungai mengalami perubahan warna dan rasa akibat semakin banyak perkebunan kelapa sawit beroperasi di Kecamatan Mantangai, ditambah dengan keberadaan tambang emas ilegal, dan tambang batu bara yang terletak di hulu sungai.
Meski Remi dan keluarganya tak menggunakan air sungai untuk memasak, mereka masih memakainya untuk mandi. Keterbatasan ekonomi membuatnya tak mampu membeli air bersih dalam jumlah besar. Meski sering merasa gatal-gatal di tubuh setelah menggunakannya, mereka tak memiliki pilihan lain. Remi bilang, disekitar area kemaluannya juga sering terasa gatal dan beruam.
“Kalau gatal diobatin pake obat warung, ruam-ruam di sekitar kemaluan enggak terlalu parah. Cuma kalau di badan itu sampai berair bentol-bentolnya,” kata Remi.
Remi tak punya air bor. Bantuan air bersih dari pemerintah daerah juga tak ia dapat. Sebagai ikhtiarnya, Remi mengandalkan air hujan sebagai pasokan air bersih.
Kondisi yang dialami Resti dan Remi dilihat oleh Irene Natalia Lambung, Ketua Badan Eksekutif Komunitas (BEK) Solidaritas Perempuan Mamut Menteng, yakni gerakan perempuan pemimpin yang mendorong penghapusan kebijakan diskriminatif di Kalimantan Tengah, sebagai bentuk beban ganda yang mesti dipikul perempuan.
Ya, perempuan selain sebagai penyedia pangan bagi keluarganya, mereka juga bertanggung jawab memastikan ketersediaan air bersih. Tak hanya menguras waktu dan tenaga, hal ini juga berdampak pada ekonomi mereka. Ketika akses terhadap air bersih berkurang, perempuan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli air bersih.
“Beban ganda ini memperbesar risiko kesehatan mereka, terutama dalam sistem reproduksi. Apalagi, banyak perempuan yang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan memadai untuk mengatasi masalah ini,” ujar Irene kepada Deduktif, Selasa, (17/12/2024).
Krisis air bersih yang melanda Tayan Hilir dan Mantangai Hulu adalah alarm bahaya betapa rentannya kehidupan masyarakat, terutama perempuan, ketika lingkungan di sekitar mereka rusak.
“Saya hanya ingin hidup normal lagi, seperti dulu. Tidak perlu khawatir soal air setiap hari,” pungkas Resti.
Resti dan Remi adalah bukti pengabaian negara yang telah gagal melindungi warganya dari kehancuran lingkungan yang mematikan. Mereka tak hanya dirampas haknya atas air bersih, tetapi juga dipaksa menanggung beban yang semakin berat–mengorbankan kesehatan, penghasilan, hingga martabat mereka sebagai manusia.