Lanskap Baru Bisnis Kredit Konsumer: Kartu Kredit vs Paylater?

Kredit konsumer di Indonesia sedang menuju lanskap baru dengan kehadiran paylater. Paylater tumbuh sangat pesat, sementara kartu kredit nyaris stagnan. Potensi pasar yang seharusnya bisa dijangkau oleh kartu kredit, terambil oleh paylater yang dianggap menawarkan lebih banyak keunggulan.

 

Bank Indonesia (BI) mencatat selama pandemi Covid-19, sirkulasi kartu kredit konsisten terkontraksi. Pada 2020, tercatat hanya 16,94 juta unit kartu kredit beredar atau minus 3% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2021, jumlah kartu kredit beredar kembali turun 3% menjadi 16,51 juta unit. 

 

Angka tersebut bila dibandingkan total penduduk Indonesia yang 267 juta jiwa berdasarkan sensus kependudukan terakhir Badan Pusat Statistik (BPS), maka sirkulasi kartu kredit hanya menjangkau lebih kurang 6% penduduk.  Bila angka sirkulasi pada 2021 dibandingkan dengan jumlah penduduk dewasa yang sebanyak 182 juta jiwa, maka hanya mengakuisisi 9% populasi. 

 

Dari sisi volume dan nilai transaksi juga mengalami penurunan. Tahun 2020, volume transaksi kartu kredit tercatat terkontraksi hingga 21%. Pada 2019 tercatat 349,21 juta transaksi, sedangkan sepanjang setahun setelahnya hanya tercatat sebanyak 274,68 juta transaksi. 

 

Secara nilai transaksi kartu kredit juga mengalami terkontraksi hingga 31%. Pada 2020 total nilai transaksi kartu kredit sebesar Rp 238.903,61 miliar, dibandingkan tahun 2019 yang mencapai Rp 342.682,83 miliar. 

 

Sementara jika direntang lebih jauh, sirkulasi kartu kredit tumbuh 3% pada periode 2009-2021. Dari sisi nilai dan volume transaksinya, BI mencatat dalam rentang 2009-2021 masih ada pertumbuhan. Rata-rata pertumbuhan transaksi kartu kredit dari sisi volume sebesar 4%, dan secara nilai tumbuh 6% pada periode 2009-2021. 

 

Namun, bila rentang tersebut diperpendek periode 2015-2021, rata-rata pertumbuhan sirkulasi kartu kredit hanya 0,5%. Sementara rata-rata pertumbuhan nilai dan volume transaksinya masing-masing hanya 0,4% dan 2%. Angka ini lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan nilai keseluruhan kredit dalam periode sama yang 6%. 

 

Pandemi memang memukul bisnis kartu kredit. BI sebetulnya telah berusaha mengungkit kinerja bisnis kartu kredit melalui pemangkasan suku bunga. Tercatat BI dua kali melakukan hal itu, yakni pada 1 Mei 2020 dengan memangkas batas atas suku bunga dari 2,25% menjadi 2% dan pada 1 Juli 2021 menjadi 1,75%. 

 

Kendatipun, kebijakan BI tersebut rupanya belum mampu mengungkit bisnis kartu kredit secara signifikan. Sepanjang 2021 volume transaksi hanya naik 3% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 281,90 juta kali. Nilai transaksi hanya naik 2% sepanjang 2021 dibandingkan tahun sebelumnya menjadi Rp244.515,98 miliar. 

 

Melempemnya industri kartu kredit inilah yang barangkali menjadi alasan Citibank menghentikan lini bisnis consumer banking pada April tahun lalu, setelah beroperasi lebih kurang 53 tahun sejak 1968.  Kartu kredit adalah jualan utama Citibank di pasar ritel nasabah. Citibank adalah perusahaan pertama yang mengenalkan kartu kredit ke masyarakat Indonesia pada 1989 lalu. 

 

Sejak saat itu, berdasarkan situs resmi mereka, nasabahnya terus berkembang dan telah menerbitkan 1,2 juta kartu kredit sampai 2019. Angka tersebut termasuk yang paling besar di negeri ini. 

 

Citibank kini fokus ke bisnis kredit institusional, sebagaimana disampaikan CEO Citi Indonesia, Batara Sianturi dalam keterangan resminya pada 16 April 2021 lalu. Batara menilai peluang bisnis lebih besar terdapat pada fokus baru tersebut, mengingat sampai saat ini Citibank telah melayani 90% dari 20 perusahaan terbesar di negeri ini.  

 

“Pada tahun lalu, kami mengumpulkan dana sebesar lebih dari US$ 10 miliar untuk para klien di Indonesia,” kata Batara terkait potensi bisnis kredit institusional. 

 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menilai lambatnya pertumbuhan bisnis kartu kredit terpengaruh penurunan sektor ritel konvensional seperti mal dan restoran yang menjadi pasar utamanya. 

 

“Penurunan bahkan sebelum pandemi. Dengan adanya pandemi, penurunan semakin dalam,” kata Bhima pada 27 April 2021. 

Mengacu kepada survei penjualan eceran BI yang menjadi indikator sektor ritel, penurunan memang sudah terlihat pada Desember 2019. Liburan Natal dan Tahun baru tak mampu mengerek Indeks Penjualan Riil (IPR) bulan tersebut yang tercatat turun 0,5% secara tahunan (year on year/YoY). Kelompok barang perlengkapan rumah tangga, misalnya hanya tumbuh tipis 4,9%.

Pada Desember 2020, IPR tercatat anjlok lebih dalam dengan kontraksi sebesar 19,2% (YoY). Angka ini pun lebih dalam dari bulan sebelumnya yang kontraksi 16,3% (YoY). Penurunan pada akhir tahun lalu paling terpengaruh di kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar minus 10,3% (YoY) dan sandang minus 59,7% (YoY).

Kontraksi IPR berlanjut pada Januari 2021 yang tercatat minus 16,4% (YoY). Penurunan terdalam pun masih pada kelompok sandang sebesar minus 46,3% (YoY) dan makanan, minuman, dan tembakan yang minus 7% (YoY).

Dalam laporannya, BI menyebut kontraksi yang berlanjut pada awal 2021 lalu lantaran penurunan permintaan konsumen setelah libur Natal dan Tahun Baru. Khususnya terimbas pembatasan pemberlakuan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh pemerintah.

Merujuk laporan KPMG pada 2019 bertajuk Retail Payments in Indonesia: Who Will Drive the Cashles Revolution?, salah satu penyebab lambatnya penetrasi kartu kredit di Indonesia adalah pengetatan regulasi dari BI. Hanya penduduk berpenghasilan di atas Rp 3 juta yang bisa mengajukan kepemilikan kartu kredit. 

Kebijakan yang efektif berjalan pada 2015 tersebut bertujuan menjaga tingkat kredit macet atau non performing loan (NPL) stabil. Rasio NPL yang bagus menurut BI adalah di bawah 5%, berujuk Peraturan Bank Indonesia No 6/10/PBI tahun 2004. 

Begitu juga lantaran aturan yang mengharuskan penyedia kartu kredit menyerahkan rincian transaksi, termasuk identitas pribadi pengguna ke kantor pajak. Hal ini membuat masyarakat kurang tertarik menggunakan kartu kredit memperhatikan keamanan data pribadi. Aturan ini berlaku efektif pada 2016 lalu. 

 

Momentum Paylater

 

Saat bisnis kartu kredit meredup, paylater malah tumbuh pesat. Fintech Report 2021 oleh DSInnovate mencatat paylater (33,9%) sebagai produk tekfin kedua terbanyak digunakan masyarakat, di bawah e-money (53,7%). Tiga platform yang paling banyak digunakan publik adalah Shopee Paylater, Gopaylater, dan Kredivo. 

 

Secara frekuensi, berdasarkan laporan yang sama, rata-rata transaksi para pengguna layanan paylater adalah sebulan sekali. Meski demikian, jumlah yang setiap hari bertransaksi menggunakan paylater tak sedikit. Tercatat sebanyak 19% dari total pengguna Shopee Paylater yang bertransaksi setiap hari. Lalu, 18% pengguna Gopaylater dan 15% pengguna Kredivo melakukan hal serupa. 

 

Kami mencoba mendapatkan angka pasti dari pengguna paylater dengan menghubungi Vice President Marketing & Communication Kredivo, Indina Andamari pada 30 Maret 2022 lalu. Pilihan kepada Kredivo, lantaran platform ini telah berdiri sejak 2016 dan salah satu yang paling awal menyediakan layanan paylater. Kredivo tercatat bernaung di bawah PT FinAccel Finance Indonesia. 

 

Indina menyatakan, jumlah pengguna aktif Kredivo saat ini mencapai 5 juta orang. Angka tersebut pun tumbuh dua kali lipat dalam 10 bulan. “Rata-rata pengguna bertransaksi 25 kali menggunakan Kredivo setiap tahunnya,” katanya. 

 

Pengguna paylater khususnya Kredivo didominasi oleh mereka yang berusia 20 - 35 tahun, first-jobber dan mayoritas berdomisili di Jabodetabek,” imbuhnya. 

 

Pertumbuhan pesat bisnis paylater tersebut, setidaknya karena empat hal: kemudahan memperoleh akses kredit, menjadi alternatif kartu kredit, aman, dan terkoneksi dengan platform belanja digital. 

 

Bagas (26), seorang penulis copy di Jakarta merasa mendapatkan banyak kemudahan dengan menggunakan paylater. Bagas sudah sejak Desember 2019 rutin menggunakan Shopee Paylater.  

 

Pada awalnya, Bagas hanya penasaran dengan metode pembayaran Shopee Paylater ketika membuka e-commerce Shopee. Ia tak bisa menggunakan metode tersebut, lalu menanyakan hal itu ke customer service Shopee. Ia kemudian diminta mendaftarkan diri agar bisa menggunakan Shopee Paylater. 

 

“Pada saat aktivasi awal Shopee Paylater, saya harus meng-upload foto KTP dan selfie. Ditambah mengisi data pribadi lainnya,” kata Bagas saat kami temui di sebuah kedai kopi di daerah Kemang pada 12 Maret 2022 lalu. 

 

Bagas mula-mula mendapat batas kredit sebesar Rp 750 ribu. Angka yang menurutnya cukup lumayan untuk memenuhi kebutuhan bulanan sebelum gaji turun. Ia pun menggunakan separuh dari batas kredit tersebut untuk berbelanja makanan, seperti mie instan, ikan makarel, kopi, gula, dsb. 

 

Kala itu, Bagas mengaku memilih jangka 1 kali cicilan dengan bunga 0%. Nilai total transaksi awalnya saat itu hanya sekitar separuh dari batas kredit yang dimilikinya. Ia membayar tagihan tersebut pada tanggal 25 bulan setelahnya. 

 

“Sejauh ini sih cukup terbantu. Saya gak punya kartu kredit. Dan pas adanya fitur paylater ini, sangat ngebantu ketika mau berbelanja di e-commerce atau toko online. kata Bagas. 

 

Setelah itu, Bagas terus secara rutin menggunakan paylater untuk membeli keperluan lain, dari mulai produk fashion hingga kandang kucing peliharaannya. Secara bertahap, batas kreditnya meningkat dan kini mencapai Rp 3 juta. 

 

Persepsi pengguna paylater lain juga tak jauh beda dengan Bagas, sebagaimana tercatat dalam 2021 Indonesian e-Commerce Consumer Behavior Report Katadata Insight Center (KIC) dan Kredivo. 

 

Sebanyak 58% pengguna e-commerce menilai keunggulan menggunakan paylater sebagai alat pembayaran lantaran kemudahan memperoleh akses kredit cepat. Persepsi ini tertinggi ketiga di bawah “dapat memenuhi kebutuhan ketika tidak memiliki dana cukup” (69%) dan “alternatif pilihan pembayaran cicilan selain kartu kredit” (67%).

 

Ketiga persepsi tersebut dan pengalaman Bagas, menunjukkan paylater menjangkau publik yang selama ini belum tersentuh kartu kredit. Hal ini dikuatkan pula dengan data Kredivo bahwa lebih 60% dari total pengguna baru pertama kali mendapatkan akses kartu kredit pertama. 

 

Persepsi terbanyak lain yang muncul, yakni: aman karena sudah terdaftar dan diawasi OJK (53%), fleksibel dalam pembayaran cicilan (52%), bunga rendah (45%), dan banyak digunakan di e-commerce (44%). 

 

Berdasarkan Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021 dari DSInnovate, paylater berada di bawah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Hal ini lantaran platform paylater berinduk kepada perusahaan pembiayaan, misalnya Shopee Paylater yang di bawah PT Commerce Finance. 

 

Aturan ini pula membedakan paylater dengan pinjaman online atau P2P lending yang operasionalnya di bawah Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. 

 

Laporan tersebut juga mencatat rentang suku bunga 11 platform ternama di negeri ini yakni dari 0% sampai 4%. Kemudian, 10 dari 11 platform itu  bekerja sama dengan e-Commerce. Kredivo adalah yang terbanyak. Platform ini bekerja sama dengan 8 dari 10 e-Commerce ternama di negeri ini seperti e-commerce ternama di Indonesia, yakni: Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Blibli, JD.ID, Zalora, Sociolla dan Bhinneka.

 

Paylater juga tercatat terkoneksi dengan platform ride hailing dan online travel agent (OTA), seperti Gopaylater dengan Gojek dan TravelokaPaylater dengan Traveloka. 

 

Lanskap Baru Bisnis Kredit Konsumer

 

Sayangnya, institusi pemerintah belum mencatat berapa besarnya putaran uang dari bisnis paylater. Namun, mengutip Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021,dari  proyeksi nilai pasar atau gross merchandise value (GMV) e-commerce yang bakal menyentuh US$ 8,5 miliar pada 2028, akan mendorong nilai pasar paylater 76,7% per tahunnya. 

 

Analisis Google, Temasek, Bain & Company dalam laporan e-Conomy Sea 2021 pun menyebut 30% gerai digital di Asia Tenggara akan mengadopsi paylater dalam waktu dekat, khususnya di Indonesia. Laporan tersebut pun mencatat tren pencarian konsumen terkait paylater meningkat 16 kali di Indonesia. 

 

“Kompetisi di sektor ini memanas, dengan pemain BNPL (Buy Now Pay Later) murni, platform ritel digital, bank, bahkan OTA (agen travel online) berebut di kue yang sama,” tulis laporan tersebut.  

 

Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno menilai peluang besar bisnis paylater, lantaran akan menjadi medium generasi nasabah selanjutnya. 

 

“Sekarang siapa sih yang menjadi peminjam masa depan? Ya, generasi milenial. Generasi milenial itu tidak lepas dari handphone,” kata dia pada 31 Maret 2022. 

 

Hasil survei Katadata Insight Center (KIC) dan Zigi periode Januari 2022 menemukan milenial (26-35 tahun) dan Generasi Z (18-25 tahun) meminati paylater. Sebanyak 16,5% dari 2.862 responden milenial mengaku menggunakan paylater. Sementara, 9,7% dari 1.692 responden Generasi Z menggunakan paylater. 

 

Survei tersebut juga menunjukkan milenial dan Generasi Z tak terlalu tertarik menggunakan kartu kredit. Hanya 9,3% milenial dan 2,9% Generasi Z yang menggunakan kartu utang dari perbankan tersebut. 

 

Paylater pun kini tak hanya menggarap pasar digital, tapi juga pasar ritel konvensional yang jadi pasar utama kartu kredit. Potensi bisnisnya pun menjadi lebih besar. Kredivo adalah salah satu yang melakukannya. 

 

VP Marketing & Communication Kredivo Indina Andamari menyatakan, Kredivo saat ini bekerja sama dengan ratusan gerai ritel konvensional ternama, seperti IKEA, McDonalds, Electronic City, Erafone, Matahari, Alfamart/Alfamidi, Hartono, iBox, Zara, Bershka, dan lain-lain. Ia menyebut kerja sama ini sebagai model bisnis open-loop. 

 

Hal ini tentunya menjadi poin penting untuk pertumbuhan industri BNPL karena paylater bisa digunakan di mana saja, tak terbatas dengan online merchant, juga tidak hanya terbatas pada kategori produk bernilai tinggi tapi juga kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan groceries,” kata Indina.   

 

Meski demikian, Indina berpendapat paylater tak akan menggantikan kartu kredit. Sebaliknya, kedua sistem pembayaran tersebut justru bisa saling melengkapi. 

 

“Karena segmennya yang berbeda, kartu kredit dan paylater akan saling melengkapi. Namun, dengan keunggulan user experience  yang lebih mudah dan cepat, kami optimistis paylater akan menjawab kebutuhan konsumen dan tumbuh semakin cepat dari waktu ke waktu,” kata Indina. 

 

Perbedaan segmentasi pasar kartu kredit dan paylater paling menonjol pada demografi penggunanya. Pengguna kartu kredit adalah masyarakat kelas menengah atas dan berpenghasilan stabil, mengingat syarat ketat mempunyai kartu kredit harus berpenghasilan di atas Rp 3 juta. 

 

Penggunaan kartu kredit juga lebih banyak untuk transaksi mahal, seperti halnya untuk pariwisata. Direktur Consumer Banking PT CIMB Niaga TBK, Lani Darmawan menyatakan, bisnis kartu kredit tersuruk selama pandemi lantaran transaksi pariwisata yang tergolong “ticket size besar” tak ada selama pandemi, seperti dilansir Bisnis Indonesia

 

Sementara, pengguna paylater adalah masyarakat kelas ekonomi menengah bawah, sebagaimana tercermin dari pengguna Kredivo. Indina menyatakan, pengguna Kredivo dominan berusia 20-35 tahun, baru bekerja, berdomisili di Jabodetabek, dan underbanked. Ia menyatakan, 60% dari total pengguna mendapatkan akses kredit pertama dari Kredivo. 

 

Kerja sama dengan perbankan untuk saling melengkapi sudah dilakukan Kredivo. Indina menyatakan, saat ini platform tempatnya bekerja telah bergandengan dengan Standard Chartered Bank Indonesia, Bank DBS Indonesia, dan PermataBank untuk penyaluran kredit dan memperluas layanan lembaga-lembaga perbankan tersebut. 

 

Wujud kredit digital yang terbentuk dari kerja sama tersebut, misalnya nasabah Bank DBS Indonesia kini bisa mengajukan kredit melalui aplikasi DBS dan mendapat persetujuan beserta limit hanya dalam 60 detik. Kredit digital DBS ini pun bisa digunakan bertransaksi di e-commerce dan e-wallet dengan tingkat suku bunga kredit bank. Nasabah pun tetap mendapat kartu kredit fisik.  

 

Selain itu, dengan menggunakan Flexi Card, kartu fisik hasil kerjasama antara Kredivo dan Bank Sahabat Sampoerna, pengguna dapat berbelanja di jutaan merchant offline di seluruh Indonesia yang memiliki mesin EDC dengan jaringan GPN menggunakan limit Kredivo,” kata Indina. 

 

Kerja sama lain dalam catatan kami dilakukan Traveloka Paylater dengan BNI meluncurkan Virtual Card Number (VCN). Layanan baru ini memberi plafon kredit dari Rp 5 juta-Rp 50 juta yang bisa digunakan nasabah bertransaksi di e-Commerce dengan jangka cicilan hingga 12 bulan dan berbunga rendah. 

 

Indondana, platform paylater di bawah PT Artha Dana Teknologi, juga bekerja sama dengan Bank Jago–bank digital jelmaan Bank Artos milik bankir kawakan Jerry NG. Kerja sama keduanya dalam bentuk kesepakatan fasilitas pendanaan dengan skema pinjaman (channeling).   

 

Direktur Indodana, Jerry Anson, dalam keterangan resminya yang kami terima pada 7 Maret 2022 lalu, menyebut kerja sama itu bisa meningkatkan pertumbuhan bisnis Indonana Paylater yang kini sedang digandrungi publik. Ia pun mengapresiasi kepercayaan Bank Jago memberi channeling kepada platformnya, yang diklaimnya membangun solusi finansial digital dengan memanfaatkan teknologi big data.

 

Aplikasi tekfin penyedia paylater dan perbankan memang saling membutuhkan satu sama lain. Tekfin paylater membutuhkan channeling dari perbankan, mengingat sebagai perusahaan berlisensi multifinance mereka harus punya setoran modal untuk memberikan pinjaman hingga menerbitkan obligasi. 

 

Perbankan bisa menyediakan hal itu bagi tekfin paylater. Konsepnya biasanya melalui pendanaan lini kredit seperti yang diterima Kredivo dari Victory Park Capital Advisors, LLC, Standard Chartered Bank Indonesia dan juga Bank DBS Indonesia pada 2021. 

 

Dari sisi perbankan, kerja sama dengan tekfin paylater berguna untuk memperluas pasarnya. Khususnya kepada para konsumen e-Commerce dan generasi peminjam baru: milenial dan Gen Z. 

 

Bagi konsumen, kerja sama tekfin paylater dan perbankan bisa memberi lebih banyak pilihan dan semakin memudahkan ketika berbelanja. Suku bunga yang ditawarkan pun bisa lebih murah, karena para penyelenggara tersebut bakal bersaing menjadi yang termurah demi menggaet pengguna lebih banyak.

 

“Transaksi jadi lebih murah, kan. Kita belanja punya pilihan yang lebih murah,” kata ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah kepada kami, 29 Maret 2022 lalu. 

 

Ke depan, kata Piter, ragam pilihan kredit konsumer pun bisa mempercepat perputaran ekonomi. Dengan begitu, bisa kian mengungkit perekonomian nasional. Khususnya dalam masa pemulihan pasca pandemi.   

 

Namun, Piter mewanti potensi risiko kredit macet yang tinggi lantaran mudahnya penilaian saat aktivasi. Terlebih pasar paylater saat ini adalah kalangan muda yang belum bisa dikatakan sepenuhnya mapan secara keuangan. 

 

Credit scoring-nya harus lebih cermat. Jangan lebih mendahulukan pertumbuhan pengguna. Harus lebih selektif,” kata Piter.