Lela: Perempuan Tanah Gusuran

LELA: PEREMPUAN TANAH GUSURAN
Delapan tahun di Jakarta adalah satu windu kepahitan bagi Lela. 2014, suaminya di-PHK pabrik sepatu. 2015, rumah yang mereka huni di Cianjur digusur.
Rumah itu memang bukan milik mereka, milik seorang pengusaha konveksi asal Jakarta. Mereka diizinkan tinggal karena belas kasih sang pengusaha, dan hitung-hitung biar ada yang merawat rumah.
“Pas ada rencana pembangunan pabrik baja, rumah-rumah di sana kena gusuran,” kenang Lela. “Tapi, gantinya gede. Dari situ pemilik rumah yang saya tempatin akhirnya ngejual rumahnya juga.” 
Setelah rumah terjual, si pengusaha memberi Lela uang tunai Rp3 juta. Lela menerimanya setelah belasan kali memohon untuk tinggal.
Sehari setelah mengemasi barang-barang, Lela dan suami dan anaknya merantau ke Jakarta.

BERMULA DI KAMPUNG SUMUR
Kampung Sumur di Klender menjadi tempat pertama mereka tinggal. Mereka ke sana karena saran teman sekampung yang telah lebih dahulu tinggal di sana.
Mereka menyewa rumah kontrakan dua petak dengan toilet di luar seharga Rp600 ribu per bulan. Beberapa perabotan rumah tangga, seperti kompor dan lemari pakaian plastik, Lela beli ketika tinggal di kontrakan. Ketika tinggal di rumah sebelumnya, ia tak memiliki furnitur apa pun.
Ketika pertama kali ke Jakarta, anaknya baru berusia 4 tahun. Lela berencana menjual jajanan anak seperti yang pernah ia lakukan di kampung halamannya. Sementara suaminya berencana mencari pekerjaan apa saja hanya bermodalkan ijazah SMP.
“Cuman punya lima juta di kantong,” kata Lela. “Tiga juta yang dikasih. Dua juta lagi tabungan saya sama suami,” kata Lela.
Setelah empat bulan, Lela mulai berjualan di dekat tempat kontrakannya. Ia belum mampu untuk menyewa lapak di depan sekolah, seperti di kampung. Biaya sewa terlalu mahal di Jakarta.
Suami Lela tak kunjung mendapat pekerjaan.  Ia sudah mencoba ke bengkel, pabrik tahu, rumah makan, dan bahkan tempat cuci motor, semuanya menolak. Selama belum bekerja, ia membantu Lela berjualan.
Semua kebutuhan bertumpu pada hasil jualan Lela. Tagihan kontrakan, listrik, hingga makan sehari-hari untuk tiga kepala.
Nyaris satu tahun bertahan, tabungan mereka ludes. Suaminya tak kunjung mendapat pekerjaan tetap, meski beberapa kali ada tetangga yang mengajak kerja serabutan. Sedangkan kebutuhan sehari-hari mesti terus dipenuhi. Lela juga merasa kewalahan karena belum bisa mengurus pembuatan akta kelahiran anaknya, yang sangat penting jika ingin mendaftarkannya sekolah.
“Kepala mau pecah rasanya. Mau mengadu ke orang tua juga nggak bisa. Saya dan suami udah nggak punya orang tua,” lirih Lela.
Pernah satu waktu ketika tak cukup uang untuk memasak atau membeli lauk bakal makan, mereka menyumpal perut seharian penuh dengan makanan ringan dari jualan Lela sendiri.
Puncaknya pada 2017, mereka tak sanggup lagi membayar kontrakan. Dari yang semula Rp600 ribu, awal 2017 naik jadi Rp700 ribu. Mereka diminta angkat kaki oleh si pemilik kontrakan.
Situasi keluarga Lela semakin terpuruk. Sebelum hengkang, Lela menjual semua perabotan ke tetangga. Dari kompor sampai sendok makan, semua dijual untuk membeli makan.
“Sempat numpang di masjid, di rumah tetangga, sampai yang terakhir di emperan toko kelontong,” kata Lela.
Persoalan mereka bukan hanya tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari, beberapa kali anak mereka sakit. Tak punya uang untuk ke dokter, Lela hanya bisa membalur tubuh anaknya dengan bawang merah yang ditumbuk. 
Setiap hari, maut seperti hanya berjarak sejengkal dari wajah Lela. Bayangan mati kelaparan, tiba-tiba meregang nyawa karena sakit, atau diusir dari tempat tinggal, terus merongrong Lela dan keluarga kecilnya.

ANTARA BELI PEMBALUT ATAU BUAT MAKAN
Lela tahu bahwa di Kampung Sumur, kebanyakan warganya berprofesi sebagai pemulung. Dengan kondisi yang tak menyisakan apa pun untuk berjualan, Lela berpikir untuk ikut menjalani pekerjaan itu.
Memiliki kasur yang empuk dan langit-langit kamar yang tak rembes hujanadalah kemewahan baginya. Mereka hanya bisa tidur beralaskan kardus atau tripleks. Seringnya beratapkan kanopi fiber atau terpal kusut.
Bersama suami dan anaknya, Lela bergerilya dari satu emperan toko ke emperan toko lain di kawasan Klender. Mereka makan dari pemberian orang di jalan, sisa jualan pedagang di pasar, dan tak jarang mengorek bak sampah untuk mencari makanan sisa.
“Nggak pernah nyangka harus ngegelandang di jalan. Buat beli pembalut, kadang harus mikir berkali-kali karena perut juga mesti diisi,” sambung Lela.
Suami Lela mengerti kondisi ini. Beberapa kali upahnya sebagai juru panggul di pasar, ia sisihkan untuk membeli makan sekaligus stok pembalut untuk Lela.
Tidak seperti kebanyakan tunawisma yang pernah kena jaring operasi penertiban Penyandang Masalah kesejahteraan Sosial (PMKS) oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta, Lela dan suami dan anaknya tidak pernah kena.
“Kalau misalkan kena angkut, asal ditanggung buat makan sih nggak apa-apa. Jangan dibuang keluar kota.”