Martin Aleida dan Riwayat Harian Rakjat

Rambut boleh memutih dan kulit pasti mengeriput, tapi ruang perpustakaan Harian Rakjat (HR) akan selalu Martin Aleida kenang sampai kapan pun.

 

Ruangan perpustakaan itu sederhana. Letaknya persis di samping ruang pemimpin redaksi Mula Naibaho. Luasnya sekitar delapan kali dua belas meter. Martin biasa menghabiskan banyak waktu untuk membaca di sana.

 

Dari banyak buku berjejer di rak perpustakaan HR, Martin paling ingat buku Mekong Upstream. Buku berisi laporan jurnalistik wartawan Australia, Wilfred Burchett, tentang perang Vietnam. Burchett meliput perang itu dari garis depan Front Pembebasan Nasional (NLF) Vietnam.

 

“Burchett pernah ke Jakarta sekitar tahun 1964. Dia ditemani Njoto selama di sini. Njoto antara lain mentraktir dia makan malam di restoran darurat Tionghoa yang buka mulai sore di bagian tengah jalan raya (sekarang Suryopranoto?) di ujung utara Pasar Baru. Saya ikut makan ketika itu,” kenang Martin kepada Deduktif, pada Selasa 27 September 2022.

 

Soal perpustakaan di kantor HR, Martin masih punya cerita lain. Di usia kedua puluh ketika Martin diminta Njoto untuk mengubah format majalah Lekra Zaman Baru—dari format koran menjadi format majalah—di perpustakaan HR itulah dia berjuang sendiri menggarapnya.

 

“Di ruang perpustakaan itu juga saya me-layout majalah itu (Zaman Baru) dengan cara menempelkan hasil cetakan timah ke dalam bentuk kolom majalah. Sangat primitif kalau dikenang dengan perspektif penerbitan media sekarang,” katanya.

 

Martin masih ingat betul denah kantor HR pertama yang beralamat di Jalan Pintu Besar Selatan No.93. Di bagian depan, dahulu ada mesin cetak dengan lebar sekitar tiga meter dan tinggi dua meter, serta panjangnya kisaran delapan meter. Sedangkan di belakang mesin itu, ada tangga kayu menuju ruang tata usaha, dapur, dan ruang redaksi.

 

Beralih ke luar kantor,  di seberang gedung HR berdiri sebuah percetakan bernama Kinta yang mencetak harian Kompas. Di jajaran itu juga ada kantor Sinar Harapan. Ke arah utara sekitar enam puluh meter, ada Jalan Asemka di mana kantor harian sore Warta Bhakti berlokasi.

 

Selain buku-buku di perpustakaan dan mesin cetak, mesin linotype milik kantor HR juga menyimpan kenangan tersendiri bagi Martin. Terlebih ketika Martin ditempatkan di posisi korektor.

 

“Mesin ketik setinggi dua meter di mana naskah di-set dalam lempengan timah kecil, disusun sesuai dengan naskah. Ini bagian dari proses cetak,” kata Martin menjelaskan kerjanya sebagai korektor dengan mesin linotype, yang jenis mesinnya persis dengan yang dipajang di lobi kantor Kompas Palmerah Selatan hari ini.

 

Saat itu Martin harus bisa membaca naskah dalam susunan huruf yang terbalik. Sebab kalau deadline sudah mepet, tak sempat untuk menempelkan kertas polos yang dilembabkan dengan air. Jadinya mesti ditempelkan ke atas huruf dalam bentuk timah, supaya jadi positif dan dapat dibaca dengan normal.

 

Martin tahu bahwa kenangan-kenangan tentang semua aktivitas selama bekerja di HR bakal terus menginap di ingatannya. Meski kemudian dia pun tahu bahwa pasca 2 Oktober 1965, saat Satuan Militer Jayakarta menduduki seisi kantor, HR masuk liang kubur.

 

Menjadi Reporter Harian Rakjat

 

Sejak masih duduk di kelas dua SMA di Tanjung Balai, Sumatera Utara, Martin sudah sering mengirim cerita pendek ke HR. Cerpennya pun sering dimuat. Selain HR yang memuat cerpen setiap hari, ada juga harian Indonesia Baru yang terbit di Medan.

 

Lulus dari SMA, Martin melanjutkan sekolah ke Akademi Sastra Multatuli di Jakarta. Ada fakultas sastra Indonesia, Rusia, dan Mandarin di sana. Pendiri akademi Sastra Multatuli adalah Profesor Bakri Siregar. Sosok itu merupakan guru bahasa dan sastra Martin selama di SMA. Selain sebagai mahasiswa, Martin juga merangkap sebagai Sekretaris Akademi.

 

Ingin punya penghasilan, Martin coba melamar ke harian Merdeka dan HR. “Saya diterima di HR tahun 1963. Saya mulai dari bawah untuk jadi reporter: mula-mula sebagai copy boy,” kata Martin.

 

Sebagai copy boy, tugas Martin saat itu membagikan berita yang masuk kepada redaktur. Kemudian Martin memasukkan naskah berita yang sudah jadi itu ke dalam keranjang dari lantai dua, lalu menurunkannya dengan tali ke percetakan yang terletak di bawah ketika kantor HR berada di Jalan Pintu Besar Selatan.

 

Berselang beberapa bulan, Martin ditunjuk jadi pengoreksi yang kemudian akrab dengan mesin linotype. Dalam rentang waktu itu, kalau ada peristiwa penting, Martin pergi ke kantor berita Antara di Pasar Baru pada malam hari, untuk meminta buletin Antara yang akan terbit besok pagi. Antara sendiri terbit dua kali sehari. Dengan begitu, menurut Martin, HR tak ketinggalan berita.

 

Selama bekerja di HR, Martin mendapat jatah makan siang dan makan malam gratis di kantor. Selain itu, dia ditempatkan di mes HR yang berlokasi di Jalan Kramat VII No.13. Ada jemputan antar-pulang pakai mobil yang disediakan oleh HR. Bahkan, Martin dan pegawai HR lain dibuatkan jas satu stel lengkap warna coklat, yang dijahitkan di tukang jahit Lioeng Tailor di Jalan Sabang (Haji Agus Salim).

 

Menurut Martin, toko jahit itu masih ada. “Ketika Orde Baru berkuasa, langganannya—terutama dari Sekretariat Negara—pada meninggalkannya (Lioeng Tailor),” imbuh Martin.

 

Di kantor HR sendiri, Martin mengingat ada kurang lebih 100 karyawan HR waktu itu. Di antaranya ada karyawan tata usaha HR sekitar 20 orang termasuk yang bekerja di dapur, 20 orang petugas percetakan, dan redaksi HR sendiri yang berjumlah sekitar 30 orang. Sisanya, ada bagian pengemudi dan bagian keamanan, serta penjaga gerbang atau pintu.

 

Soal gaji selama bekerja di HR, Martin tidak begitu mengingatnya. Namun yang jelas, menurut dia cukup untuk seorang bujangan sepertinya saat itu. Sesaat setelah gajian, Martin acapkali puaskan dendam dengan makan enak di Glodok, sewaktu kantor HR masih berada di Pintu Besar Selatan.

 

Sekitar enam bulan setelah mencecap posisi copy boy dan korektor, Martin kemudian diangkat jadi reporter kota, terutama untuk meliput di kantor gubernur dan DPRD Jakarta.

 

Kemudian sekitar akhir atau awal 1965, wartawan yang meliput istana, yakni Anwar Darma, diangkat jadi koresponden HR di Moskow. Dalam rapat redaksi lengkap, Njoto yang saat itu sebagai ketua Dewan Redaksi HR, menunjuk Martin untuk meliput kegiatan Presiden Sukarno.

 

“Saya deskripsikan wajah petinggi AS merah padam, gagal untuk melunakkan sikap Bung Karno yang mendukung perjuangan rakyat Vietnam melawan Amerika,” kata Martin terkait liputannya tentang pertemuan Presiden Sukarno dengan utusan Amerika Serikat, Ellsworth Bunker.

 

Tak pelak, laporan itu merupakan salah satu laporan paling membekas di ingatan Martin selama bekerja sebagai reporter HR. Selain itu, Martin menyebut ada dua laporan lagi yang pernah dia garap untuk HR, yang menurutnya sulit dilupakan.

 

Pertama, liputan pengadilan tani di Indramayu, di mana lima petani dihukum karena dituduh menduduki tanah secara ilegal. Kedua, laporan serial mengenai operasi ilmiah Baruna I, yang merupakan kerjasama Indonesia-Jepang pada 1963. Martin dan beberapa wartawan dari media lain selama dua bulan lebih, mengikuti ekspedisi itu di Indonesia Timur, termasuk Ambon, Irian Barat (Laut Arafura), Banda Neira, dan Sumbawa.

 

Selain straight news, HR tentu punya produk lain. Ada Cerpen yang terbit setiap hari, kecuali Sabtu yang punya halaman kebudayaan sehalaman penuh. Kalau memuat cerpen, Martin menganggap HR selalu memuat yang berbobot. Ada juga puisi, esai, dan kritik. Selain itu, ada pula rubik Buruh, Tani, Wanita, serta Anak yang hari publikasinya tidak Martin ingat lagi.

 

“Terjemahan sesekali. Investigasi tak ada. Pidato DN Aidit yang dianggap penting sekali, dimuat secara utuh. Kemudian rubrik kebudayaan tiap Sabtu di halaman III ditiadakan dengan terbitnya HR Minggu, kalau tak salah menjelang akhir 1964. Isinya seni budaya.”

 

Pada era itu, belum ada yang namanya kolaborasi antar media. Menurut Martin, yang ada adalah HR menerbitkan edisi berbahasa Inggris manakala di Jakarta berlangsung konferensi internasional. Seorang redaktur bahasa Inggris, dalam hal ini Zen Nasution, adalah sosok yang menjadi juru editnya.

 

Meski Martin mengaku belum ada yang namanya kolaborasi saat itu, namun ada polemik besar tentang Sukarnoisme antara HR dengan Merdeka. Keduanya masing-masing menerbitkan polemik itu dalam bentuk buku. Martin sendiri mengira ini polemik terbesar dalam sejarah pers Indonesia.

 

Selain kinerja keredaksian, Martin juga menjelaskan HR bisa bertahan secara bisnis waktu itu. Tak ada advertorial sama sekali. Iklan umumnya tentang buku yang baru terbit, yang umumnya politik. Tiras HR sekitar 60.000. Di daerah terpencil, kantor cabang atau ranting partai jadi distributor. HR dijual eceran di kota-kota besar. Di Jakarta, penjualan terpusat di Lapangan Banteng dan penjaja koran.

 

Ketika ditanya soal kenangan apa yang Martin masih ingat dengan orang-orang di keredaksian HR, pertama dia menyebut kesannya terhadap Njoto. “Njoto ini sangat cepat dan bersih tanpa corat-coret kalau menulis. Dia mengetik menggunakan dua telunjuk yang terkadang ditimpali jari manis kanan,” kata Martin mengingat sosok penulis feature mingguan HR itu yang memakai pseudonim Iramani.

 

Dalam buku memoar Romantisme Tahun Kekerasan yang ditulis Martin, dia menyebut bahwa kemampuan Njoto memang sulit dicari bandingannya. Selain menulis feature untuk kolom Catatan Seorang Publisis, Njoto sendiri mengisi tiga tulisan utama di HR: Editorial, komentar singkat Cekak Aos di halaman satu HR, dan celetukan politik khas untuk rubrik Wong Cilik di halaman tiga. Ketiga naskah itu acapkali ditulis oleh Njoto di kantor redaksi, dengan memakai mesin tik mana saja yang sedang menganggur.

 

“Pernah saya dengar Njoto meminjam peniti dari istrinya untuk mencongkel daki di huruf-huruf mesin tik yang dia pinjam,” tulis Martin dalam memoar.

 

Sampai sekarang, Martin masih menyisakan rasa hormat serta kagum, pada penyair, penulis, sekaligus publisis komunis itu. Nama lain yang Martin sebut tentu adalah seorang Mula Naibaho. Sekitar awal 1965, Mula Naibaho sudah tidak aktif di HR. Menurut Martin, dia bersiap jadi duta besar salah satu negara Eropa Timur dalam rentang waktu itu.

 

Mula Naibaho adalah penulis yang cepat di mata Martin. Dia menulis buku tentang Ho Chi Minh. Sikap politiknya tidak dogmatis, karena itulah tulisannya enak dibaca. Dia mengajari Martin banyak hal. Yang paling Martin ingat dari sosok Mula Naibaho adalah wejangan ini: “Sebelum Bung sampai di kantor pulang meliput atau wawancara, tulisan sudah selesai di kepala Bung.” Dari perkataan itulah Martin menemui jalan bagaimana berkelahi dengan deadline.

 

Bertemu dengan orang-orang seperti Njoto dan Mula Naibaho selama bekerja di kantor HR, jelas sebuah keberuntungan bagi Martin. Seingatnya, memang tidak ada semacam apresiasi atau penghargaan atas capaian tertentu di HR. Namun, pujian dalam bentuk kata dari sosok seperti mereka sudah membuat Martin merasa berada di jalan yang tidak akan membawa kesia-siaan.

 

“Idealisme yang membuat manusia setengah gila dalam merealisir cita-cita maupun angan-angannya,” tegas Martin.

 

Menarik ketika menyelisik iklim media saat Martin bekerja sebagai reporter HR. Menurut Martin, pada zaman itu media berada dalam jalur politik. Artinya media harus punya afiliasi. HR berafiliasi dengan PKI, Suluh Indonesia pada PNI, sedangkan Duta Masyarakat sendiri pada NU.

 

Namun ada situasi yang Martin sesalkan saat itu. Para wartawan berkelompok sesuai dengan kecenderungan politik korannya. Makan siang, misalnya, selalu bersama dengan teman dari media yang arah politiknya sama. Ketika itu, Martin merasa hidup dalam dogma yang menyesatkan persaudaraan.

 

Hal itulah yang kemudian memperjelas soal tidak adanya program pengembangan reporter secara khusus di HR. Di mana yang ada adalah tugas para reporter HR mengikuti agenda gerakan organisasi di bidang buruh dan pertanian. Melibatkan diri dalam diskusi yang berlangsung di organisasi itu. Dana untuk pembelian buku pun tidak ada, karena perpustakaan sudah sangat memadai.

 

Ujung Riwayat Harian Rakjat dan Perusahaan Konstruksi Bahan Bangunan

 

“…secara hipotesis saya katakan, saya mengenal bentuk kalimat dan diksi Njoto. Kuat keyakinan saya bahwa bukan dia yang menulis editorial yang bombastis tersebut, yang mendukung G30S,“ tulis Martin dalam memoar Romantisme Tahun Kekerasan terkait tajuk rencana HR yang terbit pada 2 Oktober 1965.

 

Menurut Martin, saat itu HR membuat kejutan bersejarah. Manakala semua koran yang berada di luar angkatan darat dibredel, HR tetap menemui pendukung dan pembacanya.

 

Dalam memoar yang ditulis Martin, dijelaskan juga bahwa satu malam sebelum tajuk rencana itu diterbitkan, ada tiga orang berjaket angkatan darat mendatangi kantor redaksi HR. Wahyudi, redaktur buruh koran HR dan pemimpin redaksi Kebudayaan Baru yakni Muslimin Jassin, menerima ketiganya.

 

Ketiga tentara itu meminta HR dan Kebudayaan Baru untuk tidak terbit pada 2 Oktober 1965. Karena ketiganya tidak bisa menunjukkan surat resmi dari Komando Distrik Militer Jakarta yang berisi larangan terbit—sesuai prosedur saat itu—HR tetap terbit.

 

Martin keukeuh bahwa tajuk rencana itu tidak lahir dari tangan Njoto. Martin menduga kuat tajuk rencana itu ditulis oleh Dahono, seseorang yang dekat dengan Oloan Hutapea, yang menjadi ujung tombak penyingkiran Njoto.

 

Pasca tajuk rencana terakhir itu, semua anggota partai dan aktivis yang mendukung HR diburu, ditangkap, dipenjarakan, dan bahkan dibunuh.

 

Martin kira semua sudah dirampas. Nyawa teman-temannya dibinasakan. Jangankan properti, Njoto digelandang dari Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo sekitar November 1965. Banyak yang yakin dia langsung dibunuh di luar kota Jakarta, kata Martin. Sampai kini. Pembinasaan manusia inilah kehilangan sejati di mata Martin. Tak tergantikan.

 

Rekan Martin lain di keredaksian HR tak kalah nahas nasibnya. Mula Naibaho dibuang ke Buru. Pulang dari pulau pembuangan itu sekitar awal 1980, Mula Naibaho meninggal di Jakarta. Wartawan HR yakni Samtiar dan Aris Pranowo tewas di Buru. Sedangkan redaktur bahasa Inggris, Zen Nasution, dibuang ke Nusakambangan dan meninggal di sana dua tahun kemudian setelah G30S.

 

Ada lagi Amarzan Ismail Hamid yang begitu bebas dari Buru, sempat menemui Martin. Amarzan juga sempat lama bekerja di majalah Tempo. Dia meninggal beberapa tahun sebelum usia 80. Bagi Martin, Amarzan seorang penulis bagus. Sayang dia tak menulis memoar. “Semua dia (Amarzan) bawa ke dalam kubur, kecuali sejumlah puisi yang konon berada di tangan Goenawan Mohamad,” timpal Martin.

 

Martin seakan terus berupaya mengupak api yang hampir padam. Kini, dia tengah menyelesaikan naskah panjang non-fiksi tentang rangkaian pengejaran dan pembinasaan manusia setelah G30S, termasuk kisah dari kamp-kamp tahanan di seluruh Indonesia. “Doakan semoga dapat saya selesaikan awal 2023. Pas saya berusia 80,” tutupnya.

 

Perlu diketahui bahwa sejak akhir 1964 atau awal 1965, kantor HR yang sebelumnya beralamat di Jalan Pintu Besar Selatan No.93, pindah ke Jalan Pintu Air III. Menurut Martin, patokannya masuk dari Jalan Juanda, dekat Istana Negara dan Masjid Istiqlal. Kantor ini lebih brutal perampasannya: tidak ada bekas sama sekali kecuali bangunan bertingkat belasan yang ada di sekitarannya saat ini.

 

Sedangkan di bekas kantor HR pertama yang berada di Jalan Pintu Besar Selatan, sekarang dipakai oleh sebuah perusahaan pembuatan bahan bangunan siap pasang dari logam seperti pagar besi, teralis, pintu/jendela, dan produk- 

produk konstruksi ringan lainnya. Perusahaan itu bernama PT Biru International.

 

Pada pertengahan Mei 2022 silam, Deduktif sempat mendatangi langsung lokasi kantor PT Biru International yang berada di Jalan Pintu Besar Selatan No.93. Terdapat plang perusahaan bertuliskan “PT Biru & Sons“ di bagian depan gedung berlantai empat, dengan dominasi cat putih pada seluruh bangunan.

 

Deduktif sempat bertanya dan meminta izin untuk bertemu dengan pemilik perusahaan, pada petugas keamanan yang tengah berjaga. Namun, saat itu petugas keamanan berdalih bahwa direktur maupun pemilik perusahaan sedang tidak berada di tempat, dan meminta redaksi Deduktif untuk menghubungi langsung dan membuat janji pertemuan terlebih dahulu.

 

Upaya konfirmasi juga Deduktif lakukan dengan menghubungi nomor telepon yang tertera di laman milik PT Biru International, pada 27 September 2022. Bagian customer service perusahaan tak memberi informasi banyak. Dia tidak tahu menahu soal riwayat perusahaan. Customer service itu hanya memberi keterangan bahwa perusahaan memang dimiliki oleh keluarga Siman.

 

Selain itu, customer service dari PT Biru International juga menjelaskan situasi bangunan kantor saat ini. “Sekarang ada empat lantai dan mungkin ada renovasi di beberapa bagian,“ katanya di ujung telepon. Dia enggan memberikan kontak komisaris ataupun direktur perusahaan.

 

Jika mengacu pada akta perusahaan PT Biru International, ada nama Merry Salim sebagai komisaris. Tiga nama lain yang tercantum di perusahaan itu, antara lain adalah Aman Siman, Sutrisno Siman, dan Suhartono Siman. Persis seperti yang dibilang pihak customer service bahwa perusahaan memang dioperasikan satu keluarga.


Selain itu, Deduktif melakukan penelusuran juga lewat LinkedIn pada akun-akun yang terkait dengan PT Biru International. Dari penelusuran itu, muncul nama Stella Siman selaku sales marketing coordinator. Setelah mendapati akun Instagram-nya, Deduktif mengontak lewat pesan langsung pada 27 September 2022. Namun hingga laporan ini naik, belum ada balasan dari yang bersangkutan.