Masih Soal Penolakan UU TNI, Bisakah Dibatalkan?

Masih Soal Penolakan UU TNI, Bisakah Dibatalkan?

TL;DR

  • UU TNI disahkan DPR meski ditentang publik karena dinilai menghidupkan dwifungsi militer dan mengancam supremasi sipil.
  • Proses penyusunan UU TNI dianggap cacat prosedur dan minim transparansi.
  • UU TNI bisa dibatalkan lewat putusan Mahkamah Konstitusi.

 

Lewat ketokan palu Ketua DPR RI Puan Maharani, revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI resmi disahkan pada 20 Maret 2025. Aksi-aksi penolakan terus berlanjut, dari sebelum RUU disahkan, bahkan hingga kini–setelah DPR tak peduli kritik dan tetap mengundangkan. Apakah upaya ini tetap bisa berbuah hasil, atau hanya kesia-siaan belaka?

Ribuan massa di luar kompleks DPR-MPR RI melakukan aksi menolak pengesahan UU TNI pada Kamis (20/3/2025). UU ini dianggap mengikis supremasi sipil dan mengembalikan dwifungsi militer. Pasal yang paling sering disorot adalah pasal yang menyatakan anggota TNI aktif dapat menempati 16 kementeran/lembaga, naik dari 10 kementerian/lembaga. 

Pasal ini juga dikhawatirkan akan mempengaruhi independensi pengadilan dan memperkuat kekebalan hukum anggota TNI karena menarik kembali TNI ke peran sosial politik dan ekonomi-bisnis seperti masa Orde Baru. Dan tentu mempengaruhi independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI. Tak hanya itu, UU ini semakin mengikis supremasi sipil yang sudah diberlakukan sejak masa Reformasi.

Deduktif merangkum pasal-pasal dalam UU TNI yang bermasalah:

  1. Pasal 47 UU TNI memperbolehkan tentara aktif untuk ditempatkan di 16 lembaga negara dan kementerian. Sebelumnya hanya ada di 10 lembaga dan kementerian.
  2. Pasal 47 juga menambahkan operasi militer selain perang (OMSP) dari 14 urusan menjadi 17 urusan. Tiga aturan baru mencakup membantu pemerintah dalam upaya menanggulangi ancaman siber; membantu pemerintah dalam melindungi dan menyelamatkan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri; serta membantu pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, prekursor, dan zat adiktif lainnya.
  3. Pasal 53 menaikkan batas usia pensiun TNI. Batas usia pensiun bintara dan tamtama 55 tahun; perwira sampai dengan pangkat kolonel 58 tahun; perwira tinggi (pati) bintang 60 tahun; pati bintang dua 61 tahun; pati bintang tiga bisa berdinas sampai dengan berumur 62 tahun; pati bintang empat bisa pensiun di umur 63 tahun dan jabatannya bisa diperpanjang maksimal dua tahun melalui keputusan presiden.

Organisasi HAM dan ahli hukum menuding proses formulasi UU TNI cacat hukum. Dikutip dari Tempo, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna menyatakan sejak jadi RUU, aturan ini tidak memenuhi persyaratan perancangan UU yang telah tertuang di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. RUU harus memiliki naskah akademik dan harus dimuat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Palguna juga menambahkan, bahkan draft RUU TNI tidak bisa diakses sebelum disahkan.

Cacat prosedural ini juga meliputi pelaksanaan rapat yang dilaksanakan secara diam-diam di Hotel Fairmont pada 14-15 Maret 2025. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik rapat ini sebagai bentuk rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam perumusan undang-undang. Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap pelaksanaan rapat di Fairmont sebagai pemborosan anggaran di tengah efisiensi budget pemerintah. Rapat pembahasan RUU TNI ini diperkirakan menghabiskan anggaran sebesar Rp14 juta -130 juta. 

Aksi ugal-ugalan DPR dalam mengesahkan UU TNI memicu gelombang protes di berbagai daerah. Selain Jakarta, demo terjadi di Solo (19-27 Maret), Yogyakarta (20-27 Maret), Semarang (20 Maret), Surabaya (24 Maret), Makassar (20 Maret), dan berbagai kota lainnya

 

Bisa Dibatalkan, Asal…

 

Hingga hari ini gelombang penolakan terhadap UU TNI masih terus bergulir. Masyarakat dan kelompok sipil lain mengusahakan berbagai cara agar UU TNI batal berlaku, mulai dari protes dengan piknik di depan gedung dewan, sampai melakukan gugatan hukum.

Cara kedua ditempuh oleh tujuh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Mereka melakukan gugatan ke MK atas kecacatan dan kejanggalan dalam pembentukan RUU TNI. Sejatinya alur pembatalan UU bisa dilakukan lewat dua cara, yaitu pencabutan via peraturan perundang-undang setara dan yang lebih tinggi, atau putusan Mahkamah Konstitusi (MK). 

Salah satu penggugat, Abu Rizal Biladina, menyatakan pihaknya optimis ada waktu koreksi di MK. "Jadi total lebih dari 30 hari. Sedangkan UU a quo (UU TNI yang baru) pada tanggal 20 Maret disahkan oleh DPR, maka 30 hari wajib diundangkan (diberikan nomor)," katanya seperti dikutip dalam liputan Tempo.

Ahli Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan UU TNI bisa dibatalkan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). “Bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi lewat proses pengujian judicial review,” ucap Feri kepada Deduktif, Senin (14/4/2025). 

Ia menyebut, jika MK masih berpegang pada putusan sebelumnya di UU Cipta Kerja, maka UU TNI harus dibatalkan. Pada tahun 2024 lalu, MK pernah mengabulkan sebagian gugatan buruh untuk merevisi UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) karena tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna dalam penggodokannya.

“Kalau merujuk putusan itu, sudah bisa dipastikan UU TNI dibatalkan, minimal kena inkonstitusional bersyarat atau tidak sesuai konstitusi sampai memenuhi syarat,” ujarnya.