TL;DR
Secara medis, tanaman ganja telah lama dianggap memiliki potensi menyembuhkan. Namun Indonesia punya jalan panjang legalisasi ganja yang belum terlihat ujung akhirnya. Walhasil, beragam upaya pemanfaatan ganja medis justru berujung pada hukuman teralis.
Secara farmakologi, ganja memiliki senyawa bernama kanabionoid yang berpotensi menjadi obat. Kanabinoid secara alami juga terdapat dalam sistem saraf serta imun manusia dan hewan.
Roslan Yusni Al Imam Hasan, Dokter Spesialis Bedah Saraf di Rumah Sakit Mayapada ini sempat menyebut bahwa kanabinoid memberi manfaat ketenangan dan rasa rileks pada saraf otak. Sehingga, dapat timbul perasaan bahagia pada tubuh seseorang ketika menggunakan ganja.
“Kalau itu sudah terbukti. Jadi konsumsi ganja itu memberikan perasaan atau sensasi senang, perasaan tenang. Tubuh rileks, tubuh kan dikendalikan otak,” kata pria yang akrab disapa dr. Ryu kepada Deduktif, Kamis, (21/11/2024).
Serupa yang dikatakan Ryu, manfaat ganja dirasakan oleh Indra (bukan nama sebenarnya). Pria berusia 26 tahun itu mengonsumsi ganja setelah mengalami kecelakaan yang membuat tubuhnya lumpuh dan tempurung kepalanya berlubang, sehingga menyebabkan kelainan pada otak. Setelah mengonsumsi ganja, ia mulai bisa menggerakan tubuh secara perlahan dan rasa sakit pada bagian kepalanya pun berkurang.
Ia merebus daun ganja, lalu dikonsumsi layaknya teh. Namun karena kedapatan mengonsumsi ganja, Indra ditangkap oleh aparat kepolisian pada Pada 18 Januari 2023. Kini Indra mendekam di Rumah Tahanan Kelas I Cipinang, Jakarta Timur.
Kisah Indra mengonsumsi ganja bermula pada Maret 2012 siang hari. Setelah bermain futsal, Indra bersama temannya tengah melewati lintasan rel kereta api di Cipinang, Jakarta Timur. Kondisi sirine dan palang pintu perlintasan rel kereta api sudah aktif, tanda kereta akan melintas.
Namun Indra melewati palang pembatas. Hembusan angin dari laju kereta api membuatnya terpental ke arah jalur rel kereta api. Kepalanya terbentur sangat keras di jalur kereta dan darah mengucur dari kepala Indra.
“Saya masih agak sadar kalau saya digotong, dibawa ke pos,” kata Indra saat ditemui Deduktif di Ruang Kuasa Hukum Rumah Tahanan Kelas I Cipinang, Jakarta Timur, Senin, (10/6/2024) pukul 11 siang.
Melihat kondisi Indra yang berlumuran darah, warga langsung melarikannya ke Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur yang berjarak sekitar 4 kilometer dari lokasi kejadian. Namun RS Persahabatan tidak mampu menangani Indra.
Ia kembali dirujuk ke rumah sakit lain, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, lalu Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta Timur. Kedua rumah sakit tersebut juga tak mampu menangani Indra. Terakhir, ia menuju Rumah Sakit Harapan Bunda, Ciracas, Jakarta Timur.
Di sana Indra harus segera menjalani operasi. Tengkorak kepala sebelah kirinya retak. Ketika bercerita di ruangan Rutan Cipinang yang berukuran 3x5 meter itu, Indra seketika mengambil tangan kanan saya, lalu mengarahkan ke bagian kepala yang tengkoraknya sudah hilang. Kulit kepala Indra terasa lembek dan ketika ditekan, kulit kepalanya masuk ke dalam.
Indra harus menjalani operasi dan perawatan sekitar dua minggu di RS Harapan Bunda. Setelah operasi, ia mengalami lumpuh pada bagian badan, kaki, tangan, dan juga sulit berbicara. Ibu jari dan telunjuk di bagian tangan kanannya tidak berfungsi dengan baik, terlipat terus, dan terasa kaku untuk diluruskan. Setiap hari ia harus mengonsumsi tujuh jenis obat untuk menangani kondisinya.
“Pusing lah makan obat itu. Enggak pengaruh (menangani penyakitnya),” ucap Indra yang saat itu tengah mengenakan baju biru dongker dilapisi rompi tahanan oranye.
Kecelakaan tersebut juga merenggut ingatannya. Saat berbincang dengan Deduktif, Indra seperti mengingat keras setiap peristiwa yang terjadi. Bahkan sering kali pernyataannya tidak konsisten, sehingga Deduktif mengonfirmasi beberapa pernyataan Indra kepada Ibunya, Aris Dewi.
Sebelumnya, dokter sempat melakukan tes wawancara kepada Indra untuk menguji ingatan dan konsistensi jawaban Indra. Berdasarkan hasil tes, rata-rata Indra masih bisa menjawab pertanyaan dokter secara konsisten. Setelah operasi, Indra melanjutkan pengobatan dengan mengikuti terapi jalan dan bicara selama kurang lebih tiga tahun. Terapi dihentikan karena biaya yang dikeluarkan cukup mahal.
Sampai pada suatu hari, seorang teman Indra bernama Jimi (bukan nama sebenarnya) datang menjenguk. Indra ditawari Jimi untuk menghisap sebatang ganja yang diklaim dapat menangani kondisinya tersebut.
Dengan penuh harapan atas kesembuhannya, ia coba menghisap ganja yang diberikan. Indra mengaku kepalanya merasa rileks dan rasa sakit di kepalanya berkurang. Merasa ganja lebih ampuh menangani kondisinya, Indra pun meminta temannya untuk membelikannya.
Indra meminum rebusan ganja seukuran gelas kaca kecil sebanyak dua sampai tiga kali sehari. Tubuh Indra yang sebelumnya hanya bisa terbaring lemas dan hanya mampu duduk saja. Perlahan bisa jalan dengan tangan di lantai dan merembet ke tembok. Lalu, kakinya mulai bisa berdiri perlahan meski dalam kondisi gemetar dan belum bisa berjalan.
“Efeknya bagus banget di tubuh saya. Rileks ototnya, jadi enggak tegang,” akunya.
Semakin sering mengonsumsi rebusan ganja, kondisi tubuh Indra semakin membaik. Indra mulai nafsu makan, bisa bercanda, dan tertawa dengan teman-temannya. Padahal sebelumnya ia begitu pasif dan terbaring lemas di atas kasur.
Saat mengenalkan Indra dengan ganja, Jimi juga menceritakan tentang sosok Fidelis Arie Sudewarto yang mengobati istrinya, Yeni Irawati yang mengalami kondisi Syringomyelia, kista berisi cairan di saraf tulang belakang. Penyakit syringomyelia membuat Yeni sulit tidur hingga berhari-hari. Yeni juga tidak bisa mengeluarkan urine hingga perutnya membesar. Atau sebaliknya, tak bisa mengendalikan kencing karena terjadi pembengkakan di sekitar kemaluan.
Fidelis mengekstrak tanaman ganja, mencampurnya dalam makanan, minuman, sampai dengan menjadikannya minyak oles pada luka. Setelah mengonsumsi ekstrak ganja, Yeni berangsur membaik. Nafsu makannya meningkat dan tidurnya pulas. Pencernaan Yeni juga mulai lancar, baik itu buang air kecil maupun buang air besar. Sejumlah lukanya perlahan menutup. Penglihatan Yeni juga berangsur jelas dan ingatannya pulih.
Namun sayangnya Fidelis ditangkap pada 19 Februari 2017 karena menanam 39 batang pohon ganja di rumahnya. Setelah tidak mengonsumsi ganja medis, penyakit Yeni pun semakin parah. Pada 25 Maret 2017, Yeni tutup usia. Fidelis pun harus mendekam di penjara selama delapan bulan.
Nasib Indra ternyata berakhir seperti Fidelis. Pada 18 Januari 2023 sekitar pukul 6 sore, ia ditangkap di rumah oleh Polres Jakarta Timur. Indra kedapatan menyimpan narkotika jenis ganja seberat 256 gram. Sanksinya merujuk Pasal 114 ayat (1) atau Pasal 111 ayat (1) UU Narkotika dengan kurungan penjara 9 tahun 6 bulan.
Selama di Rutan Cipinang, Indra pernah ditempatkan di sel tahanan dengan kebutuhan khusus. Namun tak lama, Indra dipindahkan ke sel tahanan umum. Selama itu pula ia tak lagi mengonsumsi ekstrak ganja, Indra mengaku mengalami rasa sakit di bagian kepala, setidaknya selama empat sampai enam kali dalam sebulan.
Perasaan sakit itu muncul ketika ia tengah menunduk atau kepalanya sedang berada di posisi bawah. Petugas memang memberi obat kepada Indra, akan tetapi ia mengaku obat yang diberikan petugas kepadanya kurang cocok.
.“Obatnya tidak enak. Malah bikin eneg (mual). Kadang saya enggak mau minum,” ucap Indra.
Melihat kondisi tersebut, Randy Nixon selaku kuasa hukum meminta kepada petugas Rutan Cipinang agar merujuk Indra periksa ke RS Polri untuk penanganan lebih lanjut. Setelah melalui beberapa proses tahapan, akhirnya Indra mendapat izin untuk diperiksa di RS Polri pada 29 Mei 2024 lalu.
Berdasarkan keterangan dokter, terdapat kelainan atau anomali di bagian kepala Indra yang memicu rasa sakit secara berkelanjutan. Hal tersebut dikarenakan terdapat bagian tempurung kepalanya terbuka.
“Dokter sempat menyampaikan bahwa intervensi yang sebaiknya dilakukan adalah operasi,” kata Nixon kepada Deduktif di Rutan Cipinang, Senin, (19/6/2024).
Sebelum melakukan operasi, dokter mengarahkan agar Indra melakukan CT scan terlebih dahulu. Selain operasi, Indra juga disarankan mendapat perawatan injeksi khusus supaya saraf pada bagian otak dan gerak tubuhnya tidak kaku lagi.
Nixon berharap pemerintah mulai meneliti fakta narkotika, khususnya ganja agar bisa digunakan untuk kepentingan medis. Jika semua pengguna narkotika dijebloskan ke dalam penjara, maka hal tersebut, menurut Nixon, bukanlah solusi.
“Penjara malah menjauhkan mereka dari intervensi kesehatan, padahal ini adalah hak yang dijamin oleh konstitusional,” pungkasnya.
Indra didakwa dengan pasal 114 ayat (1) atau asal 111 ayat (1) UU Narkotika dengan kurungan 9 tahun 6 bulan. Dengan Nomor Perkara: 276/PID.SUS/2023/PN.JKT.TIM.
Pada pasal 114 ayat (1) UU Narkotika disebutkan:
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
Pada 18 Juli 2023, kuasa hukum Indra mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun ditolak. Kemudian kuasa hukum melakukan Kasasi kepada Mahkamah Agus (MA) pada 15 September 2023 Putusan Nomor: 6077 K/PID.SUS/2023. Putusannya, Indra dipenjara menjadi 3 tahun subsider 3 bulan.
“Tapi sayangnya masih dengan konstruksi perkara dan pasal yang sama, yaitu pasal bandar (perantara jual beli) tadi,” kata Nixon.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) ini menyayangkan sidang Indra selalu dilakukan secara daring. Hal tersebut mengakibatkan jaksa, hakim, maupun kuasa hukum tak dapat meninjau latar belakang, kondisi kesehatan, hingga perekonomian Indra.
Nixon mengatakan pihaknya bakal melakukan Peninjauan Kembali (PK) dalam kasus Indra. Meski kasasi merupakan upaya hukum terakhir dan bersifat final, namun apabila ditemukan alasan luar biasa, maka dapat diajukan upaya hukum luar biasa yang disebut PK.
“Kami coba meyakinkan hakim kalau Indra ini tidak bersalah. Dia menggunakan ganja untuk kebutuhan medis,” jelasnya.
Sampai saat ini, penggunaan ganja untuk kebutuhan medis masih dilarang oleh UU Narkotika. Bahkan meski sudah dua kali masyarakat melakukan judicial review UU Narkotika pada tahun 2020 dan 2024, namun keduanya ditolak.
Pada 26 Juni 2022 lalu, aksi protes terhadap UU Narkotika pernah dijalankan seorang ibu bernama Santi Warastuti (43). Ia menenteng papan bertulisan “Anak Saya Butuh Ganja Medis” saat acara Car Free Day (CFD) di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat menuju Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia didampingi sang suami, Sunarta dan putrinya bernama Pika Sasikirana yang mengalami kondisi cerebral palsy. Akibat gangguan tumbuh kembang yang mempengaruhi otot dan saraf, Pika terus terbaring di kursi roda.
Selain Pika, terdapat Musa IBN Hassan Pedersen yang mengalami kondisi yang sama. Pada tahun 2016, Musa sempat mendapatkan pengobatan atau terapi menggunakan ganja di Australia. Satu bulan penuh terapi dengan ganja tersebut cukup membuahkan hasil yang sangat signifikan untuk perkembangan kondisi kesehatannya.
Bahkan Musa sama sekali tidak lagi mengalami kejang. Dalam waktu tersebut ia juga lepas dari penggunaan obat-obatan dari dokter. Namun setelah di Indonesia, Musa tidak bisa melakukan terapi ganja, sampai akhirnya pada 26 Desember 2020, Musa menghembuskan nafas terakhir.
Musa merupakan anak Dwi Pertiwi, yang bersama Santi melakukan peninjauan kembali UU Narkotika untuk melegalkan ganja demi kebutuhan medis pada tahun 2020 lalu.
Melalui kasus Indra, Pika, dan Musa ini, Nixon ingin menyampaikan agar negara tidak menutup diri atas manfaat narkotika jenis ganja yang dapat digunakan untuk kepentingan medis.
Apalagi pada tahun 2020 lalu Komisi PBB untuk Narkotika, the UN Commission on Narcotic Drugs (CND) telah menghapuskan ganja dan getahnya dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961 ke golongan I. Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan mendorong ke arah riset.
“Untuk meningkatkan derajat kehidupan orang, seharusnya masih sangat mungkin pemerintah melakukan riset ganja untuk medis,” pungkasnya.
Direktur peneliti dari Yayasan Sativa Nusantara (YSN), Viqqi Kurnianda menjelaskan manfaat ekstrak ganja medis bagi kondisi yang dialami oleh Indra. YSN merupakan sebuah lembaga nirlaba yang mendukung penelitian ilmiah, edukasi, dan merumuskan kebijakan soal ganja.
Viqqi yang saat ini tengah menempuh Post-doctoral Ilmu Kimia Bahan Alam di Harvard Universitas, Amerika Serikat, mengatakan kondisi tubuh Indra yang kaku akibat tempurung kepalanya yang retak kemungkinan terkena neuro degradasi atau penurunan fungsi sistem saraf.
Ketika seseorang mengkonsumsi ganja yang mengandung tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabinoid (CBD), senyawa tersebut dapat mengikat sistem endocannabinoid, sistem sinyal di saraf pusat, sehingga menghasilkan efek penyembuhan.
“Proses tersebut dapat menekan inflamasi (peradangan) dan meregenerasi neuron-neuron (sistem saraf) yang fungsinya menurun. Jadi sebenarnya tidak salah Indra mengonsumsi ganja,” kata Viqqi kepada Deduktif, Rabu, (19/6/2024).
Pria yang tengah menempuh pendidikan Ilmu Kimia dan Farmasi di University of the Ryukyus, Jepang ini, mengatakan terdapat beberapa penyakit yang lebih efektif diobati ketika kadar THC-nya ini lebih tinggi daripada CBD.
Journal of Neuroinflammation menyebut senyawa ganja itu bermacam-macam. Ketika seseorang mengonsumsi ganja yang memiliki senyawa CBD yang lebih tinggi, maka respons kognitif penggunanya akan meningkat. Sementara itu jika senyawa THC yang lebih tinggi, efeknya akan menekan respon inflamasi.
“Ketika terjadi trauma fisik, terutama bagian otak, pasti terjadi perubahan kimiawi dan saraf-saraf di otak. Dengan mengonsumsi endocannabinoid-nya ganja dapat membuat fungsi otak yang tadinya rusak menjadi lebih baik,” tutur Viqqi.
Penelitian dari Universitas Nottingham, Inggris pada tahun 2013 juga menyebut senyawa kimia pada ganja bisa membantu mengurangi kerusakan otak.
Ryu menambahkan, meski ganja berpotensi menjadi obat alternatif, ia menyarankan agar obat-obatan dari dokter tetap dikonsumsi. Ryu mendorong agar ganja dapat diteliti untuk kebutuhan medis. Pasalnya, ganja tidak seperti narkotika lain yang menyebabkan kecanduan, overdosis, hingga meninggal dunia.
“Jadi saya sih mendukung kalau ada penelitian atau keinginan meneliti (ganja untuk medis),” ucap Ryu.
Sementara itu Viqqi sendiri menilai, sejatinya penelitian tentang ganja sudah tidak perlu dilakukan lagi lantaran sudah banyak jurnal ilmiah di dunia yang menyebutkan manfaat ganja secara medis.
Hal yang harus dilakukan yaitu melakukan riset dosis ganja yang disesuaikan dengan kondisi tubuh orang Indonesia.
“Jadi sudah banyak riset di negara-negara yang melegalkan ganja medis. Tidak perlu riset lagi, tinggal disesuaikan saja kadarnya dengan orang di Indonesia,” pungkasnya.
Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), lembaga non-pemerintah yang melakukan advokasi dan riset, salah satunya tentang isu narkotika, Siti Ismaya mengatakan jika pengguna ganja untuk kebutuhan medis–seperti Indra hingga Fidelis–dipenjara, hal tersebut malah menambah kapasitas lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Berdasarkan laporan dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tahun 2024, tercatat sebanyak 271.385 orang yang mendekam di lapas maupun rumah tahanan negara (rutan) se-Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 50% atau 135.823 orang di antaranya merupakan narapidana dan tahanan kasus narkoba.
“Penyalahguna narkotika malah banyak yang dijerat hukum, jadi intervensinya bukan ke ranah kesehatan,” kaya Ismaya kepada Deduktif, Kamis, (4/7/2024).
Sementara itu Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), lembaga kajian sistem peradilan pidana, Erasmus Napitupulu mengatakan kelebihan kapasitas lapas maupun rutan merupakan fenomena gunung es. Sebab, polisi lebih banyak menangkap pengguna narkotika dibanding menangkap bandar.
Berdasarkan riset yang pernah dilakukan IJRS, Erasmus menuturkan dari 1.361 putusan dengan narkotika jenis sabu di Indonesia menjerat: pengguna 0-0,5 gram sebanyak 39,72%; pengguna 0,5-1 gram sebanyak 48,43%; dan di atas 1 gram yaitu kategori pengedar atau bandar sebanyak 8,7%.
“Dari data tersebut, artinya War on Drugs atau perang terhadap narkoba sama dengan perang terhadap pengguna narkotika, bukan bandar,” kata Erasmus di acara International Conference on Drugs Research and Policy, Jakarta, Selasa, (14/5/2024).
Sementara itu Ismaya mengatakan, jika merujuk Pasal 54 dan Pasal 103 Undang-undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, para pengguna atau penyalahgunaan narkotika seperti Indra seharusnya berhak untuk menjalani rehabilitasi. Apalagi Indra memiliki latar belakang dan kondisi kesehatan yang membutuhkan ganja untuk medis.
Bareskrim menjelaskan, ketentuan dalam melakukan Tes Assesment Terpadu (TAT) untuk rehabilitasi apabila pengguna memiliki barang bukti di bawah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2020 dan bukan jaringan narkotika. Untuk barang bukti ganja yaitu ketentuannya di bawah 5 gram.
Kemudian, hakim lah yang memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah pengguna akan diberikan TAT. Jika diizinkan, hakim menginstruksikan kepada Jaksa. Setelah itu Jaksa meminta kepada penyidik agar pengguna narkotika tersebut dilaksanakan TAT.
“Berarti kalau memang sudah ada keputusan, ya nanti berkoordinasi dengan Lapas,” kata Analis Kebijakan Direktorat Narkoba Bareskrim Polri, Kombes Pol Hagnyono kepada Deduktif di Hotel Manhattan, Jakarta Selatan, Kamis, (17/10/2024).
Namun, jika vonis pengguna ditahan, ia mengatakan di Lapas terdapat klinik kesehatan dan rehabilitasi ketika tahanan mengalami rasa sakit akibat kecanduan (sakau) atau kondisi kesehatan lain.
“Nanti dicek oleh bidang kesehatannya. Kalau memang dia betul-betul sakit, perlu dilakukan perawatan, itu kan hasil medisnya dokter sana,” ucapnya.
Sementara itu Badan Narkotika Nasional (BNN) mengatakan pengguna narkotika bisa mengajukan permohonan TAT setelah ditangkap oleh penyidik. TAT bisa diajukan ke Badan Narkotika Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga Nasional.
“Ajukan permohonan untuk melakukan TAT sebagaimana aturan yang sudah ada,” kata Penyidik Ahli Madya Dir. Prekursor dan Psikotropika Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Sri Bardiyati kepada Deduktif di Hotel Manhattan, Jakarta Selatan, Kamis, (17/10/2024).
Namun saat ditanya lebih lanjut seperti apa kriterianya, Sri tidak memberikan jawaban. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri pernah menargetkan rehabilitasi sebagai lapas pengendalian narkotika. Ia ingin menggenjot pelayanan program rehabilitasi menjadi 100 ribu di tahun 2015 dan 200 ribu di tahun 2016, dari semula hanya 18 ribu di tahun 2014.
Akan tetapi, target Jokowi tersebut tak tercapai. Bahkan, data Badan Narkotika Nasional (BNN) sembilan tahun terakhir cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya.
Pada tahun 2015, dari target 100 ribu rehabilitasi, BNN bersama instansi pemerintah dan komponen masyarakat hanya mampu melakukan rehabilitasi sebanyak 38.427. Kemudian tahun selanjutnya di 2016 target rehabilitasi diharapkan bisa naik ke angka 200 ribu, namun capaiannya hanya sekitar 21.430.
Kemudian jumlah rehabilitasi tersebut terus menurun, di tahun 2017 capaian rehabilitasi kasus narkotika turun ke angka 18 ribu. Lalu tahun 2018 angka rehabilitasi berangsur turun menjadi 15.263, kemudian 13.046 di tahun 2019, dan hanya 4.364 di tahun 2020.
Selanjutnya rehabilitasi naik di tahun 2021 sebanyak 26.693 orang. Lalu kembali naik di tahun 2022 menjadi 31.868 penyalahguna narkotika. Namun angka layanan rehabilitasi kembali turun pada tahun 2023 sebanyak 23.825 klien.
Presiden RI periode 2019-2024, Joko Widodo pun telah membuat penjelasan terhadap Rencana revisi UU 35/2009. Mewakili Jokowi, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) periode 2019-2024, Yassona Laoly membacakan penjelasan tersebut dalam rapat Ruang Sidang Komisi III DPRI RI, Kamis (31/3/2022).
Yassona mengatakan, untuk mengatasi kelebihan kapasitas di lapas, pengguna narkotika tidak harus dipenjara, tetapi bisa direhabilitasi atau menerapkan prinsip restorative justice (RJ).
“Seharusnya penanganan terhadap pecandu narkotika penyalahguna dan korban penyalahguna difokuskan pada upaya rehabilitasi melalui mekanisme asesmen yang komperhensif dan dapat dipertanggungjawabkan”, kata Yassona dikutip dari BNN.
Kendati Jokowi ingin meningkatkan program layanan rehabilitasi, Ismaya mengatakan program tersebut juga berpotensi tak tepat sasaran dan menjadi celah transaksional agar bandar tidak dipenjara, dan dialihkan menjadi rehabilitasi.
Fakta tersebut pernah tersurat dalam pernyataan Budi Waseso saat menjabat sebagai kepala BNN pada tahun 2017 lalu. Saat itu Buwas, panggilan karibnya, punya wacana menutup pusat rehabilitasi lantaran rekomendasi rehab dianggap transaksional.
“Kalau ditangkap orang kan ingin direhab bukan dipidana. Nah, rehabilitasi jadi alasan pembenaran, dan pasti ada tawar-menawar, 'kamu mau dipidana atau direhabilitasi? Wani piro? Berani [bayar] berapa kamu?',” ujarnya seperti dikutip Medcom, (10/2/2017).
Namun, harapan legalisasi ganja untuk kesehatan tampak jauh panggang dari api. Kepala BNN, Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Marthinus Hukom menegaskan lembaga yang dipimpinnya tidak setuju dengan legalisasi ganja medis.
“Saya ingin bertanya kepada pihak yang ingin melegalkan ganja, apakah tidak ada cara pengobatan lain selain menggunakan ganja,” kata Marthinus Hukom dikutip dari Antara, Jumat, (18/10/2024).
Kendati demikian, Indra dan orang-orang sepertinya masih memupuk harapan besar jika suatu hari nanti Indonesia mau melegalkan ganja medis.
“Nanti saja pakai (ganja) kalau sudah legal,” ucap Indra sambil berkelakar.
Di akhir perbincangan, sambil tersenyum dan berpamitan, Indra menyebut, “Ganja itu bukan narkotika, tapi tanaman yang penuh etika.”