Menakar Paylater dalam Pemenuhan Kebutuhan Gen-Z dan Milenial

Menakar Paylater dalam Pemenuhan Kebutuhan Gen Z dan Milenial

Harlan begitu limbung saat ayahnya dipecat dari perusahaan suku cadang motor di Cikarang pada medio 2019 karena alasan pandemi. Selama ini, ayahnya yang menopang uang bulanan Harlan, selain dari honor yang didapat dari master of ceremony atau MC paruh waktu di sela-sela jam kuliah di perguruan tinggi swasta di Jakarta.

Sebelum ayahnya dipecat, Harlan biasa dikirimi uang sejumlah Rp 1,5 juta per bulan oleh orang tuanya. Namun pasca ayahnya sudah tidak bekerja lagi–ditambah pendapatan ibunya berjualan masakan rumahan hanya cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga dan satu adiknya–Harlan hanya menerima uang Rp 800 ribu per bulan. Uang itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanannya.

Harlan yang ketika itu merupakan mahasiswa kelahiran Bekasi pada Mei 1999, menyewa indekos dua petak yang berada tak jauh dari kampusnya di bilangan Kebayoran Lama. Ia mesti pontang-panting mencari pendapatan ekstra untuk menyambung biaya hidup, membayar indekos dan kebutuhan lain. 

Honor dari pekerjaan paruh waktunya sebagai MC berkisar antara Rp 500 ribu - Rp 700 ribu per sesi. Sedangkan setiap bulannya Harlan mesti membayar sewa indekos seharga Rp 700 ribu saat itu. Belum lagi untuk makan sehari-hari dan kebutuhan lainnya. 

Karena kondisi itu, Harlan akhirnya memutuskan untuk mengajukan paylater.

Berkat saran dari orang tua serta beberapa temannya, Harlan mengajukan paylater lewat Kredivo pada Juli 2019. Ia mendapat limit sebesar Rp 1 juta.

“Dari paylater itu saya bisa membeli kebutuhan semisal sembako, token listrik, paket internet bulanan, bahkan sampai buku serta pakaian yang saya butuhkan ketika ada job MC,” urai Harlan saat ditemui di salah satu kedai kopi daerah Cilandak pada Rabu, 16 Maret 2022.

Seringnya Harlan memang berbelanja kebutuhan primer di e-commerce. Apalagi dalam rentang separuh tahun dari awal ketika ia memakai paylater. Namun ketika job MC mulai ramai kembali meski di tengah pandemi–mulai dari acara pernikahan, gathering, ulang tahun, dan seminar–Harlan sesekali membeli barang lain semisal kaus, sepatu, bahkan mainan figur.

Harlan menyebut bahwa paylater membantunya menyiasati kebutuhannya tanpa mengenal tanggal tua dan tanggal muda. Terlebih honor dari pekerjaannya sebagai MC serabutan juga tak ada kepastian di tanggal berapa saja. Namun Harlan acapkali mengatur waktu pembayaran atau jatuh tempo di satu pekan akhir setiap akhir bulannya, entah itu untuk tenor 30 hari atau 3 bulan.

Layanan paylater Kredivo yang Harlan pakai sejak awal, tidak ada bunga sama sekali alias 0% jika pembayarannya dalam kurun waktu 30 hari. Namun, adapun perubahan ketentuan setelah memakai paylater Kredivo satu tahun sedari awal pemakaian atau tepat di tahun 2020. Saat itu, untuk pembayaran paylater tenor 3 bulan yang ia gunakan, dikenakan bunga 2,6% per bulan. 

“Awalnya cemas karena takut tidak bisa membayar dan sudah kepikir ancaman penagihan. Tapi alhamdulillah ternyata saya bisa mengembalikannya tanpa telat satu hari pun dari saat pertama kali menggunakan,” imbuh Harlan.

Berbeda dengan Harlan, Putri yang merupakan seorang pekerja di salah satu perusahaan multinasional yang berkantor di daerah Pondok Indah, mengaku bahwa ia seringkali menggunakan paylater untuk kebutuhan hiburan, travelling, dan berbelanja pakaian.

Putri yang berusia 28 tahun, sudah menggunakan paylater sejak akhir 2018. Awalnya Putri memakai Traveloka Paylater untuk membayar tiket pesawat, biaya sewa hotel, dan segala kebutuhannya saat liburan atau staycation bersama dengan teman-temannya. Lalu di tahun 2019, Putri kemudian menggunakan juga Go-Jek Paylater, yang sering dipakai sebagai metode pembayaran saat memesan makanan di merchant favoritnya.

“Yang terakhir, Januari lalu saya pakai paylater untuk membeli sneakers di toko online langganan seharga tiga juta yang sudah termasuk diskon,” kata Putri saat dihubungi via telepon pada Sabtu, 19 Maret 2022.

Gaji Putri sebagai staf general affair bisa dibilang dua setengah kali lipat dari harga sneakers yang ia beli terakhir kali. Pernah suatu ketika, nyaris seluruh gaji Putri hanya untuk membayar tagihan paylater yang sebelumnya ia gunakan untuk berlibur ke Bali.

Tidak seperti Harlan, Putri masih tinggal bersama orang tuanya. Tidak ada beban tagihan atau sewa bulanan tempat tinggal. Adapun selain itu, Putri menyisihkan juga gajinya dengan nominal yang tak menentu untuk diberikan pada ibu dan ayahnya setiap bulan.

“Di antara semua pembelian atau transaksi yang pakai paylater, saya sadar bahwa sebagian darinya begitu impulsif,” tambah Putri.

Pasalnya, lebih dari separuh pembelian atau transaksi Putri menggunakan paylater, merupakan kebutuhan tersier dan acapkali dilakukan karena kalap diskon.

Kendati mendapati kemudahan bertransaksi, Putri menganggap bahwa dengan adanya paylater, ia jadi terdorong untuk berbelanja sesuatu yang sebenarnya bukan jadi prioritas utamanya.

“Jadinya nggak mikir panjang kalau udah kalap. Apalagi dengan bunga pengembalian yang rendah. Tapi justru karena itulah jadinya pengen belanja terus,” tutup Putri.

Jika Harlan masih terpikir untuk terus menggunakan paylater buat menyiasati pembelian kebutuhannya setiap bulan, Putri mulai menimbang-nimbang untuk berhenti menggunakan paylater.

***

Metode pembayaran dengan sistem bayar nanti atau paylater belakangan memang menjadi primadona di berbagai layanan aplikasi. Tidak hanya dianggap menguntungkan bagi penyedia jasa, melainkan juga bagi konsumen.

Paylater memberikan banyak kemudahan mulai dari pendaftaran yang singkat, dan aktivasi lebih cepat ketimbang kartu kredit. Ia juga praktis karena biasanya tersemat di aplikasi-aplikasi yang sering digunakan seperti e-commerce, ride hailing, ataupun aplikasi travel. Itulah sebabnya paylater ini begitu diminati terutama oleh Generasi Z serta Milenial.

Fintech Report 2021: The Convergence of (Digital) Financial Services yang dirilis DSInnovate pada tahun 2021 menyebut, paylater menjadi layanan favorit peringkat kedua dengan tingkat awareness sebesar 68,9%, di bawah e-money dengan 80,2%.

Dalam laporan itu, melesatnya penggunaan paylater dianggap karena mendapatkan awareness yang juga meningkat. Hal itu juga dianggap menjadi salah satu indikasi dari peningkatan literasi dan inklusi finansial yang perjalanannya cukup baik di masyarakat Indonesia.

Ketika menyelisik perilaku konsumen dan mengurai kelompok umur mana saja yang paling banyak menggunakan paylater, hasil survei Katadata Insight Center (KIC) dan Zigi pada Januari 2022, mengungkapkan bahwa paylater menjadi pilihan yang begitu diminati oleh kelompok umur Generasi Z (18-25 tahun) dan Milenial (26-35 tahun).

Dari survei itu, disebut juga sebanyak 49% generasi milenial menggunakan kredit atau paylater untuk membeli ponsel pintar (smartphone). Lalu diikuti untuk kebutuhan fashion sebesar 46,4%, untuk pulsa 42,6%, dan kebutuhan elektronik sebesar 44%. Sedangkan mayoritas sisanya yang merupakan Gen Z (61%) juga menggunakan kredit atau paylater untuk kebutuhan yang kurang lebih sama.

Ketika menyelisik perilaku dalam pengelolaan keuangan milenial, pada kelompok usia ini, mengalokasikan pengeluaran tetap atau wajib tetap lebih didahulukan dibanding membeli barang yang dibutuhkan. Terhitung 56% responden milenial dalam survei KIC dan Zigi, selalu mementingkan pengeluaran tetap atau wajib itu.

Sedangkan yang selalu membagi penghasilan ke pos-pos kecil (konsumsi, tagihan, entertain, dsb.), hanya 37,5% kelompok milenial. Adapun perilaku dalam pengelolaan keuangan milenial yang paling kecil adalah membeli barang yang diinginkan meskipun kurang dibutuhkan, yakni sebesar 3%.

Perilaku dalam pengelolaan keuangan Gen Z juga tak kalah menarik. Masih dari survei KIC dan Zigi, sebanyak 46,2% Gen Z selalu membeli barang yang dibutuhkan. 

***

Mengacu pada kebutuhan rutin bulanan Gen Z dari survei KIC dan Zigi, berbanding lurus dengan kebutuhan rutin bulanan Harlan selama ini. Entah sebelum menggunakan paylater atau bahkan ketika sudah menggunakan paylater. Alokasi pembelanjaan untuk kebutuhan komunikasi dan berbelanja bahan makanan menjadi dua hal teratas dengan persentase masing-masing sebesar 72,9% dan 51,2%.

Sama halnya dengan dua kebutuhan rutin bulanan teratas pada Gen Z, pada kebutuhan rutin bulanan Milenial, alokasi untuk kebutuhan komunikasi dan bahan makanan juga menempati posisi yang sama.

Namun hal itu tidak kita temukan pada Putri. Selama menggunakan paylater, kebutuhan rutin bulanan milenial seperti dalam survei KIC dan Zigi, digeser menjadi nomor ke sekian.

Keinginannya untuk memenuhi terlebih dahulu kebutuhan hiburan, travelling, serta kebutuhan tersier lainnya, justru menjadi prioritas Putri saat menggunakan paylater.

Dalam Jurnal Commercium Volume 4 No. 02 Tahun 2021, Revan Eria Bintang Hardika dan Anam Miftakhul Huda menulis tentang pengalaman mahasiswa pengguna paylater di Surabaya. Ada dua motif yang signifikan, yang melatari Gen Z maupun Milenial menggunakan paylater.

Motif pertama adalah because-motives. Motif ini disebut merupakan faktor yang berhubungan dengan sebab dari tindakan yang melatarbelakangi seseorang menggunakan paylater. Keputusan untuk menggunakan paylater terutama bagi Gen Z dan Milenial, tidak muncul begitu saja melainkan telah melewati proses panjang berdasarkan pengalaman.

Beberapa hal yang termasuk because-motives antara lain adalah kepuasan berbelanja, pemenuhan kebutuhan mendesak, gaya hidup modern serba instan, promo belanja, serta cashless society itu sendiri dengan sistem pembayarannya yang baru.

Sedangkan motif kedua adalah in order to motives. Pada motif ini, disebut merupakan pencapaian yang berdasarkan tujuan, harapan, dan minat yang diinginkan subjek berorientasi ke masa depan.

Ketika konsumen yang menetapkan paylater sebagai pembayaran cashless setiap berbelanja, hal itu merupakan salah satu yang termasuk pada in order to motives. Selanjutnya yang menjadi bagian dari in order to motives, ada pengguna paylater yang optimis finansial akan terkelola dengan baik.

Peter Abdullah, ekonom dari CORE Indonesia, melihat bagaimana paylater memang menjadi salah satu pilihan pembayaran yang menarik. “Isu yang diangkat adalah saat ini memang ada tren kenaikan pembayaran non tunai, utamanya dalam bentuk e-wallet dan paylater. Terutama di masa pandemi ini, memang bergesernya ke digital ketika masyarakat belanja di e-commerce,” ungkap Peter saat diwawancarai pada 29 Maret 2022.

Lebih lanjut, Peter menyebut bahwa secara teori, paylater bisa meningkatkan perputaran uang di mana pada ujungnya bisa mendorong perekonomian. Kendati demikian, Peter tidak mau beranggapan gegabah.

“Tapi ini masih sangat kecil. Jadi belum ke situ. Kita tidak bisa melihat kontribusi paylater terhadap ekonomi itu terlalu berani,” timpal Peter.  Terlepas dari bagaimana paylater itu sendiri ke depannya, masih banyak catatan bagi para pengguna paylater di Indonesia, terutama bagi Gen Z dan Milenial.

Nampaknya bagi sebagian Gen Z dan Milenial, penggunaan paylater sebagai metode pembayaran baru mampu mengatasi atau bahkan menyiasati permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing pengguna.

Mencermati setiap because-motives dan in order to motives, sangat baik untuk memutuskan apakah perlu memakai paylater atau tidak. Baik Gen Z dan Milenial, menyelisik literasi finansial sebelum menggunakan paylater juga tak kalah penting. Terutama dalam melihat konsep dan risiko pinjaman keuangan, hingga pengambilan keputusan yang tepat dalam mengelola keuangan.