Menapaki Jalan Terjal Kehidupan Transgender di Indonesia

Menapaki Jalan Terjal Kehidupan Transgender di Indonesia

Victoria menyewa kontrakan sebanyak dua kamar di kawasan Kampung Duri, Jakarta Barat, Rabu, (14/8/2024).
 

“Setiap pilihan pasti ada risikonya, entah dari pihak luar atau dalam,” ujar Victoria (36), transpuan.

Kontrakan Victoria yang padat penduduk di kawasan Kampung Duri, Jakarta Barat, Rabu, (14/8/2024).


Di kontrakan sederhana di Kampung Duri, Jakarta Barat, Victoria menjalani siang hari dengan ritual yang tak terpisahkan dari hidupnya, bersolek sambil mendengarkan lagu Rossa lewat YouTube di televisi.

Victoria mengoleskan lipstik di bibirnya, Rabu, (14/8/2024).

Di lingkungan saat ini, ia merasa lebih bebas mengekspresikan diri, berhias, dan menggunakan atribut perempuan lainnya. Sebelum merantau ke Jakarta, Victoria tinggal di Sanggau Kapuas, sebuah desa kecil di Kalimantan Barat. 

“Walaupun dulu pergaulanku dengan ibu-ibu, namun aku baru bisa bebas ber-makeup saat di sini. Berpenampilan seperti ini di kendaraan umum juga biasa,” ucapnya kepada Deduktif.

Tahun 2014, Victoria nekat merantau ke Jakarta. Saat itu penampilannya masih seperti lelaki cis. Hingga pada 2016, teman dekatnya mengajak ia mulai jujur, berpenampilan seperti perempuan. Victoria akhirnya  terdorong untuk mengubah tampilan.

“Sebenarnya dari kecil sudah merasa tingkah lakuku seperti perempuan. Anak laki lain pada main bola, sedangkan aku bantuin mama di dapur,” ujarnya. 

Kedua pakaian Victoria yang menemani transisi gendernya, Rabu, (14/8/2024).

Transpuan memiliki posisi yang rentan di masyarakat. Tak ada pengakuan, apalagi perlindungan. Imbasnya, mereka sulit mendapat pekerjaan formal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Komnas Perempuan sudah mengakui kalau kita perempuan sosial. Jadi, kemarin kita sarankan pelatihan gender untuk petugas transportasi umum supaya mereka tahu, perempuan enggak hanya biologis saja, tapi ada juga perempuan sosial,” ungkap aktivis transpuan tersebut.

Victoria sendiri mengais rupiah dengan mengamen di kawasan Duri, Jakarta Barat. Dalam sehari, ia  biasanya menghasilkan Rp100 ribu dari hasil mengamen. Namun, imbas cuaca yang tak menentu membikin ia hanya bisa mengantongi Rp15 ribu per hari, cukup untuk sewa speaker saja.

“Dulu, temanku yang sama sepertiku (gemulai) tiba-tiba ngajak, ‘cari uang tambahan, yuk,’ katanya, karena jadi pramusaji digaji bulanan, enggak mungkin nunggu (ada uang). Akhirnya, aku tahu ngamen sama mangkal dari dia,” jelas Victoria sambil tertawa kecil.
 

Victoria bersiap untuk pergi mengamen dengan gaun sederhananya, Rabu, (14/8/2024).

Victoria berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berbagai cara. Selain menjadi staf di Sanggar Seroja, sebuah komunitas transpuan, ia juga mengisi waktunya menjadi pengamen dan pekerja seks untuk menambah uang saku.

Namun, Victoria merasa menjadi pengamen dan pekerja seks pinggiran sangat melelahkan. Plus berisiko tinggi karena rawan dirazia oleh aparat.  Saat ini ia memilih melayani “pelanggan” secara daring

Victoria pergi mengamen di kawasan Duri, Jakarta Barat, Rabu, (14/8/2024). 

Victoria sadar, sebagai transpuan sekaligus pekerja seks, ia rentan terinfeksi berbagai penyakit menular, salah satunya HIV. Karenanya, ia memilih upaya pencegahan dengan aktif meminum obat PrEP guna menghidari HIV. Tak disangka, ia justru diangkat menjadi Duta PrEP oleh pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) Tambora, Jakarta Barat.

“Pesan saya sebagai duta PrEP kepada masyarakat yang suka jajan di luar, lebih baik lindungi diri kita sendiri dari HIV. Sayangi diri sendiri, lindungi diri sendiri,” pesannya.

Victoria menunjukkan pil ARV dalam dosis satu bulan pemakaian, Rabu, (14/8/2024).


 

Lembar Baru Sebagai Transpria 

Zamil Mutalif, transpria perantau dari Sampit, Kalimantan Selatan di ruang kerjanya yang penuh peralatan untuk berjualan online, Senin, (12/8/2024).
 

“Diriku enggak merasa berbeda, tapi aku merasa unik,” kata Zamil Mutalif (29) saat ditanya prinsip hidup yang membuatnya tegar pendirian menjadi transpria.

 

Di wilayah perkampungan yang sunyi, di Gunung Putri, Bogor—rumah pamannya, Alif—begitu ia akrab disapa, mulai membuka lembaran hidup baru sebagai transpria. Pada tahun 2024 ia bermigrasi dari Sampit, Kalimantan Tengah, mengadu nasib dengan menjual pakaian bekas pakai (thrift) dari rumah pamannya.

 

Di ruangan berukuran sekitar 20 meter persegi berisi manekin, karung-karung pakaian, dan ring light untuk penerangan, Alif menyambut Deduktif. Adegan selanjutnya diisi oleh kisah-kisah transformasi dirinya dari perempuan menjadi transpria. 

Alif melakukan siaran langsung menjual pakaian bekas pakai yang ia dapat dari Batam, Senin, (12/8/2024).

 

Dari lembaran masa lampaunya, Alif merasa menjadi perempuan dengan orientasi seks berbeda. Dahulu, dorongan untuk melela ia anggap sekadar angin lalu, namun seiring berjalannya waktu, hati kecilnya tak menolak.

 

“Dalam perjalanan transisi genderku, prosesnya terbalik. Biasanya, orang-orang beradaptasi dulu di lingkungan sosial. Sementara aku, memulai dengan terapi hormon dulu, baru bisa nyaman dipanggil abang atau lainnya,” ujar Alif, Jumat, (2/8/2024).

Seperangkat obat hormon milik Alif yang ia beli di toko online, Senin, (12/8/2024). 

 

Alif menunjukan sekotak obat steroid—produk turunan hormon testosteron—dan jarum suntik baru yang rutin ia gunakan setiap tiga minggu sekali. Ia mulai terapi sejak delapan tahun lalu, sedari merantau ke Pontianak. Hasil terapi hormonnya membikin suara Alif menjadi lebih berat, menumbuhkan janggut dan jambang, serta ciri maskulin lainnya. 


“Di waktu tertentu, aku menjeda (terapi hormon) selama tiga bulan, memberi kesempatan tubuhku untuk menstruasi,” jelas Alif saat diwawancarai Deduktif untuk kedua kalinya, Senin, (12/8/2024).

Alif mencukur janggut. Terapi hormon turut memicu pertumbuhan rambut di badannya, Senin, (12/8/2024).

 

Mirisnya, sama seperti Victoria, konstruksi masyarakat umum masih mendiskriminasi kelompok LGBTQ untuk mendapat pekerjaan di sektor formal. Alif yang merupakan lulusan teknik sipil mendapat penolakan saat melamar kerja sesuai bidang keilmuannya. 

Pernah satu waktu saat ia tengah melakukan wawancara, perekrut justru bertanya tentang identitas gendernya yang berbeda dengan kartu identitas (KTP). Setelahnya sudah bisa ditebak, Alif gugur dalam proses seleksi kerja

Alif sedang merapikan pakaian bekas pakai yang akan ia jual di platform daring, Senin, (12/8/2024). 

 

“Perekrut tertegun melihat KTP-ku. Padahal, yang lebih utama itu keterampilan, mengapa harus melihat gender?” keluh Alif.
 

Di kehidupannya yang baru, Alif sudah menggunakan fasilitas publik untuk laki-laki, misalnya toilet, tapi ada masanya ia tetap harus mengaku sebagai perempuan, terutama dalam perkara administrasi kenegaraan. Ia juga masih mengalami keraguan, terutama dalam hal beribadah.

 

“Aku lebih nyaman menggunakan sarung dan peci, tapi belum berani ke masjid. Aku juga belum tahu, sebenarnya aku batal saat memegang wanita atau pria? Itu, pertanyaan di diriku,” cerita Alif.

Alif bersiap untuk beribadah menggunakan sarung, Senin, (12/8/2024).