Mengkaveling Jalanan Sebagai Rumah

MENGKAVELING JALANAN SEBAGAI RUMAH: KISAH TUNAWISMA DI JAKARTA
“Saya nggak pernah denger gelandangan yang tiba-tiba nasibnya jadi bagus abis mondok [ditampung] di Dinsos. Masih sama, kok. Masih kelaparan juga ujungnya,” kata Rosyid, ketus.
Tidak ada pilihan lain bagi Rosyid, yang pernah dibuang oleh petugas panti sosial ke Pemalang, selain melanjutkan hidup di jalanan. Dengan bekerja apa saja, meski upahnya jauh dari harapan, dia berusaha mengerek nasibnya dari dasar lubang kehidupan sebagai tunawisma di Jakarta. 
Pertanyaan yang sama masih menghantui tunawisma lain: Apakah menjalani program operasi PMKS dapat meningkatkan kualitas hidup mereka? Terutama setelah melewati masa penampungan di unit pelaksana tugas (UPT) Dinas Sosial. Dan, apakah benar setelah keluar dari panti sosial, mereka tetap kembali terdampar di jalanan, kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, dan semakin terpuruk dalam keadaan mereka?
IRONI KINERJA UPT DINAS SOSIAL
Selama tahun 2018 sampai 2021, Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta telah menjaring 9.481 penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Angka itu mengalami peningkatan di tahun 2022, di mana mereka mengaku telah menjangkau sekitar 5.241 PMKS hanya dalam satu tahun. Semuanya dihimpun dari 6 kota yakni Kepulauan Seribu, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara.
[Sisipkan visualisasi data PMKS di DKI Jakarta dari tahun 2018-2021, pilih yang menggambarkan tren peningkatan jumlah PMKS dari tahun 2018 hingga 2022.: https://docs.google.com/spreadsheets/d/1kycWX0j-N4IDx8ekLg801EYgTVDmKqqplrD_GZK1g94/edit#gid=491981895] 
Sedangkan dalam Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) tahun 2021, Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta mengklaim telah mengentaskan PMKS ke dalam kehidupan yang layak dan normatif.
Angka capaiannya sendiri luar biasa: 102% dari target 100%. Indikator kinerjanya mengacu pada persentase pengentasan PMKS, di mana kategorinya tidak dijelaskan lebih lanjut.
Angka capaian kinerja Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta yang mengesankan itu jadi komedi ketika melihat kondisi tunawisma seperti Rosyid. Meskipun pernah terkena jaring operasi penertiban PMKS, diangkut ke unit pelaksana tugas (UPT) panti sosial, bahkan dibuang ke luar kota, nyatanya nasibnya tidak mengalami perbaikan yang signifikan.  Bagi Rosyid, hak untuk hidup lebih layak tak ubahnya matahari di kaki langit. .
Narasumber kami yang lain, yakni Jaka, juga mengaku bahwa panti sosial bukan tempat bersahabat bagi anak-anak dari keluarga miskin seperti dirinya. “Mending [hidup] di jalanan, nggak ada yang ngatur-ngatur. Makan masih bisa cari sendiri,” kata Jaka kepada Deduktif.
Panti sosial sebagai penampungan sementara bagi para tunawisma memang memiliki peran krusial. Selain menjadi tempat tinggal sementara, fungsi pembinaan mereka juga sangat diperlukan. Namun, menampung (atau membuang) tunawisma ke panti sosial bukanlah jawaban bagi permasalahan sistemik tunawisma. Kondisi tunawisma seperti Rosyid dan Jaka jelas menunjukkan adanya permasalahan dalam sistem penanganan tunawisma. Terlebih jika mengacu pada tunawisma yang berada di area DKI Jakarta.
[Sisipkan peta sebaran UPT Panti Sosial di DKI Jakarta: https://docs.google.com/spreadsheets/d/1kycWX0j-N4IDx8ekLg801EYgTVDmKqqplrD_GZK1g94/edit#gid=491981895]
Ketika pandemi, di seluruh area DKI Jakarta menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Dari temuan kami, selama rentang 2021, tidak hanya UPT Panti Sosial di bawah Dinas Sosial DKI Jakarta saja yang dipakai untuk menampung tunawisma yang kena jaring operasi atau positif Covid-19. Beberapa GOR serba guna di Jakarta, dipakai untuk penampungan sementara tunawisma.
“Saya sempat ditampung di GOR Tanah Abang. Waktu itu kena razia di daerah Gambir. Waktu itu bareng dua teman saya. Ada yang cuman tiga hari, ada yang sampai sepuluh hari. Tergantung kondisi kesehatannya,” kata Rosyid.
Selama berada di GOR Tanah Abang, Rosyid dan tunawisma lain mesti melakukan serangkaian tes kesehatan sekaligus tes usap Covid-19. Rosyid dan yang lain makan tiga kali sehari dengan menu nasi kotak yang tak menentu lauknya. “Kadang dapet ayam, kadang cuman telur. Pernah cuman dikasih makan tahu tempe dan acar,” imbuh Rosyid.
Selama Satpol PP dan petugas Dinas Sosial DKI Jakarta terus melakukan operasi PMKS selama pandemi, GOR-GOR lain semisal GOR Ciracas di Jakarta Timur dan GOR Karet Tengsin turut menampung tunawisma yang kena jaring operasi juga.
“Nggak semua yang waktu itu ditampung di GOR aslinya gelandangan [tunawisma]. Banyak juga orang tua [lanjut usia] yang ditampung di sana karena positif Covi,” kata Rosyid, “ditampung di panti sosial dan GOR [penampungan sementara], sama aja. Tetep nggak bisa ngapa-ngapain.”
Pendapat Miriam Komaromy, seorang Direktur Medis Pusat Kecanduan Grayken di Boston Medical Center, sejalan dengan situasi yang kita lihat. Ia merawat banyak pasien tunawisma dan mengungkapkan pandangannya saat pandemi melanda dan masa karantina berlangsung. Menurutnya, setiap individu harus tinggal di balik pintu, lebih tepatnya, tinggal di rumah.
"Jangan tinggal di jalanan. Bukan pula di tenda. Bukan di tempat penampungan tunawisma," kata Miriam seperti yang dilansir dalam laporan Forbes berjudul Why Housing The Homeless In The Age Of Covid-19 Is Essential yang diterbitkan pada 3 April 2020.
Menurut Miriam, orang-orang di tempat penampungan biasanya berkerumun bersama dan juga menghirup aerosol serta terkena sekresi tetesan dari satu sama lain. Lebih lanjut menurut Miriam, mereka juga menyentuh permukaan yang sama, sehingga saling menginfeksi melalui permukaan yang terkontaminasi oleh tetesan pernapasan.
Rosyid dan Jaka sama-sama pernah digelandang Satpol PP DKI Jakarta ketika masa pandemi. Keduanya mengaku kalau imbauan untuk tinggal di rumah selama masa isolasi atau karantina, tak lebih dari lawakan.
“Gimana mau nurut [himbauan pemerintah], orang rumah aja nggak punya,” kata Rosyid.
Deduktif berupaya menghubungi Premi Lasari selaku Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta, lewat WhatsApp pada 30 Maret 2023. Setelah itu, Deduktif juga melayangkan surat permintaan wawancara langsung masih lewat pesan WhatsApp pada 19 Juni 2023. Namun hingga laporan ini diterbitkan, tidak ada respons sama sekali dari Premi Lasari.
[Sisipkan tautan untuk 3 stori tunawisma: Rosyid, Jaka, dan Lela]
RUMAH TANGGA RENTAN TERUSIR
Biaya sewa rumah atau kontrakan petak di Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada peningkatan jumlah tunawisma di jalanan. Dalam esai berjudul Merumahkan yang Tak Berpapan yang diterbitkan oleh Kolektif Agora pada 29 April 2020, Atika Almira, seorang analis perumahan, menyebutkan bahwa sekitar 43.420 rumah tangga rentan terancam kehilangan tempat tinggal mereka di Provinsi DKI Jakarta pada tahun tersebut.
Estimasi itu ia peroleh dari data jumlah penduduk, persentase rumah sewa, dan persentase penduduk miskin dari BPS DKI Jakarta. Meski BPS DKI Jakarta tidak menyebutkan secara spesifik berapa dari jumlah penduduk miskin yang tinggal di rumah sewa, tapi Atika menyebut bahwa dengan mengambil persentase penduduk yang tinggal di rumah sewa sebagai proxy, angka 43.420 rumah tangga itu muncul. Semuanya berada di piramida terbawah di antara mereka yang tinggal di rumah sewa.
Kisah Lela ini bisa menjadi bukti nyata bagaimana tingginya biaya sewa rumah atau kontrakan petak di DKI Jakarta dapat mendorong seseorang terlunta-lunta di jalanan. Setelah terusir dari rumah sewa, Lela dan suaminya tidak memiliki pilihan lain selain mengembara di jalanan, pasar, bahkan berlindung di emperan toko. Mereka menjadi korban dari situasi yang sulit dan terpaksa menjalani kehidupan tanpa tempat tinggal layak.
“Harga sewa kontrakan di sini [Jakarta] emang mencekik kalau buat saya, gara-gara itu akhirnya nggak kuat bayar dan diusir,” kata Lela, narasumber kami.
Lela menjelaskan bahwa biaya sewa kontrakan dua petak saja setara dengan biaya membeli makanan untuk dirinya, suaminya, dan anak mereka selama satu bulan. Jumlah tersebut belum termasuk biaya untuk membeli beras. Situasi ini menunjukkan betapa tingginya biaya sewa rumah atau kontrakan di DKI Jakarta dapat memakan sebagian besar anggaran keluarga dan menyisakan sedikit, atau bahkan tidak ada sisa, untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
Kenyataan bahwa banyak rumah tangga atau keluarga yang terusir dari rumah sewa mengindikasikan bahwa angka tunawisma di DKI Jakarta dapat meningkat. Namun, masalah ini hanyalah salah satu aspek dari permasalahan yang lebih krusial, yaitu belum terpenuhinya hak dasar setiap individu untuk hidup dengan layak.
HAK ATAS HIDUP LAYAK
Persoalan tentang tunawisma atau homelessness ini, sudah termaktub dalam instrumen HAM semisal Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Pasal 25 ayat 1. Pasal itu secara eksplisit menyebut soal hak atas standar kehidupan yang memadai bagi setiap orang:
“Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda, mencapai usia lanjut atau mengalami kekurangan mata pencarian yang lain karena keadaan yang berada di luar kekuasaannya.”
Selain itu, instrumen HAM lain yang mengatur hak atas standar hidup memadai bagi tunawisma, adalah International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) Pasal 11. Pihak negara pada poin 1 Pasal 11 kovenan ini mengakui hak setiap orang atas hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya. Termasuk pemenuhan pangan, sandang dan perumahan yang layak, dan atas perbaikan kondisi hidup yang berkelanjutan.
Masih dalam Konvensi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) mengakui bahwa hak atas perumahan yang layak merupakan salah satu hak asasi manusia yang diakui secara internasional dalam hukum hak asasi manusia. Hak ini merupakan bagian dari hak setiap individu untuk memiliki standar hidup yang layak.
OHCHR merinci aspek-aspek kunci apa saja yang dalam upaya pemenuhan hak atas perumahan yang layak bagi setiap orang. Aspek-aspek kunci itu terdiri dari tujuh poin yang di antaranya adalah: [7 poin di bawah ini dibuat infografis]
Keamanan hukum kepemilikan (legal security of tenure): Terlepas dari jenis kepemilikan, semua orang harus memiliki tingkat keamanan atas kepemilikan, yang menjamin perlindungan hukum terhadap pengusiran paksa, pelecehan, dan ancaman lainnya.
Keterjangkauan (affordability): Biaya keuangan pribadi atau rumah tangga yang terkait dengan perumahan tidak boleh mengancam atau mengganggu pencapaian dan kepuasan kebutuhan dasar lainnya (misalnya, makanan, pendidikan, akses ke perawatan kesehatan).
Kelayakhunian (habitability): Perumahan yang layak harus menyediakan unsur-unsur seperti ruang yang memadai, perlindungan dari dingin, lembab, panas, hujan, angin atau ancaman lain terhadap kesehatan, bahaya struktural, dan vektor penyakit.
Ketersediaan pelayanan, bahan, sarana dan prasarana (availability of services, materials, facilities and infrastructure): Perumahan tidak memadai jika penghuninya tidak memiliki air minum yang aman, sanitasi yang memadai, energi untuk memasak, pemanas dan penerangan, fasilitas sanitasi dan mencuci, sarana penyimpanan makanan, pembuangan sampah, dll.
Aksesibilitas (accessibility): Perumahan tidak memadai jika kebutuhan khusus kelompok yang kurang beruntung dan terpinggirkan tidak diperhitungkan (seperti orang miskin, orang yang menghadapi diskriminasi; penyandang disabilitas, korban bencana alam).
Lokasi (location): Perumahan yang layak harus memungkinkan akses ke pilihan pekerjaan, layanan perawatan kesehatan, sekolah, pusat penitipan anak dan fasilitas sosial lainnya dan tidak boleh dibangun di lokasi yang tercemar atau di dekat sumber polusi.
Kecukupan budaya (cultural adequacy): Perumahan yang layak harus menghormati dan mempertimbangkan ekspresi identitas budaya dan cara hidup.

MENGOKUPASI BANGUNAN TERBENGKALAI DAN ANGKER DI JAKARTA
“Daripada ditinggalin demit [dedemit], emang mending buat ditinggalin gelandangan kan,” kelakar Rosyid ketika ditanya apakah mau menghuni bangunan kosong yang dianggap angker.
Pertanyaannya, bagaimana jadinya apabila gedung-gedung terbengkalai dan dianggap angker itu difungsikan untuk tempat tinggal para tunawisma?
Begitu banyak bangunan terbengkalai serta dianggap angker oleh masyarakat setempat, terutama yang berlokasi di DKI Jakarta. Antara lain mulai dari Menara Saidah di Pancoran, Toko Merah di Tambora, gedung bekas kantor politbiro PKI di Senen, hingga gedung bekas pusat perbelanjaan Ramayana Koja.
Yang paling santer adalah Menara Saidah yang beralamat di Jl. M.T. Haryono No.30 Pancoran, Jakarta Selatan, DKI Jakarta.
Dari informasi yang tercatat di arsip Setiap Gedung Punya Cerita (SGPC), Menara Drassindo—nama awal Menara Saidah—yang bergaya arsitektur Greek Revival ini, pertama kali dibangun oleh pemborong milik negara PT Hutama Karya bersama dengan Mustika Ratu Adji, pada Juli 1995. Pembangunan gedung ini selesai pada November 1997.
Menara tersebut awalnya dibangun sebagai fasilitas untuk menampung perusahaan-perusahaan yang memiliki pabrik di kawasan industri Cikarang dan Bekasi. Selain itu, pada periode antara 2001 hingga 2004, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal juga pernah memiliki kantor di gedung ini. Pada masa itu, kementerian tersebut dikenal dengan nama Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Indonesia Timur (KEMNEG PPKTI).
Namun, tidak ada sumber informasi yang dapat secara pasti menjelaskan kapan Menara Drassindo dijual kepada keluarga Saidah, yang kemudian mengubah nama gedung menjadi Menara Saidah.
Jauh sebelum dianggap angker, gedung ini punya sengketa kepemilikan yang akhirnya memicu harga sewa kian tinggi, dan akhirnya para tenant angkat kaki satu per satu.
Pada 2016, Wakil Gubernur DKI Jakarta yang saat itu menjabat, yakni Djarot Saiful Hidayat, sebenarnya sempat menginstruksikan Dinas Penataan Kota DKI Jakarta untuk mengaudit gedung itu. Menurut Djarot, selama sengketa lahan atau gedung belum ada putusan dari pengadilan atau inkrah, maka bisa digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Namun rencana itu tak berjalan dan menara Saidah semakin dianggap angker oleh warga setempat. Lusinan cerita-cerita mistis meruang inap di gedung itu.
“Sama sekali nggak bikin kita takut kayaknya. Yang bikin takut itu kalo pas mati kelaparan di jalan dan ga ada yang mau nguburin jasad kita,” pungkas Rosyid, menjawab pertanyaan iseng saya dengan sangat serius.