Menilik Kesejahteraan Dosen di Indonesia

Menilik Kesejahteraan Dosen di Indonesia: Dibayar Murah, Terhimpit Beban Kerja Berat

TL;DR
-Mayoritas dosen di Indonesia hanya diupah kurang dari Rp3 juta per bulan.
-Upah dosen di Indonesia berbanding terbalik dengan beban kerja tinggi.
-Gaji dosen di Filipina bisa mencapai Rp10 juta dan Singapura mencapai Rp100 juta.
-Tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) tak berdampak pada kesejahteraan dosen.

Lebih dari empat ribu orang meramaikan tagar #JanganJadiDosen sejak Selasa, (20/2/2024). Tagar itu dicetuskan oleh Ardianto Satriawan, seorang Dosen Teknik Elektro di Institut Teknologi Bandung. Melalui akun X, ia mengungkapkan situasi kesejahteraan dosen di Indonesia. 

Ardianto membagikan tangkapan layar berupa slip gaji yang ia terima selama menjadi dosen. Gaji pokoknya kurang lebih sebesar Rp2,8 juta. Bila ditambah dengan tunjangan lainnya, Ardianto mendapatkan gaji bersih kurang lebih Rp3,1 juta.

“Buat saya tunjangan dan segala penghasilan lain itu omong kosong tanpa gaji pokok yang layak,” tulis Ardianto, Selasa (20/2/2024). 

Penetapan gaji pokok merupakan masalah krusial yang selama ini menjadi perdebatan di kalangan dosen. Sudah menjadi barang umum di Indonesia gaji dosen relatif rendah. Upah tak layak, kerja berlebih adalah beban yang harus ditanggung para akademisi.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2024 mengatur perubahan tentang peraturan gaji bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Untuk golongan I-IV berkisar direntang Rp1,6 juta-Rp4,6 juta. Jika dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta yang sebesar Rp5 juta, jelas angka tersebut masih di jauh selisihnya. 

Bukan hanya dosen PNS yang kesejahteraannya menyedihkan, dosen nonPNS juga tak kalah mengenaskan. Fuadi, dosen dengan jabatan fungsional sebagai Asisten Ahli di sebuah kampus swasta Yogyakarta hanya mendapat gaji pokok sebesar Rp600 ribu selama sembilan kali pertemuan. 

Artinya, Fuadi hanya mengantongi uang kurang dari Rp60 ribu dalam setiap pertemuan. Meski berstatus sebagai dosen tetap, ia hanya mendapatkan tunjangan sebesar Rp250 ribu. Gajinya tak menyentuh Upah Minimum Regional (UMR) Yogyakarta yang sebesar Rp2,4 juta.

Total penghasilan bersih Fuadi hanya Rp850 ribu. 

“UMR Jogja yang rendah pun, gaji pokok saya nggak sampai separuhnya,” kata Fuadi kepada Deduktif, dalam pesan langsung di X, Senin (26/2/2024).

Cerita serupa dikisahkan Meta Puspitasari, dosen tidak tetap di Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta berstatus nonPNS. Ia mendapatkan gaji sebesar Rp2,8 juta per bulan. Kenaikannya hanya selisih 16.67% dari UMR Yogyakarta. Gaji tersebut belum terhitung besar tunjangan yang ia dapatkan. Ia pun belum tentu bisa mendapatkan tunjangan itu.

“Memang ada tunjangan, tapi itu mekanismenya juga detail. Akan ditanya berapa jumlah pertemuan, penelitian apa yang sudah dipublikasi, atau berapa kali kita menghadiri sebuah acara, ini dibuktikan dengan lampiran sertifikat,” kata Meta kepada Deduktif, Sabtu (24/2/2024). 

Ketidaksejahteraan dosen merata terjadi di Indonesia. Fenomena ini dibuktikan dengan survei yang dilakukan oleh para Akademisi Universitas Indonesia, Universitas Gadja Mada, dan Universitas Mataram (2023).

Survei tersebut menjabarkan tentang pendapatan tetap dosen per bulan. Peneliti melibatkan hampir 1.200 responden dosen aktif. Hasilnya menunjukkan 42.9% dosen di Indonesia digaji kurang dari Rp3 juta tiap bulan. 

Sementara itu, 29.8% mendapatkan gaji Rp3-5 juta per bulan. Hanya 27.3% dosen yang mendapatkan gaji lebih dari Rp5 juta tiap bulan.

Ketua Serikat Pekerja Kampus, Dhia Al Uyun mengatakan, profesi dosen di Indonesia masih dianggap sebagai “pengabdian”, sehingga seakan tak pantas dan tabu ketika meminta upah layak. 

Padahal dosen juga memiliki kebutuhan pokok yang harus dicukupi seperti pekerja lain di Indonesia. Dhia mendesak, gaji pokok dosen setara Kebutuhan Hidup Layak (KHL). 

“Gaji pokok adalah penghasilan utama, menentukan kesejahteraan, dan ‘harga’ dari profesi. Jika diabaikan berarti tidak ada kepedulian terhadap profesi pekerja kampus,” ungkapnya kepada Deduktif, Rabu (28/2/2024).

Perihal besaran tunjangan, seharusnya bukan hanya pemerintah yang menetukan, melainkan dosen dan serikat pekerja juga ikut dilibatkan dalam proses perumusannya.


Beban Kerja Berlebih hingga Dapat Intimidasi

Upah kerja dosen yang jauh dari layak ternyata berbanding terbalik dengan beban kerja yang mereka pikul. Selain harus melakukan pengabdian akademis, dosen juga diminta mengurusi tetek bengek administrasi jabatan.

Renzo–bukan nama sebenarnya–merupakan dosen PNS di salah satu PTN di Jawa Barat. Ia menyandang jabatan sebagai Asisten Ahli, Penata Muda Tingkat 1 (Gol/IIIB). 

Renzo mengaku, selain harus melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni  pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, ia juga dituntut mengurus tugas administratif seperti laporan Beban Kerja Dosen (BKD) dan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP).

“Kalau BKD tidak terpenuhi, kami tidak bisa sertifikasi dosen. Belum lagi dosen PNS harus melaksanakan SKP. Tugas dosen jadi semakin berlipat dan rumit,” katanya, Selasa (27/2/2024).

Sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2010-2011, sertifikasi dosen (serdos) bertujuan untuk meningkatkan kinerja dosen. Serdos juga jadi syarat agar dosen bisa mendapat tunjangan. Namun tiap tahun, persyaratan untuk mendapatkan serdos semakin sulit.

Nilai batas minimal (Passing grade) Tes Kemampuan Dasar Akademik (TKDA) dan Test of English Proficiency (TOEP) yang tinggi, dianggap sulit dijangkau oleh sebagian dosen. Mekanisme ini diperumit dengan syarat administrasi yang harus dipenuhi–termasuk BKD dan SKP.

Gaji yang Renzo terima saat berstatus nonPNS sebesar Rp2,1 juta. Jumlah tersebut naik 20% saat ia diangkat jadi PNS yaitu Rp2,8 juta. Jika dibandingkan dengan UMK Kota Bandung 2024, masih ada selisih kurang sekitar Rp1,5 juta.

Gaji kecil membuat Renzo harus memutar otak agar kompor di rumahnya bisa tetap menyala. Ia menyiasatinya dengan mencari pekerjaan sampingan. Dari mulai mengerjakan proyek penelitian sampai membuka usaha roti bakar.

“Apa saja dikerjakan, kerja-kerja ahli, konsultan di swasta, atau lembaga swadaya masyarakat, proyekan.”

Bagi Renzo, tak masalah jika ia harus menanggung beban kerja ganda. Sebab, itu dilakukannya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Keputusan bekerja di banyak tempat seperti Renzo juga dilakukan beberapa dosen di kampusnya.

“Dengan keadaan yang sudah sepadat itu saja, kami masih harus mencari pekerjaan sampingan,” katanya.

Mirisnya beragam kritik dan tuntutan untuk mendapat upah layak tak disambut dengan baik oleh pemerintah dan pihak kampus. Renzo pernah mendapat peringatan dari pejabat kampus saat masa Latihan Dasar Calon PNS (Latsar) tingkat 1, buntut dari kritik yang ia lempar di media sosial.

November 2022, Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) Renzo ditahan oleh pihak kampus. Padahal, layaknya sebuah Surat Izin Mengemudi (SIM), NIDN punya fungsi krusial bagi dosen untuk penelitian, sertifikasi dosen, dan lain hal. Selang dua bulan NIDN Renzo baru di proses ke Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI). Awal tahun 2023, ia diangkat menjadi dosen PNS.

“Saya dipanggil rektor, wakil rektor, dan pejabat kampus lain. Saya hampir mau mengundurkan diri,” ungkapnya.

UKT Mahal Tidak Berdampak ke Dosen

Seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia sudah menerapkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) sejak tahun 2013. Biaya pendidikan jadi naik gila-gilaan pascasistem tersebut berlaku.

Aturan tersebut diakomodir dalam Permendikbud No 55 Tahun 2013 yang kemudian direvisi dalam Permenristekdikti Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud. Sedangkan, penetapan UKT PTN di bawah Kementerian Agama, dipertegas melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 1195 Tahun 2019.

UKT bagi banyak orang merupakan sebuah momok menakutkan, karena model pembiayaannya yang semakin komersil dan kapitalistik. Dalam kurun 28 tahun terakhir, secara umum biaya pendidikan tinggi di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 9900% sedangkan kenaikan penghasilan hanya sebesar 266%. 

Penetapan biaya pendidikan yang tinggi, nyatanya tidak berbanding lurus dengan penerimaan gaji dosen. Dosen di Indonesia masih berada dalam kubangan gaji tak layak.

Jika dibandingkan, gaji dosen di Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain sangatlah jomplang. Rata-rata gaji dosen di Indonesia hanya berkisar Rp3 juta per bulan, sementara gaji dosen di Filipina bisa mencapai Rp10 juta dan Singapura mencapai Rp100 juta. 

Ketua Umum Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Mohammed Ali Berawi, merespons kondisi rendahnya gaji dosen dengan mengajukan beberapa rekomendasi dalam peningkatan dan kesejahteraan dosen di Indonesia. 

Ia meminta pemerintah melakukan penguatan insentif penelitian dengan peningkatan tunjangan fungsional dosen. Tunjangan ini didapatkan oleh dosen yang telah mendapatkan sertifikasi dosen. Selain itu, ia mengatakan perlunya pembaharuan Perpres No. 65 Tahun 2007 untuk tunjangan dosen yang layak. 

“Sistem meritokrasi berbasis kinerja di setiap perguruan tinggi, menjadi langkah penting dalam meningkatkan kualitas riset dan pengembangan di perguruan tinggi,” katanya kepada Deduktif, Jumat (23/2/2024).

Reporter dan Penulis: Anggita Raissa
Editor: Aditya Widya Putri

Panduan Republikasi:
Deduktif.id mempersilahkan siapapun merepublikasi artikel secara gratis dengan panduan sebagai berikut:   
1. Dilarang mengedit artikel. Segala bentuk penyesuaian harus mendapat persetujuan penulis sebelum diterbitkan ulang. 
2. Mencantumkan nama penulis, sumber artikel yang berasal dari deduktif.id, dan tautan URL artikel asli di bagian atas artikel republikasi.
3. Dilarang menjual artikel secara terpisah atau menyebarluaskan demi keuntungan material.
4. Pastikan lisensi foto maupun grafis berasal dari deduktif.id.