Di Glodok, waktu seolah berjalan lebih lambat setelah Mei 1998. Toko-toko tutup lebih awal, anak-anak muda jarang terlihat, dan pusat ekonomi itu tak lagi sama seperti dulu. Dari sebuah toko jam di Jl. Pancoran No. 52, Lukman Tanujaya menyaksikan semua perubahan itu.
“Dulu lebih ramai. Dulu, sampai jam 10 [malam] dagang juga. Sekarang, jam 7 [malam] udah sepi. Sejak kejadian ‘98,” ujarnya.
Lukman telah berdagang di area Pancoran, Glodok selama hampir lima dekade. Toko jamnya, yang ia namai “Serba”, telah beroperasi sejak tahun 1970-an dan berada tepat di depan pelataran pusat perbelanjaan Pancoran Chinatown Point, berdampingan dengan Toko Manisan Timur Jaya. Keduanya memilih bertahan, meski ruko-ruko lain telah diruntuhkan oleh pengembang.
Kata Lukman, ia enggan menjual tokonya ke pengembang karena tokonya sudah lama berada di sana. Lagipula, di usianya yang sudah menginjak angka 83, ia merasa butuh kegiatan agar tidak pikun.
“Jadi, enggak mau jual dulu, kecuali kita udah pensiun, udah mau pensiun.”
Saat saya berkunjung pada Rabu (07/09) lalu, Toko Jam “Serba” tampak sepi. Lukman berjaga sementara dua orang lain sedang melakukan perbaikan kecil pada toko, mengelupasi lapisan tembok yang telah usang dirembesi air dan mengecatnya ulang. Kardus-kardus berderet memenuhi bagian belakang toko.
Di sisi kanan toko, puluhan jam dinding bundar menggantung. Harganya beragam, mulai dari puluhan hingga ratusan ribu rupiah. Di depannya, terdapat meja kayu kecil, menghadap etalase berisi jam beker analog warna-warni dan jam tangan. Di sanalah Lukman berjaga, ditemani alunan lagu dari radio jadulnya.
Tak ada pelanggan yang datang siang itu.
Memori Masa Lampau
Sebelum membuka toko jam, pada awal dekade 70-an, Lukman sempat lebih dulu menekuni usaha kuliner. Di toko yang sama, ia berjualan sekba, sebuah hidangan Tionghoa-Indonesia berupa jeroan babi dan sayuran rebus berkuah kecap yang umum ditemui di area Pecinan. Meski ramai, setelah empat tahun, Lukman memilih menutup usahanya karena tak tahan dengan ritme kerja usaha kuliner.
“Belakangan capek, bisa pulang jam 1 [pagi]. Ramai, cuma terlalu capek. Udahlah, nanti malah jadi penyakit,” terangnya.
Ia menyatakan, selain pusat perdagangan dan pemukiman etnis Tionghoa di Jakarta, Glodok juga merupakan salah satu pusat hiburan di era tersebut. Orang-orang datang untuk menonton film, entah di Bioskop Chandra, Chung Hwa, Orion, atau Shanghai. Sejak bioskop-bioskop tersebut ditutup dan dialihfungsikan menjadi gedung pertokoan, gegap-gempita hiburan di Glodok pun redup.
Kemudian, Tragedi Mei 1998 terjadi. Lukman berkisah, saat itu, seperti kebanyakan warga Tionghoa-Indonesia lain, ia memilih menutup toko dan berdiam di rumahnya yang berada di Cideng, Jakarta Pusat. Glodok memang merupakan titik kerusuhan, tetapi Toko Jam “Serba” dan toko-toko lain di Pancoran tidak mengalami kerusakan berarti, sebab massa lebih memilih menjarah barang-barang elektronik di Harco Glodok dan Pasar Glodok City.
Meski demikian, bukan berarti keluarga Lukman tak terdampak. Anak keduanya, yang saat itu baru saja menamatkan kuliah kedokteran dan bekerja sebagai dokter jaga, terpaksa meninggalkan Indonesia menuju Amerika Serikat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, menyusul anak pertama Lukman yang telah lebih dulu tinggal di Amerika Serikat.
“Kerusuhan, Cicinya di sana bilang ‘Kirim aja, lah. Takut ada apa-apa.’ Daftar visa, diterima, langsung berangkat,” kenangnya.
Hal yang sama dilakukan oleh Lukman, 74 tahun silam. Lukman yang saat itu masih berusia 9 tahun diboyong sang ibu ke Jakarta untuk menghindari ketegangan sosio-politik dan rasial di tempat kelahirannya: Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah. Gert Oostindie, sejarawan Belanda, dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah menuliskan bahwa pada masa Bersiap (1945–1946), terjadi aksi pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa-Indonesia di Bumiayu. Ayah Lukman adalah salah satu yang menjadi korban.
Dalam perjalanannya mengungsi, Lukman dan ibunya sempat menetap sementara di Tegal. Namun, situasi di sana tak jauh berbeda dari Brebes. Berdasarkan pemberitaan surat kabar Leidsch Dagblad tertanggal 28 Agustus 1947, sekitar 1.000 orang telah terbunuh di Slawi, Tegal. Akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi dan menetap di Jakarta.
Sebenarnya, Lukman juga memiliki dua orang kakak. Kakak laki-lakinya telah tiada, sedangkan kakak perempuannya tinggal di Meixian, Tiongkok. Lukman berujar, cicinya dikirim ke Meixian untuk belajar saat masih belia dan belakangan tak bisa kembali.
“[Ke sana] pas masih kecil-kecil, masih ada Apho [Nenek]. Yeye–Apho [Kakek-Nenek] yang ngurus di sana.”
Tujuh dekade sejak kedatangannya ke Jakarta, hidup Lukman dan keluarganya sudah jauh lebih baik. Dari usaha jamnya, ia dan istrinya—yang meninggal tujuh tahun lalu karena penyakit jantung—mampu membiayai ketiga anak mereka hingga sarjana. Kini, kakek lima cucu itu berencana mewariskan Toko Jam “Serba” kepada anak ketiganya.
Upaya Revitalisasi
Sejak 2018, upaya untuk merevitalisasi kawasan Glodok telah berjalan. Di lahan kosong bekas pusat pertokoan Gloria yang habis terbakar pada 2009 lalu, kini berdiri pusat perbelanjaan Pantjoran Chinatown Point dan apartemen Lucky Tower Residence. Sebagian area Gedung Chandra juga dipugar menjadi ruang komunal Petak Enam.
Pemerintah Kota Jakarta Barat dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pun tak mau ketinggalan. Awal tahun ini, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta mempublikasikan konsep penataan kawasan koridor Pancoran, sebuah proyek yang ambisius. Gapura megah di akses masuk Jl. Pancoran pun selesai dibangun akhir Juni lalu.
Dengan rencana perombakan besar-besaran, kita tak sepenuhnya tahu bagaimana wajah Glodok ke depan. Namun, Lukman tak berencana pergi. Tak ke Tiongkok, Tak ke Amerika, tak ke mana-mana. Lagipula, ia tak betah di Amerika karena cuacanya terlalu dingin.
“Paling enak di Indonesia. Karena kita lahir di Indonesia, emang paling enak di Indonesia.”
Dari toko jamnya, Lukman akan terus menyaksikan perubahan Glodok, dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman.