Menolak Polri Mengawasi Film Indonesia

Menolak Polri Mengawasi Film Indonesia: “Kita Bisa Kehilangan Film Ekspresif dan Kritis!”

 

TL;DR

 

  • Badan Perfilman Indonesia (BPI) dengan Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia (Polri) membuat kesepakatan bersama (MoU) tentang pengawasan film Indonesia.
  • Kata “pengawasan” dalam MoU tersebut dianggap dapat membatasi kreativitas film Indonesia.
  • BPI berdalih MoU dibuat untuk kemudahan akses riset mengenai polisi untuk ditampilkan dalam film-film Indonesia.

 

Baru-baru ini, dunia sineas Indonesia digegerkan dengan nota kesepakatan bersama (MoU) antara Badan Perfilman Indonesia (BPI) dengan Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Para sineas mengkhawatirkan kesepakatan ini bakal menghalangi kreativitas pembuatan film.

 

Kekhawatiran tersebut muncul akibat kata “pengawasan” dalam MoU yang berjudul "Sinergisitas Pengawasan Pembuatan, Pengedaran, Pertunjukan Film Kepolisian Negara Republik Indonesia". Draft kesepakatan telah dipublikasikan di akun Instagram @badan_perfilman_indonesia pada Senin, 21 April 2025. Kepada BBC Indonesia, Ketua BPI, Gunawan Paggaru mengklaim pembuatan MoU ini bersifat mengikat sehingga kerjasamanya tidak akan terputus walau berganti komandan. 

 

Menanggapi respons sineas Indonesia, Gunawan berdalih MoU ini dibuat dengan tujuan peningkatan kapasitas dan pemanfaatan sumber daya manusia, serta pemanfaatan sarana dan prasarana. Sehingga para sineas bisa mendapatkan akses informasi akurat tentang kepolisian, terutama soal kesalahan penggambaran atribut yang kerap terjadi di sinetron. Dan lagi, MoU masih berupa draft dan belum ditandatangani kedua pihak.

 

Namun di sisi lain, sebagian sineas merasa kerjasama ini terjadi secara mendadak. Sutradara Yosep Anggi Noen misalnya, ia menyatakan baru mengetahui kerjasama BPI-Polri ketika secara tidak sengaja melihat postingan Instagram BPI. 

 

Untuk mengetahui perspektif yang mewakili kelompok sineas, Deduktif mewawancarai sutradara Yosep Anggi Noen via saluran telepon pada Minggu, 27 April 2025. 

 

1 Deduktif: Darimana Anda tahu ada MoU pengawasan pembuatan film oleh BPI-Polri?

 

2 Yosep Anggi Noen: Jadi sebenarnya saya tidak follow akun BPI dan tidak terlalu perhatian dengan kegiatan, kebijakan, atau  aktivitas yang dilakukan lembaga perfilman. Secara tidak sengaja saya melihat postingan art director Jogja yang me-repost postingan BPI yang isinya presentasi MoU dengan Polri. 

 

3 Pas pertama kali saya lihat, saya pikir “Wah ini harus dipertanyakan”. Saya repost, framing dengan pertanyaan, “Ini ada apa? Kok sampai ada inisiasi MoU antara BPI dengan Polri”. Pas pertama kali saya lihat. 

 

4 Deduktif: Apakah sebelumnya ada sosialisasi/pengumuman dari BPI soal memorandum ini? 

 

5 Yosep Anggi Noen: Tidak pernah, saya kira tidak ada siaran pers yang diterbitkan lembaga langsung. [Mungkin] dianggapnya bukan suatu hal yang mempengaruhi atau penting untuk diketahui. Cuma buat saya ketika melihat informasi sedetil apapun memantik rasa penasaran. 

 

6 [Unggahan] saya ramai di X dan Instagram, banyak yang berkomentar soal ini dan view-nya 800-900 ribu. Mayoritas negatif karena netizen khawatir soal pengawasan. 

 

7 Saya yakin posisi netizen ini karena mereka tidak sepenuhnya memahami konteks film di Indonesia. Film sering jadi media yang populer, mempengaruhi selera, jadi orang-orang gampang ikut campur.

 

8 Deduktif: Kenapa isu ini perlu mendapat perhatian?

 

9 Yosep Anggi Noen: Ambil contoh berita soal Ifan Seventeen yang diangkat sebagai Direktur Utama PT Produksi Film Negara (PT PFN) yang mendapat respons negatif masyarakat. Selama PFN tidak memproduksi film, ya tidak ada pengaruhnya. BPI lebih signifikan kedudukannya karena secara organisasi punya kekuatan untuk memberi pertimbangan ke strategi kebudayaan/perfilman Indonesia. 

 

10 Ketika lembaga sebesar itu membuat satu kebijakan jadi concern bersama. Kalau kebijakannya tidak relevan, kalau punya potensi tidak menguntungkan dari segi konten, atau pengawasan tidak perlu dari pihak lain, harus dipertanyakan. Keberadaan MoU ini membuat masyarakat [merasa] bakal kehilangan film-film yang ekspresif dan sudut pandang kritis. 

 

11 Deduktif: Bagaimana respons rekan sineas yang lain?

 

12 Yosep Anggi Noen: Kalau di kalangan perfilman, banyak diskusi di asosiasi perfilman yang merasa MoU ini harus terus diperhatikan dan alur informasinya tidak boleh terhambat. Saya sempat japri [chat pribadi] dengan beberapa pembuat film dan produser yang mempertanyakan posisi BPI. Setahu saya baru ada klarifikasi belum resmi dari Ketua BPI yang sebatas komentar di postingan sendiri

 

13 Sebenarnya kalau MoU dibuat untuk kemaslahatan perfilman, harusnya diketahui siapapun, termasuk stakeholder alias pembuat film dan penonton. Saya merasa ketimpangan informasi kenapa [alasannya] tidak disebut di rilis atau konferensi pers bisa menjawab kekhawatiran banyak orang. 

 

14 Deduktif: Apakah akses riset ke kepolisian benar-benar dibutuhkan oleh dunia perfilman Indonesia? 

 

15 Yosep Anggi Noen: Saya rasa dunia film sekarang tidak membutuhkan MoU ini. Toh kita tidak punya MoU dengan BI (Bank Indonesia) supaya film tidak menyalahi aturan soal tata kredit. Karena ini informasi publik. Kami para pembuat film punya tanggung jawab profesi untuk riset.

 

16 Soal atribut kepolisian [di film], memang ada pilihan artistik tertentu karena fiksi punya logika sendiri yang menawarkan hal baru. Namun akses soal ini harusnya dibuka ke masyarakat umum, bukan cuma ke dunia perfilman. 

 

17 Supaya orang tidak keliru atribut tertentu dari Polri, maka kampanye visual atau kehumasan bisa saja dilakukan Polri tanpa menyangkutpautkan institusi lain. MoU bisa digantikan dengan transparansi kampanye, makanya menurut saya MoU tidak sesuai tempatnya. 

 

18 Deduktif: Apa risiko dari MoU ini terhadap kualitas film Indonesia?

 

19 Yosep Anggi Noen: MoU bisa jadi legitimasi ke hal-hal yang berbau opresif. Takutnya apabila ada film yang menunjukkan polisi yang berbuat jahat atau membuat kesalahan sebagai aparat, bisa dianggap sebagai film yang kritis. 

 

20 Kita kan harus melihat fiksi yang menceritakan soal manusia yang mengenakan atribut. Entah guru, penjahat, wartawan, mahasiswa, polisi, anggota DPR. Adanya MoU saya rasa bakal memunculkan pertanyaan “Ini kok ada tokoh yang tidak pakai atribut yang tepat?” oh artinya tidak mewakili ketokohan polisi [karena dalam MoU polisi harus memakai atribut tepat]. 

 

21 Deduktif: Apakah produksi film memang butuh dukungan polisi?

 

22 Yosep Anggi Noen: Sinergi yang sangat mungkin bisa dilakukan adalah bantuan yang bersinggungan dengan (isu) kejahatan atau ketertiban. Seperti perlindungan film dari pembajakan, bisa jadi kerja sama solid karena sesuai dengan tugas kepolisian, yaitu law enforcement (penegakan ketertiban)

 

23 Syuting film itu rumit dan selalu membutuhkan ruang publik yang besar, biayanya juga besar karena ada pungli dari preman area tersebut. Di situ diperlukan kerja sama dari institusi keamanan. Dukungan seperti ini yang paling riil dan dibutuhkan oleh sineas karena tidak ada konten yang diintervensi.