Hujan rintik membasahi kerikil di gang selebar dua meter ke arah perumahan baru, Griya Dewina. Empat rumah telah dihuni, sebagian masih berupa kerangka bangunan, sementara sisanya telah jadi bangunan namun belum dicat.
Seorang pria dengan rambut sebahu bergaya kuncir kuda tengah mengobrol bersama rekannya di salah satu bangunan setengah jadi. Jaket lusuh bertudung yang ia kenakan apek terkena air hujan. Sri Widodo (31) telah menjadi tukang bangunan selama belasan tahun, ia mengerjakan proyek dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore.
Dua jam sebelum pekerjaannya berakhir, Widodo mengajak Deduktif merakit besi beton untuk kerangka atap bagian teras rumah. Bersama rekannya, Widodo menyiapkan tangga yang lebih mirip meja raksasa untuk mencapai atap tersebut.
Meski tengah menjalankan ibadah puasa di tengah cuaca hujan rintik-matahari terik, Widodo tetap cekatan menata kawat dan batang besi beton. Pekerjaannya diselesaikan hanya kurang dari satu jam, bukti kemahiran yang ia bangun sejak remaja.
“Sejak lulus SMP (menukang), mulai 2010,” ujarnya santai saat berbincang di pos istirahat, Selasa, (11/3/2025).
Widodo bisa bertukang sampai ke wilayah Jabodetabek berkat diboyong rekan sesama pekerja bangunan dari Boyolali.
Pekerjaan bertukang yang digeluti Widodo berpindah-pindah. Kini ia tengah menetap di kontrakan petakan wilayah Tanah Sareal, Bogor Kota bersama keluarga kecilnya. “Kalau dulu kita LDR, istri dan anak di Boyolali,” katanya.
Proyek di Bogor ini membuat ia ia bisa sahur dan berbuka bersama keluarga. “Kalau di sini enak, udah kenal dekat sama mandornya,” tambahnya.
Selama Ramadan, Widodo tak cuma merakit besi baja. Sembilan jam ia bergulat dengan pekerjaan berat lain, mulai dari mengecor hingga mengangkut bahan bangunan. “Yang berat itu kalau ngecor, apalagi kalau buru-buru. Tenaga bisa terforsir,” tuturnya.
Meski ritme kerjanya padat, Widodo menerapkan pola kerja dua jam lalu istirahat sejenak. Jika tubuhnya terasa lemas, teman-temannya memakluminya. “Saya minum kopinya kuat. Kalau enggak puasa, bisa tujuh gelas sehari. Sekarang pas puasa paling cuma dua kali pas malam,” katanya. Baginya, kopi adalah “bensin” yang menyalakan energinya di proyek.
Sore itu, dengan sisa tenaga yang dimiliki, Widodo berusaha merampungkan pekerjaan. Napasnya mulai berat dan keringat mengalir deras. “Kalau sudah selesai gini, saya laporan dulu. Ikut enggak? Deket sih, di belakang perumahan,” ajaknya.
Kami pikir ia mau bertemu mandor, tapi yang dimaksud Widodo adalah shalat ashar di masjid dekat proyek. Ia bergegas membersihkan tubuh dan berganti pakaian di toilet sederhana samping pos berdinding tripleks. Usai “laporan”, Widodo merapikan peralatan yang telah dicuci bersih dan bersiap pulang.
Di penghujung sore, Widodo berpamitan kepada rekan-rekannya, lalu mengendarai motor mencari takjil. Sekitar 20 menit kemudian, ia tiba di rumah. Di dapur, sang istri telah menyiapkan menu berbuka: pisang dan ayam goreng. Putri kecilnya menyambut dengan ceria, berbalas senyum merekah di wajah Widodo. Seolah-olah lelahnya di proyek luruh seketika.