Mereka Hanya Ambil Kayu Lalu Pergi

Mereka Ambil Kayu, Lalu Pergi — Nasib Tragis Orang Rimba Digusur Perusahaan Korea

Menjelang senja, Karim, seorang Temenggung atau ketua kelompok Orang Rimba, tampak letih sepulang dari memungut brondolan sawit. Aktivitas ini terpaksa ia lakukan setelah hutan yang selama ini menjadi sumber hidupnya di Jambi dirampas oleh PT Hijau Artha Nusa (HAN), perusahaan energi asal Korea Selatan.

Orang Rimba di Desa Nalo Gedang, Merangin, Jambi, dipaksa meninggalkan hutan mereka. Kelompok Karim harus pindah sejauh 100 km ke Desa Pasir Putih, Bungo, karena kawasan itu diubah menjadi Hutan Tanaman Energi (HTE). Ironisnya, setelah kayu berharga ditebang, proyek tersebut terbengkalai dan perusahaan meninggalkan mereka tanpa tanggung jawab.

“Rimbo kami sudah habis. Kami cuma bisa cari brondol sawit, itu pun harus izin,” keluh Karim.

Hutan Hilang, Identitas Pun Terancam

Bagi Orang Rimba, hutan bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga ruang spiritual dan sumber pangan. Mereka hidup dari berburu babi, landak, hingga memanfaatkan tumbuhan obat seperti pasak bumi. Kini, semua itu lenyap. Anak-anak Karim masih mencoba berburu dengan senapan angin, namun hasilnya jauh dari cukup.

Mereka membangun pondok darurat dari kayu dan terpal di perkebunan sawit. Hidup mereka semakin sulit karena akses jalan menuju kebun lama rusak akibat aktivitas alat berat PT HAN.

Janji Manis yang Tak Pernah Terpenuhi

PT HAN sempat menjanjikan rumah, pendidikan, hingga pekerjaan bagi Orang Rimba. Bahkan, ada surat perjanjian kemitraan yang menjanjikan bagi hasil 10% dari panen sengon. Namun, pohon yang dijanjikan tak pernah dipanen. “Cuma nipu, ambil kayu lalu pergi,” kata Karim getir.

Bahkan, pada 2021, Karim dan keluarganya sempat dimualafkan oleh perusahaan bekerja sama dengan MUI dan pemerintah daerah. Setelahnya, mereka ditinggalkan begitu saja.

Transisi Energi atau Akal-akalan?

PT HAN berdalih proyek ini bagian dari transisi energi lewat skema co-firing biomassa di PLTU. Faktanya, batu bara tetap mendominasi 90–95%, sementara kayu hanya jadi tambahan kecil. Riset menunjukkan perusahaan menebang lebih dari 5.000 hektare hutan alami, tapi hanya menanam ulang sekitar 64 hektare sengon.

Ironisnya, demi mendukung energi terbarukan semu, Indonesia butuh lahan seluas 35 kali Jakarta untuk memenuhi kebutuhan biomassa 107 PLTU. Artinya, deforestasi justru akan makin meluas.

Konflik Tak Berkesudahan

Kasus PT HAN bukan yang pertama. Menurut KKI Warsi, sejak 1997 sudah terjadi 25 konflik antara Orang Rimba, perusahaan, dan warga desa. Akibatnya, 18 Orang Rimba meninggal dunia. Bahkan pada April 2025 lalu, tiga Orang Rimba diserang aparat keamanan sebuah perusahaan sawit, satu di antaranya tewas.

Data terbaru menunjukkan populasi Orang Rimba hanya tersisa sekitar 4.000 jiwa, sebagian besar kini hidup di tengah konsesi perusahaan hutan tanaman industri dan perkebunan sawit.

TL;DR

  • PT Hijau Artha Nusa (HAN) mengalih fungsikan hutan alam di Jambi untuk Hutan Tanaman Energi (HTE).
  • Setelah memualafkan dan mengusir Orang Rimba, HTE justru terbengkalai dan PT HAN lepas tanggung jawab.
  •  Transisi energi dengan metode co-firing merupakan solusi palsu krisis iklim, batu bara tetap digunakan dengan jumlah lebih besar.
  • Butuh lahan seluas 35 kali Jakarta untuk memasok kebutuhan biomassa 107 PLTU dengan kapasitas total 18,8 gigawatt per tahun

Co-firing itu solusi palsu dari transisi energi karena tetap menghasilkan emisi yang besar dan mempertahankan batu bara dalam jumlah besar,” kata Amalya kepada Deduktif, Senin (14/7/2025)

Kesimpulan

Kisah Karim dan Orang Rimba adalah potret nyata bagaimana transisi energi “hijau” justru mengorbankan manusia dan hutan. Janji manis investasi asing hanya meninggalkan luka, hutan gundul, dan masa depan yang semakin suram.