Neraka di Kapal Hampir Karam Bernama Jawa Pos Koran

Di saat anak-anak perusahaannya dipreteli akibat peralihan kekuasaan, koran Jawa Pos yang menjadi cikal bakal imperium turut keropos. Jawa Pos,  yang oplahnya mencapai 300 ribu per hari dari pasar Surabaya saja pada masa keemasannya, kini kehilangan kedigdayaan dan berangsur jadi kapal karam. 

Tak ada lagi meja kerja untuk wartawan koran Jawa Pos di lantai 4 Graha Pena Surabaya. Pada 2020 lalu, meja-meja kerja yang merupakan salah satu wujud kemegahan ruang redaksi diangkut keluar untuk membuat kantor lebih lega. 

Lantai 4 Graha Pena Surabaya sebelumnya adalah kantor khusus Tim Redaksi. Karyawan Jawa Pos lain berkantor di lantai 5 gedung yang sama. Namun, Direksi menghentikan sewa lantai 5 ke PT Graha Pena untuk menghemat pengeluaran akibat penurunan oplah dan bisnis. 

Graha Pena memang dibangun Jawa Pos, tapi oleh perusahaan yang berbeda dengan koran. Untuk menggunakan ruangan di Graha Pena, koran Jawa Pos harus menyewa. Ini adalah imbas model pengembangan bisnis Jawa Pos oleh Dahlan Iskan yang “tak meletakkan semua telur dalam satu keranjang.”

“Mungkin Pak Dahlan nggak pernah membayangkan itu terjadi (koran Jawa Pos tak mampu bayar sewa gedung),” kata seorang mantan wartawan senior Jawa Pos. “PT Jawa Pos Koran yang dulu jadi induknya sekarang nggak punya aset apa-apa, semua punya Jawa Pos Holding.” 

Penurunan oplah dan bisnis koran Jawa Pos mulai terjadi sejak 2015. Pergantian kepemimpinan pada 2018, tak mampu meningkatkan oplah dan bisnis koran Jawa Pos sebagai sumber pendapatan utama.

Tak ada inovasi berarti yang dilakukan Ratna Dewi selaku Direktur Utama Jawa Pos Holding pengganti Dahlan. Tidak juga di tangan Leak Kustiyo yang menggantikan Azrul sebagai Direktur Utama PT Jawa Pos Koran.

Sebaliknya, kepemimpinan baru justru membuat suasana kerja di Jawa Pos tidak nyaman. Mantan wartawan Jawa Pos yang saya temui menyebut Leak sebagai “pemimpin yang suka ngecing”. 

Ngecing adalah bahasa Jawa Suroboyoan yang berarti mengincar. Leak suka mengincar orang-orang yang ia nilai berseberangan dengannya, dan mencari-cari kesalahan mereka. Khususnya Tim Redaksi.

Salah satu korbannya adalah Abdul Rokhim. Leak mencopot Rokhim dari jabatan Pemimpin Redaksi pada Juni 2018 tanpa alasan yang jelas. Kabar yang berkembang di lingkungan redaksi, Rokhim dicopot karena meminta penjelasan kepada Leak yang menilai readership turun akibat penulisan judul berita kurang menarik. 

Menurut Rokhim, pendapat Leak terlalu subjektif. Ia pun meminta penjelasan, bagaimana judul berita yang bagus? Bukannya mendapat jawaban, jabatan Rokhim malah dicopot. 

Pencopotan Rokhim membuat karyawan lain gusar. Mereka takut hal serupa, atau bahkan lebih buruk seperti pemecatan, bisa menimpa mereka. Terlebih mereka mengenal Leak, yang pernah menjadi pemimpin redaksi, sebagai sosok yang tertutup untuk dialog. Ruang dialog itu kian tertutup ketika Leak menjadi Direktur Utama Jawa Pos Koran. 

Kondisi ini sangat jauh berbeda dari era kepemimpinan Dahlan yang sangat terbuka. Ketika terjadi permasalahan atau perbedaan pendapat antara direksi dan karyawan, mereka mau duduk bersama dan mendengarkan alih-alih ‘main kayu’. 

“Terlepas dari kekurangan Pak Dahlan soal manajemen keuangan, Pak Dahlan berhasil menciptakan suasana kerja yang nyaman, dan perusahaan untung besar,” kata mantan wartawan Jawa Pos itu.  

Terlilit kegusaran, suasana kerja di redaksi Jawa Pos tak lagi nyaman. Para awak redaksi hanya bekerja seadanya. Tak lagi memikirkan produksi berita yang bermutu. Mereka sekadar menuntaskan beban kerja dan mencoba cari aman. 

“Leak bilang terus terang, nggak suka jurnalisme investigatif. Ini aneh,” kata mantan wartawan Jawa Pos lain.  

Produk jurnalistik yang bermutu adalah kekuatan utama sebuah koran. Jawa Pos besar karena punya ciri produk jurnalistik bermutu, salah satunya dengan pendekatan pemberitaan berdasarkan peristiwa. Tanpa itu, oplah dan bisnis koran Jawa Pos kian ambruk.

Seorang sumber mantan wartawan Jawa Pos lain, memperkirakan oplah Jawa Pos hanya berkisar 40 ribu per hari secara nasional sampai masa terakhir ia bekerja pada 2020.

Berangkat dari kegusaran dan suasana kerja yang tak lagi nyaman, beberapa redaktur memutuskan mendirikan Serikat Pekerja Jawa Pos (SP JP). Mereka adalah Tomy C Gutomo, Kardono Setyo Rahmadi, Fathoni P Nanda, dan Anggit Setyo Nugroho. 

Pada Mei 2020, SP JP resmi berdiri. Mereka lantas menyampaikan pendirian serikat kepada Leak selaku pimpinan perusahaan. Leak merespons sinis.

“Ini perusahaan sudah nggak ada duitnya, kalian ngapain kayak gini?. Kayak pabrik panci,” kata salah seorang mantan presidium SP JP menirukan ucapan Leak. 

Usai pembentukan SP JP, hubungan direksi dan karyawan di Jawa Pos kian memanas. Direksi menekan karyawan dengan kebijakan penghapusan tunjangan jabatan dan tawaran pensiun dini. 

Pada 8 Juni 2020, Wakil Direktur Human Capital Jawa Pos Rudy Harahap mengumumkan dua kebijakan itu dalam pertemuan dengan SP JP. Alasannya, untuk efisiensi bisnis di tengah pandemi Covid-19. 

SP JP menolak melalui surat tertulis kepada manajemen pada 12 Juni 2020. Mereka mennyampaikan, nilai dari penghapusan tunjangan jabatan tak sebanding dengan potensi penurunan kinerja. 

Sebagai gantinya, SP JP menawarkan solusi pemotongan gaji karyawan selama kurun waktu tertentu bila memang perusahaan harus melakukan efisiensi. “Belajar dari koran Radar, kan ada pengurangan gaji selama beberapa bulan,” kata Indria Pramuhapsari, Ketua Tim Advokasi SP JP.

Terkait pensiun dini, SP JP mendesak dialog terlebih dulu sebelum perusahaan menawarkannya kepada karyawan. Kalaupun ditawarkan, SP JP menuntut dilakukan secara terbuka.

Namun, Direksi tak pernah menjawab surat SP JP. Secara sepihak, pada 18 Juni 2020, Leak menerbitkan Surat Keputusan No.001/SKDIR/JPK/06/2020 tentang Penghapusan Tunjangan Jabatan. Semakin menunjukkan watak Leak yang memang tertutup pada dialog. 

Keputusan ini sebagaimana termaktub di dalamnya, “berlaku efektif terhitung periode tunjangan jabatan Juli-Agustus 2020 dan dapat ditinjau kembali sesuai dengan perkembangan kondisi perusahaan.

Sampai saat ini, surat keputusan itu masih berlaku. Meski secara de facto karyawan mendapat tunjangan bila target pendapatan perusahaan tercapai. “Tapi nominalnya ya jauh banget dibanding tunjangan jabatan yang dulu kami terima,” kata Hapsari.

Penghapusan tunjangan jabatan semakin menebalkan kekhawatiran karyawan akan nasib mereka di Jawa Pos. Benar saja, tak sampai sebulan setelah itu, pada 1 Juli 2020, yang bertepatan dengan ulang tahun Jawa Pos, Leak mengumumkan penawaran pensiun dini bagi karyawan berusia 40 tahun ke atas. 

SP JP sekali lagi mendesak agar perusahaan mempertimbangkan ulang dan meminta penjelasan secara terang. Terjadilah pertemuan antara direksi dan karyawan pada 6 Juli 2020. Dari pihak direksi yang hadir antara lain Leak Kustiyo, Dirut Jawa Pos Holding Ratna Dewi, Direktur Iklan Jawa Pos Koran Eddy Nugroho, dan Direktur Keuangan Jawa Pos Koran Andreas Didi. 

Pertemuan itu berlangsung panas. Karyawan mempertanyakan maksud Leak yang pernah menyebut pembentukan serikat serupa buruh pabrik panci. Leak mengelak. 

“Saya kira, saya tidak seperti itu. Saya masih punya sopan santun,” kata Leak, seperti ditulis Bahari dalam buku Konflik Jawa Pos: Pasca Pecah Kongsi Dahlan vs Goenawan Mohamad Jilid I. 

Karyawan pun mengkritisi direksi yang sepihak menetapkan kebijakan efisiensi tanpa mencoba inovasi lain terlebih dulu untuk meningkatkan bisnis perusahaan. 

“Kenapa tidak ngajak kami ngobrol, diskusi? Padahal, kami SDM wartawan adalah aset paling berharga sebuah koran?” kata Janesti Priyandini, seorang anggota SP JP.  

“Bukannya saya setiap hari di sini?,” jawab Leak singkat. 

Seorang sumber Deduktif yang hadir dalam pertemuan tersebut membenarkan kejadian itu. Ia menambahkan, seorang redaktur politik bernama Kardono Setyorakhmadi sempat mendesak direksi yang melakukan audit terbuka keuangan perusahaan.

“Jangan-jangan penurunan pendapatan itu bukan kesalahan redaksi, tapi di pihak direktur dan komisaris?”. 

Direksi koran Jawa Pos tak pernah memenuhi permintaan Kardono. Direksi tetap bersikukuh melanjutkan kebijakan pemangkasan tunjangan jabatan dan pensiun dini dengan alasan perusahaan dalam keadaan sulit.

Pertemuan itu berakhir buntu. Direksi terus mendesak karyawan berusia di atas 40 tahun untuk menerima pensiun dini. Skemanya, karyawan yang menerima akan direkrut kembali dengan status pegawai kontrak bergaji Rp 6-8 juta per bulan. Nominal ini jauh di bawah gaji karyawan senior di Jawa Pos yang bisa dua kali lipatnya. 

Direksi lantas mematok tenggat pensiun dini pada 17 Juli 2020. Bagi yang pensiun dini sebelum tanggal itu, direksi menjanjikan pajak pesangon sebesar 5 persen ditanggung perusahaan. Mayoritas karyawan menolak. Hanya segelintir yang memang sudah memasuki usia pensiun mengambil tawaran tersebut. 

Direksi Jawa Pos Koran lantas mendesak lagi dengan menetapkan tenggat baru pensiun dini pada 31 Juli 2020. Direksi mengancam, pajak pesangon ditanggung karyawan yang mengambil pensiun dini melewati tenggat. Bagi yang menolak pensiun dini, akan dipecat dan mendapat pesangon skema PHK.

SP JP kembali mengirim surat penolakan. Mereka merasa Direksi sudah melakukan pemaksaan dan sengaja menyasar karyawan-karyawan tertentu. 

Hapsari yang bertugas advokasi di SP JP menjelaskan indikasi penyasaran, penawaran pensiun dini pada praktiknya tidak hanya kepada karyawan berusia 40 tahun ke atas, tapi tertuju kepada karyawan yang aktif di SP JP. 

Indikasi pemaksaan lantaran penawaran tak didasari surat keputusan perusahaan secara jelas dan terbuka. HRD memanggil karyawan satu persatu secara tertutup. Satu hal yang menurut Hapsari menciptakan kasak-kusuk dan ketakutan di antara karyawan, apalagi ada ancaman PHK jika menolak tawaran. 

Hapsari adalah salah satu karyawan yang mendapat tawaran pensiun dini, padahal saat itu usianya  baru 39 tahun. Ia mendapat tawaran langsung dari Rudy Harahap. Ia menolak, dengan alasan di bawah kategori usia dan tak ada surat keputusan resmi.

Sampai sekarang Hapsari masih menjadi asisten redaktur di Jawa Pos untuk edisi akhir pekan. 

Selain Hapsari, dua karyawan lain berusia di bawah 40 tahun yang mendapat penawaran pensiun dini adalah Janesti dan Retna Christa. Keduanya aktif di SP JP. Mereka menolak dan akhirnya kena PHK. 

Pentolan SP JP lain yang didesak pensiun dini antara lain Fathoni P Nanda, Tatang Mahardika, Ariyanti Kurnia Rukhmana, Mohamad Solahudin, Anggit Satriyo Nugroho, Kardono Setyorakhmadi, Agus Muttaqin, dan Eko Priyono. Mereka pada akhirnya menerima, meski sebagian besar tidak direkrut kembali menjadi karyawan Jawa Pos sebagaimana skema awal yang ditawarkan. 

SP JP sempat mengadukan persoalan ini ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Surabaya. Pada 24 Agustus 2020, Disnaker Surabaya mengagendakan pertemuan antara SP JP dengan Direksi Jawa Pos. Namun, Direksi tak datang. 

Disnaker Surabaya mengagendakan pertemuan ulang pada 2 September 2020, barulah Direksi memenuhinya. Dari pihak direksi hanya Rudy Harahap. Hasilnya,  sebuah risalah yang berisi: Direksi tidak boleh memaksakan pensiun dini.

Meski telah ada risalah, pemaksaan tetap terjadi. Raka Denny, fotografer senior Jawa Pos Biro Jakarta kena PHK pada akhir September 2020 setelah menolak pensiun dini.  

“Total ada 22 orang dari redaksi dan 4 orang non-redaksi yang pensiun dini,” kata Hapsari. 

Saya menghubungi Leak pada 6 Desember 2021 lalu, menanyakan kondisi oplah dan bisnis Jawa Pos dan pengurangan pegawai yang terjadi pada 2020. 

“Sejak lima tahun terakhir, oplah dan bisnis koran banyak mengalami penurunan, tapi tidak semua,” kata Leak. Ia menyebut Radar sebagai anak koran Jawa Pos tetap menumbuhkan peluang bisnis dan pembaca baru. Selain itu,  ada rencana pengembangan pasar baru di wilayah Tuban, Jawa Timur, dengan mendirikan Radar Tuban pada 2022. 

Terkait pengurangan pegawai, Leak tak bersedia menjawab. 

Pada 17 Agustus 2022, saya juga berusaha menghubungi Wakil Direktur Human Capital Jawa Pos Rudy Harahap melalui WhatsApp untuk mengklarifikasi terkait hal ini. Namun, sampai liputan ini ditulis Rudy tak kunjung memberi jawaban.

Semalam, saya bicara dengan salah seorang mantan redaktur koran Jawa Pos. “Kalaulah kapal bernama Jawa Pos sedang menuju tenggelam, itu karena kesalahan pemimpinnya saat ini. Karena semua permasalahan yang terjadi, terutama terkait jurnalistik, itu ada di dia,” katanya dengan nada penyesalan. 

“Ke depannya, koran Jawa Pos bisa jadi akan seperti unit bisnis lain. Ketika komisaris melihat ini mulai bakar uang, ya sudah tutup saja. Wong rugi.”