Pulau Halmahera, Maluku Utara, menyimpan cadangan nikel terbesar di Indonesia, mencapai 1,4 miliar ton. Logam ini kini jadi rebutan dunia karena menjadi bahan baku utama baterai kendaraan listrik. Namun, di balik gemerlap industri hijau, ada cerita getir: suku asli O’Hongana Manyawa terancam kehilangan hutan, sumber pangan, dan budaya mereka.
Sejak era Orde Baru, hutan-hutan Halmahera mulai terkikis akibat izin pengelolaan komersial. Kini, ekspansi tambang nikel memperparah kerusakan. Suku O’Hongana Manyawa—penjaga hutan yang hidup dengan berburu dan meramu—dipaksa bergantung pada beras dan bantuan perusahaan tambang.
Hidete, salah satu tetua suku, mengaku rutin menerima beras dari perusahaan tambang yang beroperasi di area jelajahnya. Padahal, dulu mereka mengandalkan sagu, umbi-umbian, dan hasil buruan seperti rusa, babi, atau ikan sungai. Kini, hewan buruan makin langka akibat hutan yang ditebang dan air sungai tercemar limbah tambang.
Bukan hanya perusahaan, pemerintah pun ikut mendorong ketergantungan pangan nonlokal dengan program bantuan beras. Akademisi Universitas Halmahera, Radios Simanjuntak, menegaskan praktik ini berbahaya: suku yang semestinya mandiri dengan pangan hutan, malah diarahkan untuk meninggalkan tradisi leluhur. Jika dibiarkan, konservasi hutan Halmahera bakal terancam.
Di balik cerita sedih ini, megaproyek hilirisasi nikel terus melaju. Konsorsium perusahaan Indonesia, China, dan Prancis membangun smelter hingga pabrik baterai, dengan target produksi puluhan gigawatt jam (GWh). Namun, ambisi global ini memaksa Suku O’Hongana Manyawa meninggalkan jati diri mereka sebagai “penjaga hutan.”
Hilangnya hutan bukan sekadar deforestasi, tapi juga hilangnya nyawa, budaya, dan kedaulatan pangan. Sementara dunia mengejar energi hijau, masyarakat adat Halmahera justru kehilangan masa depan.