Nyanyi Lagu Soal Hutan dan Tambang, Gaya Musisi Respons Isu Lingkungan

Nyanyi Lagu Soal Hutan dan Tambang, Gaya Musisi Respons Isu Lingkungan

 

TL;DR

-Band rock alternatif LAS! menyenggol isu pengrusakan lingkungan lewat lagu-lagu yang mereka ciptakan.

-LAS! menyoroti deforestasi dan juga penambangan yang menggerogoti Bumi Borneo.

-Musik telah jadi media populer untuk menyuarakan kampanye soal lingkungan.

 

Hutan dibakar, masih dapatkah diselamatkan?”

Hutan ditebang, masih dapatkah kembali ditanam?”

Seperti inikah hidup peradaban?”

 

Sekelumit lirik “Hutan Peradaban” milik band rock alternatif LAS! menyenggol isu pengrusakan lingkungan oleh oligark. Band ini dimotori Bob Gloriaus pada gitar dan vokal, Cep Kobra pada bas, Agaz Frial pada gitar, dan Diaz Mraz pada dram. 

 

LAS! tergabung dalam Music Declares Emergency Indonesia (MDE)–sebuah kolektif tanpa afiliasi komersial atau politik, yang fokus pada perlindungan lingkungan dengan program kesenian.

 

“Sekarang bukan lagi perubahan iklim, tapi udah krisis iklim. Alarm bahaya buat kita manusia,” ucap Bob kepada Deduktif, Kamis, (19/9/2024).

 

Bob sadar betul bahwa musik dapat menyuarakan varia persoalan sosial termasuk isu lingkungan. Lewat lagunya, LAS! memilih isu lingkungan yang kerap kali bias kelas: sering kali diangkat lewat perspektif kelas atas, namun mengabaikan dampak langsung dari masyarakat kelas bawah.

 

Dalam lirik-lirik lagu lainnya seperti “Borneo is Calling” dan “Sentarum”, LAS! menyentil pembalakan dan kebakaran hutan yang kerap terjadi di Kalimantan Barat. Ide awal menulis lagu bertemakan lingkungan tercetus tahun 2014 saat LAS! membuat dokumenter yang diberi nama Life on the Road. Perjalanan ini semula hanya untuk mencari inspirasi lagu.

 

“Ternyata, saat di perjalanan, mataku dipertontonkan kepulan asap akibat pembakaran hutan di tanah kelahiran kami sendiri. Kami melihat banyak pohon ditebangi untuk pasokan industri. Dari situ, kami terpapar isu deforestasi dan pembakaran hutan,” kata Diaz kepada Deduktif, Kamis, (19/9/2024).

 

Apa yang dikatakan Diaz sejalan dengan konteks masalah lingkungan kiwari yang terus menggelayut di bumi Borneo. Deforestasi, penggusuran, atau bahkan kriminalisasi masyarakat adat oleh PT Mayawana Persada–pelaku deforestasi terbesar di Kalimantan Barat.

 

Sepanjang tahun 2016-2022, perusahaan kayu tersebut menebangi hutan Kalimantan seluas 20.039 hektar. Deforestasi makin masif terjadi pada periode Januari-Oktober 2023 saat mereka membuka hutan tambahan seluas 16.257 hektar.

 

“Terus sebagai musisi, apa yang bisa kita lakuin?” tanya Bob. “Buatku, musik nggak akan bisa ngubah apapun, kecuali musisinya sendiri yang punya sikap,” katanya.

 

Musik memang mampu memengaruhi sikap orang untuk terlibat dalam gerakan. Ia tak lagi menjadi media komoditas politik pasif yang selama ini telah kita rasakan di rezim Orde Baru. Bob dan kawan-kawan menyadari itu. Mereka menggunakan musik sebagai medium menyebarkan isu lingkungan, macam deforestasi, kepada para pendengarnya.

 

Mereka membuat proyek-proyek sosial sebagai usaha menginterupsi ruang-ruang publik. Pada September lalu, misal, band rock asal Pontianak ini melakukan konser tur bertajuk BABLAS! di tiga kota Kalimantan Barat yakni, Sambas, Ketapang, dan Sintang. Deduktif  berkesempatan hadir di titik konser terakhir, Sintang.

 

“Sebelum tur BABLAS! ini, kita pernah bikin kegiatan namanya ‘LAS! Masuk Kelas,’ kegiatannya sederhana, kami nyanyi ke kelas-kelas Sekolah Menengah Atas (SMA),” lanjut Diaz.

 

Tur “LAS! Masuk Kelas,” selain mau meregenerasi pendengar, LAS! juga mengajak pendengar muda menyuarakan segala isu, termasuk soal lingkungan. Bukan tanpa alasan band yang akan genap satu dekade itu melakukan tur ke tiga kota di Kalimantan Barat. Menurut mereka, simpul skena musik di tiga kota itu cukup kuat.

 

Dalam konser BABLAS!, LAS! urun ide bersama Trend Asia, organisasi masyarakat sipil independen yang bergerak sebagai akselerator transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan di Asia, juga Link-AR, lembaga advokasi dan pemberdayaan petani, masyarakat adat serta buruh di perkebunan sawit, kayu dan pertambangan di Kalimantan Barat. Mereka melakukan semacam “perjalanan iklim” mulai dari menyambangi masyarakat adat Dayak Kualan di Desa Kualan Hilir, Kabupaten Ketapang yang saat ini tengah berhadapan dengan PT Mayawana Persada, sampai menyusuri sungai Kapuas di Desa Tayan yang dipinggiran sungainya telah digempur tambang bauksit.

 

“Ada kerusakan lingkungan di tiga kota itu, kami ingin tahu lebih jauh persoalannya. Intinya, kami mau angkat isu itu karena cerita warga di hilir ini jarang terekspos,” ungkap Bob saat ditanya alasan tur BABLAS! diadakan.

 

LAS! juga berupaya membangun solidaritas antar warga dengan melakukan aktivitas sosial bersama kelompok penggemar mereka, Wild Bornean. Pada 2018 ketika Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau terendam banjir, mereka menggalang dana bersama sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam aksi “Borneo Is Calling”. Mereka berhasil mendirikan posko dan menggalang bantuan untuk para korban bencana banjir.

 

LAS! turut menggalang dana korban gempa bumi di Palu, Sulawesi Tengah melalui showcase bertajuk "Diam-Diam Konser". Dengan dukungan komunitas musik dan para penggemar, acara ini menjadi bentuk solidaritas sekaligus wadah menggaungkan kepedulian sosial dalam skena musik independen. 

 

Musik telah lama menjadi media untuk menyuarakan berbagai persoalan masyarakat, termasuk soal isu lingkungan. Jika Kalbar punya LAS!, di Bali ada, Navicula, sebuah band rock yang kerap menyuarakan isu deforestasi, perubahan iklim, dan kerusakan laut dalam lirik-lirik mereka. 

 

Lewat poster mini album “Love Bomb” (2013) Navicula menentang perluasan perkebunan sawit yang jamak terjadi di Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan wilayah-wilayah di Indonesia lain. Mereka menggambarkan bahaya sawit dengan poster berwarna merah berlogo bom dan kombinasi gambar pohon kelapa sawit. 

 

Pada 2013, band berjuluk “Green Grunge Gentlemen” ini bergabung bersama gerakan kampanye dari Greenpeace, organisasi nirlaba yang fokus pada perlindungan lingkungan global. Lewat kolaborasi itu mereka membuat film dokumenter “Pulau Plastik” (2021) yang mengangkat isu dampak buruk plastik terhadap kehidupan manusia dan alam.

 

Upaya musikus menyuarakan isu lingkungan juga datang dari band internasional, Coldplay. Mereka membuat gelang konser (Xyloband) dari bahan daur ulang plastik nabati yang berasal dari tebu. Di tahun 2023, Coldplay menyumbangkan satu kapal pembersih sampah berjenis interceptor bernama Neon Moon II untuk Sungai Cisadane, Tangerang.



 

Kalimantan Barat Darurat Deforestasi dan Tambang

 

Ketika menyambangi kota Ketapang, LAS! menemui suku Dayak Kualan yang tengah mempertahankan tanahnya dari gerusan perusahaan PT Mayawana Persada. Dari perjalanan ini, Bob dan Diaz bercerita soal pengalaman suku Dayak Kualan yang berjuang melawan perampasan tanah yang dilakukan perusahaan.

 

Menurut Diaz praktik bertani suku Dayak Kualan merupakan salah satu bentuk perjuangan melawan eksploitasi sumber daya alam. Sistem bertani Dayak Kualan menggunakan sistem ladang gilir balik atau biasa dikenal dengan siklus ladang bergilir lokasi. Ketika hendak menanam, mereka juga membakar lahan tapi dalam skala kecil. Jenis tanaman yang ditanam tidak monokultur. 

 

“Yang masif, kan, selama ini, perusahaan yang melakukan pembakaran. Lalu kegiatan bertani dan berkebun Dayak Kualan dirusak oleh perusahaan dengan perampasan tanah, itu mirisnya,” lanjut Diaz.

 

Setelah menyambangi masyarakat suku Dayak Kualan. Agenda tur BABLAS! selanjutnya adalah menyusuri Sungai Kapuas yang terletak di Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

 

Sore itu, Kamis, 19 September 2024, jam menujukkan pukul 16.00 WIB ketika LAS! menyusuri Sungai Kapuas. Tak sendiri, LAS! juga mengajak band musik asal Bali, BSAR, dan Poker Mustache–keduanya juga tergabung dalam kolektif MDE.

 

“Ini pertama kalinya melihat langsung aktivitas tambang bauksit yang sudah semasif ini. Kalbar bukan cuma darurat deforestasi aja, tapi darurat tambang,” terang Bob sambil menunjuk lokasi pertambangan bauksit yang jaraknya berdekatan dengan area perkampungan warga.

 

Sungai Kapuas yang berada di Kecamatan Tayan Hilir memang telah dikepung  oleh aktivitas penambangan bauksit hasil dari pertambangan PT Aneka Tambang (Antam), PT Bintang Tayan Mineral, dan PT Kapuas Bara Mineral. Akibatnya, sungai terpanjang di Indonesia itu, tercemar hingga kini. Air sungai yang semula menjadi sumber kehidupan masyarakat, kini kotor dan berbau akibat buangan limbah bauksit.

 

“Ya. Beginilah kondisinya sekarang, hutan dilelang buat perusahaan, hutan dijual buat sawit dan tambang,” imbuh Diaz.

 

Caption Foto:

Gambar 1: Kondisi perkebunan masyarakat adat Dayak Kualan Hilir yang habis dibakar oleh PT Mayawana Persada, salah satu pelaku deforestasi terbesar di Kalimantan Barat, Rabu (18/9/2024). Foto Trend Asia/Esa Setiawan

 

Gambar 2: Saat ini masyarakat adat Dayak Kualan Hilir tengah memperjuangkan ruang hidupnya dari ancaman perusahaan sawit yang mencaplok tanah mereka. Tak hanya perampasan tanah yang mereka alami, beberapa di antara warga juga mengalami sejumlah intimidasi dan kriminalisasi dari perusahaan, Rabu (18/9/2024. Foto Trend Asia/Esa Setiawan