TL;DR
-Problem pengentasan TBC di Indonesia, terutama di wilayah terpencil adalah aksesibilitas fasilitas kesehatan dan pengetahuan masyarakat soal TBC yang minim
-Hingga kini WHO masih mengategorikan TBC sebagai penyakit menular paling mematikan di dunia.
-Pada tahun 2022, diperkirakan 10,6 juta orang di dunia terjangkit TBC. Jumlah ini sudah setara dengan jumlah penduduk Jakarta pada tahun 2024.
-Insiden kematian akibat TBC di dunia setara 15 nyawa per jam. “”
Dikisahkan kembali oleh Florida Linawati Aries Siregar (33), seorang dokter yang bertugas di salah satu fasilitas kesehatan (faskes) di Sanggau, yakni Puskesmas Balai Karangan, Kalimantan Barat.
Sejak memulai praktik pada 2017, Florida menjumpai banyak pasien suspek tuberkulosis (TBC) yang menolak pengobatan akibat stigma guna-guna dan penyakit keturunan. Suatu ketika, dia mendapat pasien perempuan paruh baya terdiagnosis mengarah tuberkulosis paru yang marah dan tersinggung karena merasa keluarganya dituding membawa penyakit turunan.
Alih-alih berobat ke puskesmas, mereka justru mendatangi dukun.
“Yang di desa (terpencil) ini biasanya tidak mau berobat dahak (pemeriksaan bakteri tahan asam). Ketika sudah menular baru sadar, dicek benar positif,” ungkap Florida Linawati Aries Siregar, dokter di Puskesmas Balai Karangan, Sanggau, kepada jurnalis Deduktif (arsip wawancara 2020).
Beberapa bulan kemudian, si nenek kembali datang bersama cucunya yang tertular. Pada akhirnya dia percaya bahwa ancaman tuberkulosis itu nyata dan bisa menular ke siapa saja.
“Saya jelaskan bahwa tuberkulosis bukan penyakit turunan, ia bertransmisi lewat udara. Jadi bisa saja kena kontak dari luar dan tertular,” jelas Florida.
TBC merupakan penyakit yang memengaruhi sistem pernapasan, terutama paru-paru, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis atau bakteri TBC. Penyakit ini menular melalui udara. Seturut data World Health Organization (WHO), seperempat populasi dunia memang telah terinfeksi bakteri TBC.
Namun hanya sekitar 5–10% orang yang terinfeksi kemudian menunjukkan gejala dan mengembangkan penyakit TBC. Risikonya bakal lebih besar bagi mereka yang juga memiliki penyakit berat, seperti AIDS, diabetes, mengalami malnutrisi, atau perokok.
Kisah lain soal TBC yang dihubungkan dengan klenik, dituturkan oleh Romy Sahman, Staff Program Monitoring Evaluasi and Learning, Yayasan Bina Asri Sanggau. Bina Asri merupakan yayasan yang bergerak di bidang kesehatan, kemanusiaan, keagamaan, dan sosial. Mereka memiliki program penanggulangan TBC berbasis komunitas dukungan Global Fund.
“Anggapannya, kalau batuk yang bercampur darah karena sudah infeksi paru itu kena guna-guna, diganggu orang,” ujar Romy kepada Deduktif, Kamis, (1/8/2024). “Sudah jadi budaya, mereka berobat dulu tradisional, kalau sudah parah, baru datang ke faskes.”
Hingga kini WHO masih mengategorikan TBC sebagai penyakit menular paling mematikan di dunia. Ia juga penyumbang utama resistensi antimikroba (kebal obat antibiotik). Pada tahun 2022, diperkirakan 10,6 juta orang terjangkit TBC. Jumlah ini sudah setara dengan jumlah penduduk Jakarta pada tahun 2024.
Insiden kematian akibat tuberkulosis di dunia mencapai 134.000 jiwa per tahun—setara 15 nyawa per jam. Dan, Indonesia berada pada posisi kedua dengan jumlah kasus TBC terbanyak di dunia setelah India, diikuti oleh Cina.
Kabupaten Sanggau adalah satu contoh wilayah terpencil di Indonesia yang sulit dijangkau fasilitas kesehatan. Daerahnya merupakan perbukitan dengan akses jalan buruk dan berbatu. Di beberapa titik, seseorang bahkan harus melewati hutan sawit atau menyeberangi sungai untuk sampai ke pusat kota.
Karenanya, menjalani pengobatan TBC di daerah terpencil di Indonesia, termasuk Sanggau bisa dikatakan sebagai perjuangan. Kondisinya akan tambah buruk bagi pasien yang tinggal sebatang kara, tak punya akses transportasi, dan termasuk kelompok umur tua.
Hambatan kian bertambah kala musim penghujan datang.
“Saat musim kemarau seperti ini jalanan yang masih tanah kuning dan banyak lubang jadi berdebu. Kalau sehabis hujan sangat luar biasa licin, tidak bisa boncengan. Jadi, harus turun jalan kaki,” lanjut Romy.
Bina Asri melatih kader-kader (mayoritas perempuan) untuk melakukan program pengentasan TBC. Beberapa programnya adalah penemuan kasus dan pendampingan pengobatan. Investigasi kontak untuk menemukan kasus baru dilakukan dengan memeriksa tanda gejala, faktor, dan risiko kepada 20 orang dari indeks kasus atau pasien positif.
Nantinya jika ada warga yang diduga TBC, maka kader Bina Asri akan meminta pemeriksaan dahak ke Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas). Pemeriksaan juga dilakukan terhadap seluruh anggota keluarga dan tetangga di empat rumah sekitar.
“Di Sanggau ini banyak desa yang jauh dari puskesmas. Ada kecamatan bernama Toba, itu butuh transportasi air jika ingin ke Puskesmas Toba, membelah sungai,” ungkap Romy.
Contoh lokasi lain, Dusun Penyalimau Hilir yang butuh waktu 2-3 jam (lebih dari 50 kilometer) menuju Puskesmas Sanggau. Bagi pasien yang tidak memiliki kendaraan, telah berumur, atau tinggal sebatang kara, kader-kader inilah ujung tombak penyelamat, tongkat estafet yang mengantarkan obat dan pemeriksaan dahak untuk para pasien khusus.
Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap TBC memang jadi faktor penyulit utama pengentasan TBC di Indonesia. Di daerah selain Pulau Jawa, jumlah fasilitas dan tenaga kesehatan yang minim juga jadi persoalan pelik.
Bayangkan saja, seturut data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2024 jumlah Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) di wilayah Kalimantan Barat hanya 247 tempat, bandingkan dengan Jakarta saja, memiliki puskesmas 315 tempat.
Kemudian untuk perbandingan rumah sakit, Jakarta punya 198 tempat, sementara Kalimantan Barat hanya empat rumah sakit saja. Padahal, Kalimantan Barat punya wilayah 222 kali lebih luas dari Jakarta.
Faisal Yunus, Ketua Kolegium Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Indonesia, cum guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi (DPKR), menyebut kepada Deduktif, dokter spesialis paru di Indonesia juga terbatas jumlahnya.
Jika merunut rekomendasi WHO, idealnya Indonesia harus memiliki sekitar 2500 dokter spesialis paru, namun saat ini hanya berjumlah 1.600 saja. Penyebarannya pun terpusat di Indonesia bagian barat. Ia mencontohkan, di Maluku dokter spesialis paru hanya berjumlah 5-6 orang, Sulawesi Barat 2 orang, dan Gorontalo 4 orang.
“Di Jakarta ada 200 orang,” ujar Faisal, singkat, Selasa, (23/6/2024).
Sebut saja namanya Gini (53 tahun, bukan nama sebenarnya), warga di Desa Penyeladi, Kelurahan Tanjung Sekayam, Kapuas, Sanggau. Setahun belakangan, Gini didiagnosa TBC tulang belakang. Tuberkulosis jenis ini menginfeksi tulang belakang pada area dada belakang bagian bawah dan pinggang belakang bagian atas.
Pengobatan Gini berlangsung lebih lama karena enggan mengikuti protokol pengobatan. Dia harus rutin minum obat biasa selama delapan bulan dan ditambah obat suntik selama dua bulan. Sayangnya, hingga sekarang, dia tak menjalaninya dengan baik.
“Tidak mampu sama efek sampingnya,” ujar Gini yang mengeluhkan demam, mual, dan sakit kepala—efek samping yang biasa dialami pasien selama pengobatan TBC.
Segala efek samping itu pun sebenarnya masih lebih bagus dibanding harus menanggung kelainan tulang belakang atau kelumpuhan suatu hari nanti. Tapi, Gini tak pernah menggubrisnya.
Gini tidak pernah melawan petugas. Dia pun selalu mengiyakan semua saran, tapi tak pernah mengindahkannya. Dia sering membohongi petugas puskesmas dengan mengatakan akan datang berobat saat jadwalnya tiba, tapi dia terus menunda kedatangan sampai jam kerja berakhir.
Di Indonesia, jumlah pasien bebal seperti Gini persentasenya sangat kecil. Meski jumlahnya tak signifikan, pasien-pasien putus obat ini punya pengaruh besar untuk menularkan bakteri TBC ke lingkungan sekitar. Investigasi kontak di lokasi tempat tinggal Gini, Desa Penyeladi, misal, menemukan penambahan tiga pasien. Padahal, sebelumnya, pasien TBC di sana hanya Gini saja.
Merujuk Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi orang dengan tuberkulosis yang patuh minum obat dalam satu periode tanpa terlewat adalah 69,2%. Kelompok dengan kepatuhan terendah ada di rentang usia Gini, yakni 45-54 tahun, sebesar 59,9%.
Alasan pasien tidak patuh minum obat bisa bermacam-macam. Mulai dari merasa sudah sehat (37,5%), tidak berobat (28,42%), tidak mampu membeli obat secara rutin (17,%), merasa pengobatan terlalu lama (16,5%), tidak tahan efek samping (15,6%), hingga sering lupa (8,12%).
WHO mengatakan, orang dengan tuberkulosis aktif yang tidak mendapatkan perawatan bisa menginfeksi 10-15 orang lain setiap tahun. Pengobatan mereka nantinya juga semakin sulit, mahal, dan lama karena terjadi resistensi obat (TBC RO).
Meski begitu, TBC tetap bisa disembuhkan. Pengobatan TBC aktif dilakukan selama enam bulan dengan empat obat antimikroba. Upaya global untuk memerangi TBC telah menyelamatkan sekitar 75 juta jiwa sejak tahun 2000. Sementara untuk TBC RO, pengobatannya memakan waktu lebih lama, mencapai 12 bulan.
“Memang, persoalan utama pengentasan TBC kita adalah kurangnya pengetahuan masyarakat akan TBC. Itu akibat sosialisasi pemerintah kurang maksimal,” kata Faisal, membandingkan upaya pemerintah dalam pengentasan HIV yang sudah masif dijalankan pemerintah.
Mengutip kata Faisal, obat TBC memang sudah ada dan tersedia cuma-cuma, namun pengentasan TBC di Indonesia butuh lebih dari itu. “Akses serta kesadaran masyarakat dan pemerintah lah utamanya.”