Paylater: Uluran Tangan atau Pasir Hisap?

Paylater: Uluran Tangan atau Pasir Hisap?

Laptop yang biasa dipakai Gani (bukan nama sebenarnya) untuk mengerjakan tugas kuliah, tiba-tiba mati total pada suatu malam di bulan November 2019. Sebelumnya, laptop yang telah menemaninya selama lima tahun itu tidak pernah mempunyai masalah apapun dalam komponennya. Namun, ketika Gani membawanya ke layanan servis, chipset laptop miliknya ternyata rusak dikarenakan overheat dan adanya jalur sirkuit yang hangus.

Ketika itu Gani tengah menyusun tugas akhirnya sebagai mahasiswa fakultas psikologi di salah satu perguruan tinggi yang berada di Jakarta Barat. Saat diberitahu tukang servis bahwa perlu waktu 3 hari untuk mereparasi laptopnya, Gani berkerut dahi. Pasalnya, ia butuh laptopnya sesegera mungkin untuk menyelesaikan beberapa tugas kuliahnya.

Karena dirasa membutuhkan waktu lama, Gani urung memasukkan laptopnya ke antrean servis. Belum lagi Gani berpikir bahwa meski nanti selesai servis, performa laptopnya diyakini bakal tidak akan seperti semula. Gani akhirnya memutuskan untuk membeli laptop baru dengan menggunakan pinjaman dari Akulaku.

 

Penyelamat di Saat Tidak Memiliki Dana

“Barangkali itu awal ketika saya ketagihan sekaligus terjebak menggunakan paylater,” cetus Gani saat diwawancarai via telepon pada Kamis, 10 Maret 2022.

Dua bulan sebelum laptopnya rusak, Gani memang telah membuat akun di Akulaku. Awalnya ia tidak sengaja membuat akun, akan tetapi ternyata pengajuannya diterima. Ia mendapat limit sebesar Rp 8 juta. 

Setelah memutuskan membeli laptop baru ketimbang memperbaiki laptopnya yang rusak, Gani langsung mencari laptop bidikannya di aplikasi Bukalapak. Ia menemukan laptop seharga Rp 6  juta dengan spesifikasi yang menurutnya cukup untuk menunjang kebutuhannya selama kuliah.

Gani langsung memesan laptop baru itu dengan metode pembayaran memakai limit Akulaku. Gani mengambil skema cicilan selama 6 bulan yang jatuh tempo setiap tanggal 17. Cicilan per bulan yang saat itu mesti dibayar Gani adalah Rp 1,44 juta, dengan total tagihannya mencapai Rp 8,68 juta.

“Biar nggak terlalu berat, sih. Meskipun kalau diingat-ingat waktu itu bunganya nyaris 4% per bulan. Kayaknya itu terhitung mahal dibanding paylater lain,” urai Gani.

Sebagai seorang mahasiswa, Gani diberi uang saku oleh orang tuanya sebesar Rp 3 juta per bulan. Meski orang tuanya juga tinggal di Jakarta, Gani memilih untuk menyewa indekos yang dekat ke kampusnya atas alasan jarak akses. Orang tuanya kerap menengok Gani dua pekan sekali sembari membawa kebutuhan logistik atau bahan masak.

Sejak memboyong laptop baru dengan paylater, ada hal yang dirasa berubah setiap bulannya meski tak terlalu signifikan.

“Biasanya saya sering nongkrong sambil mengerjakan tugas kuliah di kafe bersama teman, namun waktu itu mau tidak mau harus dikurangi. Dari yang sebelumnya bisa seminggu tiga kali, jadi hanya seminggu sekali,” kata Gani saat ditanya soal dampak awal setelah memakai paylater.

Memang setelah adanya laptop baru, kewajiban Gani untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah terbantu. Namun, Gani akhirnya berpikir bahwa bunga pembayarannya dirasa lumayan besar.

“Apalagi buat saya yang belum bekerja saat itu, jadi terasa banget mesti mangkas (anggaran kebutuhan) dan pintar-pintar nahan untuk membeli sesuatu,” imbuh Gani.

Gani lulus kuliah pada Juli 2021 dan kini ia telah bekerja sebagai Staff Junior HR di sebuah perusahaan kontraktor desain interior di Jakarta. Meski sudah berpenghasilan tetap, Gani masih aktif menggunakan layanan paylater.

Jika dahulu saat membeli laptop Gani memakai layanan Akulaku, sekitar bulan November 2021 Gani menggunakan layanan paylater dari Kredivo. Ia mengaku menggunakan fitur paylater dari Kredivo untuk berbelanja kebutuhan di e-commerce semisal pakaian, perabotan dapur, serta pulsa maupun kuota internet.

Saat ditanya adakah kekhawatiran ke depannya selama menggunakan paylater, Gani mengungkapkan dua hal.

“Saya belum terlalu yakin data saya bakal tetap aman, siapa yang tahu kan ke depannya bakal gimana-gimana. Selanjutnya mungkin soal ketergantungannya itu sendiri. Sekarang mungkin enteng pas ada penghasilan. Tapi ketika ada cicilan paylater trus lagi nggak ada penghasilan, pusing juga,” tutup Gani.

 

Kerangkeng Utang

Berbeda halnya dengan Gani, Nirmala (26 tahun, bukan nama sebenarnya) justru merasakan dampak yang cukup pahit semenjak menggunakan paylater. Hal itu bermula ketika tahun 2020 ia menggunakan Kredivo untuk berbelanja kebutuhan di merchant favoritnya seperti tas, sepatu, dan pakaian.

Nirmala yang saat itu bekerja sebagai admin di sebuah kantor notaris di BSD Serpong, mulanya membeli tas dan sepatu yang total harganya Rp 2 juta dengan menggunakan paylater. Dengan penghasilan bulanan yang ia miliki, cicilan paylater Kredivo dengan tenor lebih dari 30 hari pengembalian jelas bukan hal yang berat saat itu.

Seiring enam bulan berjalan dan tidak pernah telat bayar tagihan, limit Kredivo Nirmala naik menjadi Rp 5 juta untuk Pinjaman Jumbo. Saat limitnya sudah naik dan cicilan sebelumnya sudah lunas, Nirmala memutuskan untuk membeli LED TV 50 inci seharga Rp 4,8 juta memakai Kredivo dengan bunga sebesar 2,6% per bulan dan tenor cicilan selama 6 bulan.

Satu bulan awal pembayaran Nirmala lancar. Namun, memasuki bulan kedua cicilan paylater, ia mendapati musibah. Adiknya yang masih berumur 12 tahun masuk rumah sakit dan mesti menjalani operasi hernia diafragma karena ada kelainan di saluran ususnya.

Sebagai anak sulung dari seorang ibu tunggal, Nirmala mesti menggunakan tabungan dan sisa gajinya untuk membiayai operasi adiknya. Operasinya berjalan lancar dan setelah satu pekan menjalani perawatan intensif, adiknya diperbolehkan pulang.

Kendati demikian, Nirmala masih harus mati-matian menyiasati kewajiban membayar pinjaman. Gajinya dirasa hanya numpang lewat untuk membayar tagihan paylater, untuk kebutuhan dirinya selama satu bulan, dan untuk mengirim ibu serta adiknya jatah bulanan.

“Awalnya mungkin belum kerasa apa-apa membayar bunga per bulannya. Tapi ternyata belakangan gaji lumayan kepotong gede buat tagihan paylater,” ungkap Nirmala saat diwawancara pada Selasa, 20 Maret 2022.

Total bunga keseluruhan paylater Nirmala saat itu sebesar Rp 749 ribu. Namun, angka itu sangatlah besar jika melihat dari kondisi finansial yang tengah morat-marit sebagai tulang punggung keluarga. Dari situlah kemudian Nirmala menyadari bahwa fitur paylater yang awalnya cukup membantu sebagai alternatif pembayaran, justru jadi belitan baru di setiap bulannya.

Setelah cicilan pembayaran LED TV lunas, Nirmala mengajukan kembali pembayaran di awal memakai paylater untuk membeli kebutuhan lain mulai dari makanan, hingga pakaian kerja.

“Kayak secara nggak sadar dipaksa buat terus pake paylater lagi setelah peminjaman sebelumnya selesai. Tapi tetap diambil juga karena butuh dan gaji sudah abis di awal,” jelas Nirmala.

Hingga kini Nirmala masih menggunakan paylater untuk pemenuhan kebutuhan dirinya dan ibu serta adiknya. Meski dirasa seperti siklus buruk yang sulit diputus, Nirmala tetap terus mengambil pembayaran dengan paylater ketika pinjaman sebelumnya lunas.

Paylater sebagai Solusi atau Masalah?

Selain sebagai alternatif pembayaran cicilan dan pemenuh kebutuhan ketika tidak memiliki dana yang cukup, paylater juga digandrungi karena menawarkan kemudahan memperoleh akses kredit dengan cepat. Ia menjadi alternatif saat akses mendapatkan kartu kredit cukup sulit dan rumit. 

Suwandi Wiratno selaku ketua umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), menjelaskan, BNPL atau paylater sendiri sebenarnya bukan konsep yang baru. Suwandi menyebut kartu kredit sebenarnya merupakan BNPL juga. Hanya saja, paylater yang berkembang saat ini memberikan fleksibilitas dan kemudahan kepada para penggunanya. Hal yang membedakan antara kartu kredit dan paylater hanya terletak pada besaran bunga, biaya penggunaan, tenor cicilan, keamanan, serta syarat pengajuannya.

Credit card pelan-pelan akan hilang. Credit card mungkin nanti akan masuk juga ke e-wallet. Nanti konsepnya pilih, mau BNPL atau apa. Nanti bank bisa menawarkan itu juga. BNPL itu kan supaya bisa beli sekarang bayar nanti,” pungkas Suwandi.

Paylater sebenarnya tak selalu buruk. Suwandi mengatakan, BNPL bisa berdampak positif kalau bisa digunakan untuk membantu mengatur keuangan. Konsumen harus bisa mengukur berapa kemampuan mencicil, agar tidak terjebak dalam kubangan utang paylater.

Dari laporan penelitian Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) yang berjudul “Persepsi Pasar Indonesia Terhadap Pemanfaatan Fitur Pembayaran Paylater”, yang dirilis pada Desember 2020, terdapat uraian persepsi konsumen terhadap manfaat adanya paylater.

Sebanyak 1.544 responden dari total keseluruhan 2.000 responden, atau sekitar 77,20%, menganggap bahwa akses terhadap paylater dirasa lebih mudah dibandingkan dengan akses terhadap kartu kredit. Paylater dianggap bisa diakses dengan mudah termasuk oleh mereka yang belum memenuhi kriteria pinjaman di perbankan.

Alasan selanjutnya mengapa paylater diminati oleh masyarakat adalah persyaratan pengajuan kredit yang mudah serta proses permohonan yang cepat. Berbeda dengan persyaratan pengajuan pembuatan kartu kredit di perbankan yang relatif sulit dan rumit. Belum lagi standar yang digunakan untuk pengajuan kredit yang lebih tinggi, di mana acapkali mesti melakukan survei terlebih dahulu untuk validasi data yang diberikan oleh pemohon.

Adanya transaksi minimal yang sangat kecil, yaitu mulai dari Rp 5 ribu, paylater lebih unggul dibandingkan kartu kredit. Ditambah adanya kebijakan di mana pengguna tidak harus membayar biaya administrasi apabila dalam satu bulan tidak menggunakan fitur tersebut sama sekali, serta dinilai relatif lebih fleksibel karena pengguna dapat berhenti menggunakannya kapan saja, menjadi alasan selanjutnya mengapa paylater menjadi alternatif pembayaran.

Meski begitu, dalam laporan penelitian RISED disebutkan juga bahwa para responden mempunyai ekspektasi juga terhadap risiko dari penggunaan paylater itu sendiri.

Sekitar 59,56% dari 2000 responden, menganggap bahwa paylater memiliki risiko tagihan membengkak dan menuai lilitan utang. Terlebih mulai dari bunga cicilan per bulannya, hingga ketergantungan akan fitur bayar nanti ini.

Selanjutnya, ada risiko peretasan data pribadi sebesar 52,42%. Kemudian diikuti oleh kemungkinan informasi tentang syarat ketentuan, harga, biaya tambahan, dan jaminan produk yang tidak jelas / kurang lengkap sebesar 42,84%. Sisanya ada potensi risiko tentang belum adanya jaminan keamanan transaksi yang jelas (38,24%) dan tunggakan pembayaran yang bakal mempengaruhi reputasi kredit secara keseluruhan.

Sejatinya, paylater mampu membantu masyarakat di tengah keterbatasan keuangan karena belum adanya akses pinjaman ke perbankan. Namun, dilihat dari ragam risiko yang bakal muncul setelah menggunakan paylater, pengguna diharapkan telah memperhitungkan semuanya. Bisa jadi yang kita anggap sebagai uluran tangan saat berada di tengah keterbatasan, ternyata menjadi pasir hisap yang menelan kita.