Mobil dinas berpelat “nomor dewa” kerap menjadi simbol arogansi pejabat di jalanan. Dari tahun 2022 hingga 2025, Deduktif mencatat 65 kasus pelanggaran: arogansi, masuk jalur Transjakarta, penggunaan BBM subsidi, parkir liar, ugal-ugalan, hingga penyalahgunaan mobil dinas untuk narkoba.
Kasus mobil kosong milik Raffi Ahmad (RI 36) jadi pemicu gerakan warga ogah beri jalan ke mobil pejabat. Disusul mobil RI 24 masuk jalur busway. Padahal menurut UU Lalu Lintas dan Perkapolri, hanya kendaraan darurat dan pimpinan lembaga negara yang boleh diprioritaskan.
Masuk Jalur Transjakarta
Enam pelanggaran melibatkan mobil menteri, TNI, dan DPR. Bahkan mobil RI 24 (Wamen Investasi) dan RI 76 (Ketua MPR) pernah tertangkap kamera.
BBM Subsidi untuk Pejabat
Tercatat tujuh mobil dinas (termasuk TNI) menggunakan Pertalite ilegal. Beberapa kasus disertai kekerasan fisik, seperti di Maluku dan Semarang.
Parkir Sembarangan
Total 16 kasus, termasuk mobil pejabat yang parkir di trotoar, bandara, dan CFD. Beberapa kendaraan bahkan belum bayar pajak.
Penyalahgunaan Dinas
Mobil dinas dipakai ke luar kota, malam hari, bahkan untuk mengantar narkoba. Kasus Arteria Dahlan dengan lima mobil berpelat polisi jadi sorotan besar.
Ugal-Ugalan
Enam kasus mencatat mobil dinas menabrak warga, kabur dari kecelakaan, atau pacaran di mobil dinas. Sanksi sering kali diselesaikan "secara kekeluargaan".
Strobo dan Rotator Ilegal
Empat kendaraan kedapatan menggunakan sirine dan strobo tanpa hak. Termasuk Bripda Habibbul yang memainkan sirine tanpa tugas.
Kekerasan Fisik & Verbal
Dua kasus mencatat pejabat memukul warga yang merekam atau mengacungkan tongkat karena tidak diberi jalan.
Kombinasi Pelanggaran TNI-Polri
Truk TNI melintas saat CFD, mobil dinas berasap tebal, dan ratusan kendaraan tak uji emisi melanggar aturan lingkungan.
Pelanggaran Tilang
Dalam razia 2022, Ditlantas Polda Metro Jaya menilang 124 mobil pelat dewa. Ada juga 459 mobil pelat merah di Banyuwangi menunggak pajak.
Kesimpulan:
Pelat nomor dinas seharusnya untuk tugas negara, bukan alat untuk melanggar hukum. Namun kenyataannya, banyak disalahgunakan. Penegakan hukum harus tegas tanpa pandang bulu—karena hukum tak boleh tunduk pada jabatan.