Pemerintah Masih Abai Penanganan Gigitan Ular Berbisa
“Update. Hari ini 22.”
Kamis 23 Februari 2023, Dafa, Trainer Purwa Yayasan Sioux Indonesia mengirim pesan WhatsApp kepada saya. Angka yang dimaksud Dafa dalam pesannya, adalah jumlah korban gigitan ular berbisa di Indonesia yang dicatat lembaganya sejak awal tahun ini.
Termutakhir, satu korban gigitan di Madiun, Jawa Timur, digigit ular Trimeresurus Insularis, nama ilmiah viper hijau ekor merah. Total sejauh ini, ada tujuh orang korban gigitan spesies ini dan menjadi yang terbanyak dibandingkan spesies lainnya.
Dalam laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2016, viper hijau ekor merah termasuk kategori II atau sangat berbisa. Sebaran ular ini di Jawa, Bali, Pulau Komodo, Wetar, Bangka, Sumatera, dan Sulawesi.
“Korban ular hijau ekor merah sejauh ini hidup semua,” tulis Dafa.
Yayasan Sioux Indonesia adalah salah satu lembaga yang aktif mencatat kasus gigitan ular berbisa di negeri ini. Upaya ini setidaknya telah mereka lakukan selama satu dekade. Mereka mencatat 43 kasus gigitan King Kobra sepanjang 2016-2021, dan hanya tiga orang yang selamat.
Menurut Dafa sendiri, pendataan yang dilakukan Sioux Indonesia masih kurang lengkap. Karena sumber informasi mereka hanya berasal dari pemberitaan dan grup-grup komunitas pecinta ular di media sosial. Sebagian besar hanya berasal dari wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang memang secara akses informasi lebih baik.
Kasus-kasus di wilayah Indonesia Timur seperti Papua masih terabaikan. Padahal, jumlah ular berbisa di Papua sangat banyak dan tergolong spesies Australis yang mematikan. Daffa menyebut beberapa di antaranya adalah ular harimau, ular death adder (beludak), ular coklat, ular hitam Papua, ular taipan pesisir/pantai, dan ular ikaheka.
“Kami hampir nggak punya data sama sekali terkait gigitan ular di Papua. Sekalinya punya, hanya orang-orang tertentu saja. Dulu ada polisi digigit death adder karena beritanya luas. Ada satu muscle (relawan) kami digigit ular ikaheka. Kalau dia bukan relawan ya, kami gak tahu,” kata Dafa.
Pendataan sangat berpengaruh terhadap upaya pencegahan kasus gigitan ular berbisa. Dari data tersebut, bisa diketahui kronologi kejadian, lokasi kejadian, jenis ular yang menggigit, serta gejala yang terjadi. Dengan begitu, bisa dilakukan pemetaan daerah rawan dan penanganan efektif pada korban-korban selanjutnya.
Standarnya, pendataan epidemiologi dari WHO. Yayasan Sioux Indonesia baru memulai pencatatan sesuai standar itu pada tahun ini. Upaya ini tak mudah, karena Sioux masih mengandalkan jejaring antar komunitas pecinta ular. Sementara, data dari fasilitas kesehatan (faskes) susah diakses.
Jumlah kasus yang disebut Dafa di awal tulisan ini adalah buah dari upaya tersebut. Ia pun membagikan spesies ular berbisa dalam kasus yang tercatat:
- King kobra
- Kobra Jawa
- Ular viper hijau ekor merah
- Weling
- Ular cabe kecil
- Ular tanah
- Ular picung
Korban meninggal, menurut Dafa, terjadi pada kasus gigitan king kobra (1 orang), kobra Jawa (1 orang), dan weling (2 orang). Kasus kematian itu termasuk yang menimpa Ketua Yayasan Sioux Indonesia Aji Rachmat Purwanto pada 14 Februari 2023, ketika sedang memberikan pelatihan lanjutan kepada relawan organisasinya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Pemerintah Justru Tak Punya Data Resmi
Pendataan epidemiologi seperti dilakukan Yayasan Sioux Indonesia, adalah salah satu hal yang ditekankan WHO kepada setiap negara ketika mendeklarasikan ulang gigitan ular berbisa sebagai Neglected Tropical Disease (NTDs) pada Juni 2017. Sebelumnya, pada 2013, WHO sempat menghapus gigitan ular berbisa karena dianggap kasusnya sudah terkendali.
WHO mendefinisikan NTDs sebagai penyakit di wilayah tropis dan subtropis dengan korban massif tapi terabaikan. Keputusan WHO dilandasi kelangkaan antivenom di dunia saat itu dan angka kasus gigitan ular yang terus membengkak. Setidaknya 5,4 juta orang digigit ular per tahun di seluruh dunia. Sebanyak 2,7 juta di antaranya keracunan bisa ular, 81 ribu-138 ribu orang mati, dan 400 ribu lainnya cacat permanen.
Dari seluruh kasus tersebut, Asia menjadi penyumbang korban terbanyak. Diperkirakan 2 juta orang digigit ular berbisa setiap tahun di benua kuning. Lebih banyak dari korban di Afrika yang mencapai 380-540 ribu per tahun. Para korban meliputi wanita, anak-anak, dan petani di pemukiman terpencil di negara ekonomi menengah ke bawah tanpa sistem kesehatan memadai.
Menindaklanjuti deklarasi tersebut, WHO mengadakan rapat Snakebite Envenoming (SBE)-Working Group pada Mei 2018. Rapat ini dihadiri 28 pakar dari seluruh dunia. Hasilnya, WHO mencanangkan program pengurangan kasus gigitan ular berbisa sebanyak 50 persen sampai 2030. Rencana besarnya adalah memastikan penanganan pada korban gigitan ular efektif dan aman, memperkuat kerja sama dengan komunitas lokal, memperkuat sistem kesehatan negara, dan membentuk kerja sama global.
Presiden Toksikolog Indonesia, Tri Maharani, adalah salah satu pakar yang terlibat. Ketika saya berbincang dengannya pada 9 Juni 2021 lalu, ia menyebut pendataan epidemiologi menjadi salah satu turunan utama dari rencana besar WHO.
Sayangnya, kata dokter yang karib disapa Maha ini, pendataan epidemiologi masih terabaikan. Sampai sejauh ini, tak ada data resmi yang dikeluarkan pemerintah. Pendataan lebih banyak dilakukan perseorangan seperti dirinya atau NGO. Itu pun, Maha mengaku hanya mampu mencatat data sesuai standar WHO sebanyak 200-500 kasus per tahun.
Salah satu riset yang pernah dilakukan Maha berjudul Where did Venomous Snakes Strikes? A Spatial Statistical Analysis of Snakebite Cases in Bondowoso Regency, Indonesia. Karakteristik pada kasus gigitan ular berbisa di Kabupaten Bondowoso sepanjang 2015, antara lain mayoritas korban bekerja sebagai petani, terkena gigitan di tangan, dan digigit ular hijau (Trimesurus albolabris)
Riset lain yang dilakukan Maha berjudul Understanding Snakebites Cases Related to Volcanic-Seismic Activity: An Evidence in Bondowoso, Indonesia. Riset ini menemukan jumlah kasus gigitan ular meningkat selama pra erupsi Gunung Raung pada 2015 di wilayah Bondowoso, Jawa Timur dibandingkan waktu normal.
Maha tak salah mengatakan pemerintah masih abai soal pendataan. Hal ini terungkap ketika pada 4 Januari 2022 saya menghubungi Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Jabar Lucya Agung. Saat itu tersiar kabar peningkatan kasus gigitan ular di Jawa Barat, salah satunya menimpa mahasiswa IPB, Dramaga, Bogor.
Ketika saya tanya soal data kasus di wilayahnya, Lucya menyatakan belum pernah melakukan pendataan. Alasannya, “gigitan ular berbisa masih perdebatan. Antara itu masuk penyakit tidak menular atau tidak.”
Gigitan Ular Berbisa Tak Jadi Fokus Pemerintah
Pemerintah di tingkat pusat memang belum sepenuhnya memperhatikan kasus gigitan ular berbisa. “Belum ada program khusus terkait Neglected Tropical Diseases ular berbisa di Kemenkes,” kata Maha.
Bagi Maha, yang sejak 2012 aktif meneliti dan memberi edukasi terkait kasus gigitan ular berbisa di Indonesia, kondisi ini adalah ironi. Indonesia punya 77 jenis ular berbisa dengan tingkat kematian kasus gigitan mencapai 10 persen per tahun
Tanpa program NTDs, negara bukan hanya tak punya data epidemiologi, tapi juga berdampak pada minimnya kesiapan faskes, riset antivenom, dan pengetahuan masyarakat–pendeknya, sistem kesehatan yang memadai.
“Kalau mau tangani gigitan ular berbisa, (program NTDs) harus ada,” kata Maha.
Di Kemenkes, penanganan NTDs menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P). Berdasarkan dokumen Rencana Aksi Program 2020-2024 yang disusun Achmad Yurianto selaku pejabat Dirjen saat itu, gigitan ular berbisa tak masuk ke dalamnya, sehingga tak mendapatkan prioritas surveilans.
Penyakit NTDs yang menjadi prioritas untuk diselesaikan dalam dokumen tersebut, adalah kaki gajah, frambusia, demam keong, dan kusta. Alasannya, seluruh penyakit tersebut masih menjadi endemik di Indonesia dan perlu penanganan serius.
Pada 21 Juni 2021, saya sempat menghubungi Yurianto melalui telepon untuk meminta keterangan. Namun, ia enggan berkomentar karena saat itu tak lagi menjabat Dirjen P2P dan telah menjadi juru bicara pemerintah untuk Satgas Covid-19.
“Nanti saya nggak enak dengan yang berwenang,” katanya. Saat saya tanya lebih lanjut tentang nama pejabat penggantinya, Yurianto mengatakan, “Sampai sekarang jabatannya masih kosong.”
Yurianto meninggal dunia pada 22 Mei 2022 lalu karena penyakit stroke dan kanker usus setelah dirawat di RSPAD Jakarta. Kini, Dirjen P2P dijabat Maxi Rein Rondonuwu.
Rencana Aksi Program 2020-2024 yang disusun Yurianto tampaknya tak akan berubah. Dalam pidato di puncak peringatan Hari Penyakit Tropis Dunia pada 21 Februari 2023 lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tak menyebutkan gigitan ular berbisa sebagai NTDs prioritas untuk dieliminasi di Indonesia. Pada kesempatan yang sama, Maxi Rein Rondonuwu masih memprioritaskan eliminasi kusta sebagai indikator penanganan NTDs dalam rencana strategis Kemenkes 2020-2024 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Kesehatan 2020-2024.
Pada Kamis, 23 Februari 2022, saya sempat menghubungi Jubir Kemenkes Siti Nadia Tarmizi. Sampai berita ini ditulis ia belum menjawab.